Ini memperkenalkan lebih dalam, sosok seorang Hasan Hanafi. Saya akan memperkenalkan bahwa, saya pernah mempelajari Islamologi dan Filsafat Islam di bangku Seminari. Jikalau dalam Islam disebut Pesantren. Saya sangat tertarik membaca buku Filsafat Islam, terutama sosok seorang Hassan Hanafi ini. Seorang pemikir Muslim terkemuka di Mesir Hassan Hanafi mengatakan, dunia terus dikepung kapitalisme, yang akibatnya orang lupa akan Tuhan (agama).
Untuk itu, Hanafi memberikan resep agar kita kuat hadapi Kapitalis. Lebih lengkapnya baca buku berjudul “Merevitalisasi Pemikiran Sosial Islam Ḥassan Ḥanafī” karangan Romo Greg Sutomo SJ, penerbit : PT Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta. Menurut Hanafi untuk menghadapi kapitalisme maka diperlukan empat hal.
Pertama, Taṣawwuf yakni mengisi kekosongan spiritual. Kekosongan etis dan spiritual bisa diisi dengan sufisme. Taṣawwuf sebagai tradisi mistisisme dalam Islam selalu akan relevan dan mampu menjawab setiap persoalan zaman. Namun, tidak ada eksplorasi lebih jauh baik dalam level teori maupun praktis, bagaimana keyakinan itu dijelaskan melampaui keterangan-keterangan yang klise.
Di sinilah Ḥanafī menawarkan sebuah praksis sufi yang kreatif. Sufisme adalah kebutuhan manusia yang bersifat universal. Masyarakat Barat yang terbiasa dengan sekularisme dan materialisme pun memiliki kerinduan untuk kembali ke batin, rohani, kedalaman, meskipun itu tidak selalu berarti dikaitkan dengan agama atau iman tertentu. Sufisme dalam banyak hal menjawab kebutuhan itu. Ia inklusif dan toleran.
Para pengeritik sufisme yang menganggap ia sebentuk praktik melarikan diri dari dunia (eskapisme) dijawab oleh Ḥanafī berikut ini. Kedua, falsafah yakni memahami makna dan praksis. Para Islam Reformis memanfaatkan fenomenologi sebagai alat bantu diskursus intelektual untuk mentransformasi kesadaran netral menjadi kesadaran politik. Demikian pula Ḥanafī.
Pada awalnya, ia mengolah bacaan Islam sebagai kajian fenomenologi dan membaca fenomenologi sebagai kajian Islam. Fenomenologi, menurut Ḥanafī , diterapkan ke dalam pemikiran Islam kontemporer sebagai sebuah diskursus yang melibatkan baik ‘hati’ maupun budi ummah.
Tantangan dunia Muslim sekarang ini adalah bergerak melampaui isu dan penilaian teoretis. Selain kesadaran historis, Ḥanafī menyebut pintu tahap kesadaran berikutnya, yang disebut proses kesadaran eidetis. Kesadaran eidetis (al-shu’ūr al-ta’ammulī), yang berfungsi memahami teks-teks wahyu dan interpretasinya dengan menganalisis bahasa dan asbāb al-nuzūl (argumen penurunan wahyu).
Kesadaran ini adalah kesadaran individual untuk memahami dan menafsirkan teks, yang disebut oleh Ḥanafī sebagai diskursus mengenai kata, makna, dan argumen. Ketiga, Kalām yakni bertitiktolak pada sejarah. Kebudayaan kapitalisme dan postmodernisme secara gencar menebarkan kultur perubahan, kebaruan tiada henti, kebisingan, mobilitas, kecepatan, dan kegilaan dalam belanja. Sebaliknya, agama dan iman, dalam banyak hal menebarkan konservatisme, ketenangan dan keheningan, keseimbangan dan pengolahan batin. Konflik di antara dua ranah tersebut memang nyata dan berlangsung.
Ada yang berpendapat agar gagasan tawḥīd sebagai titik tolak menjelaskan hubungan Islam dengan masyarakat sekular. Kekuatan Islam pada ortodoksi tawḥīd al ‘uluhiyya (‘ibadah hanya kepada Allah semata’) yang sudah teruji sekian lama mengalami ketegangan ketika berhadapan dengan sekularisme, dalam wujud pemisahan tegas antara agama dan negara.
Arus modernisme dan sekularisme menimbulkan perasaan cemas dan kekhawatiran masyarakat tradisionalis. Lebih-lebih, perubahan cepat dan ‘liar’ ini menjadi mimpi buruk untuk para fundamentalis. Berbeda dengan para pemikir postmodernisme pada umumnya, Jameson menolak sikap antihistoris. Ia berkeyakinan bahwa untuk menganalisis, dan kemudian membangun konsep dan teori mengenai dunia tempat manusia berpijak, harus dipahami efek dan dampak dari kapitalisme.
Seluruh fenomena personal, sosial, kultural dan politik adalah representasi dari satu realita, yaitu kapitalisme. Sejarah menjadi pilar utama, khususnya dalam teks-teks Jameson kemudian. Keempat, Fiqh yakni hukum menjadi semakin relevan. Seluruh kebudayaan adalah postmodern.
Meski demikian dominasi kebudayaan ini tampak nyata karena hampir semua manusia dan segala hal harus berurusan dengan perkara ini. Kapitalisme lanjut menggunakan ideologi ekonomi, sementara postmodernisme adalah fenomena dampak kulturalnya. Ketika kebudayaan komoditi menjadi realitas dominan – dan mungkin satu-satunya – diskusi kuno dan klasik antara material versus spiritual sudah tidak ada lagi. Dengan lenyapnya ’spiritual’ atau ’non-material’, otomatis lenyap pula pemikiran materialisme.
Masyarakat kita sekarang adalah "effortlessly secular", sekular dengan sendirinya. Dalam kekosongan agama hidup dipenuhi dengan kebudayaan konsumer dengan berbagai imaji kapitalisme. Yang Ilahi adalah Penguasa dan Hakim, demikian frase yang dibuat Ḥanafi untuk merumuskan gagasan fiqh-nya. Hukum Yang Ilahi itu hadir di segala zaman untuk segala tempat dan masyarakat.
Negara dan seluruh perangkatnya harus menjamin tegaknya struktur hukum. Karena negara dan lembaga-lembaganya merupakan manifestasi Yang Ilahi di tengah-tengah masyarakat yang nyata, maka ia tidak memiliki kekuasaan yang absolut. Yang Ilahi adalah sumber otoritas yang asali. Menghadapi zaman yang berubah, Ḥassan Ḥanafī menjelaskan ‘Fiqh Sosial’ dengan merevolusionerkan kata ‘Islam’.
Karena setiap agama pada hakikatnya berpijak di tengah-tengah masyarakat, maka ‘Islam’ pun memiliki dimensi politis. Islam harus bergumul dengan carut marutnya masyarakat. Dua kemungkinan pilihan untuk memahami Islam yang disebut di atas menjadi pergumulan diskusi untuk menjelaskan Fiqh Sosial dari Ḥanafī, yaitu ‘berserah diri’ ataukah ‘protes, perlawanan, dan revolusi. Penguasa dipilih oleh masyarakat atau komunitas untuk menegakkan hukum yang merupakan manifestasi Yang Ilahi. Al-Qur’ān menolak bentuk-bentuk kekuasaan yang bersifat tirani.