“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”
(Pramoedya Ananta Toer)
Pengantar
Tulisan ini sesungguhnya diambil dari hasil penelitian proposal skripsi saya mengenai Pramoedya Ananta Toer. Dalam penelitian saya mengenai tokoh Pramoedya Ananta Toer atau yang sering disapa Pram, sesungguhnya membuat saya banyak bergelut mengenai sejarah terbentuknya negera Indonesia. Segala karut marut dalam situasi perjuangan menjadi begian yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Kemudian saya mulai mempertimbangkan awal dari tulisan ini mengenai tokoh Pramoedya Ananta Toer.
Sosok sastrawan sekaligus sejarawan besar yang kurang lebih memiliki andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia atau lebih tepatnya perjuangan untuk meluruskan nalar berpikir orang Indonesia melalui sastra. Pemilihan judul seperti ini pun muncul ketika saya mulai membaca buku-buku Pramoedya. Sosok sastrawan yang telah menulis 50 buku dan menjadi salah satu kandidat peraih nobel sastra dari Asia, yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Karya sastranya secara keseluruhan menampilkan manifestasi perlawanan terhadap penindasan.
Penindasan terhadap manusia adalah trauma yang masuk dalam sejarah. Maka menjadi amat penting bila pembaca Indonesia perlu mengenal Pramoedya Ananta Toer sebagai tokoh sastrawan yang mencerna kehidupan nyata dalam suatu karya fiksi demi mengubah lingkungan sekitar. Mengubah penyimpangan dan terlebih khusus membangun pola hidup berpikir humanistik.
Dalam kondisi demikian untuk mengenal Pramoedya Ananta Toer tidak dapat melepas-pisahkan dengan roman Bumi Manusia. Salah satu cerita roman yang menjadi awal-mula tetralogi Buru. Mungkin muncul pertanyaan mengapa harus cerita roman Bumi Manusia, bukan yang lainnya. Pemulihan mengenai Bumi Manusia sengaja ditekankan karena tiga alasan.
Pertama, cerita roman Bumi Manusia merupakan awal mula dari Pramoedya untuk mengisahkan tentang awal mula jiwa nasionalisme. Kedua, cerita roman Bumi Manusia dibuat saat Pramoedya berada di penjara (Pulau Buru). Ketiga, cerita roman Bumi Manusia juga sedang diadaptasikan menjadi film yang disutradarai oleh Hanung Subianto. Maka dengan alasan ini, tulisan ini hadir sebagai gagasan untuk menunjukkan seberapa kuat dampak novel Bumi Manusia.
Adil Dalam Pikiran
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Sebagai putra pertama dari Sembilan bersaudara, ia merupakan sosok yang berarti dalam keluarga. Hal ini dilihat bukan dari statusnya sebagai anak sulung, melainkan tindakan perjuangan dalam menjalani kehidupannya. Pramoedya kecil merupakan sosok orang yang kurang lebih sama seperti semua orang. Senang bermain dan mencari kebahagiaan.
Namun, kisah itu berubah saat ia sedang bermain kartu bersama teman-temannya. Saat itu Pramoedya ditegur oleh ayahnya; “Berhenti! jangan teruskan! Kalau kau sudah mempunyai penghasilan sendiri, kau bisa berbuat semaumu dengan penghasilanmu. Tetapi kau belum punya penghasilan apa-apa. Berhenti!”(Augus Hans den Boef dan Kees Snoek, 2008; 110)
Kenyataan tersebut membuatnya semakin menganal kehidupan akan kerasnya kehidupan. Apalagi ketika Pram harus mengulang dalam kelas akibat kebodohannya. Meski demikian, kedekatannya dengan ibu juga menjadi kerangka berpikirnya saat dewasa. Baginya, ibu yang mengajarkan agar hidup jangan seperti budak melainkan jadilah majikan bagi diri sendiri.
Sebagai manusia keadaan ini yang mendorongnya untuk melakukan tindakan di bawah prinsip-prinsip yang tertanam dalam hidupnya. Maka tidak salah dalam membangun kerangka tetralaogi yang disusunnya dalam Pulau Buru bukan menjadi masalah baginya. Rasa kemerdekaan tersebut muncul dalam perkataan Minke dalam Bumi Manusia;
“kan aku sudah cukup jujur pada diri sendiri? Dan terhadap dunia? Lihat: aku hanya menikmati nikmat dari jerihpayahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tetapi pergulatan diri sendiri. Keretakan dalam keluargaku sendiri yang selama ini mengajarkan aku demikian.”(Toer, Pramoedya Ananta, 2017; 231)
Dalam isi Bumi Manusia, Pramoedya ingin menonjolkan kebangkitan nasionalisme di Indonesia. Melalui hasil penelitian sejarah, Tirto merupakan seorang tokoh nasionalis yang terlupakan dalam sejarah Indonesia namun dimunculkan oleh Pramoedya. Kehadiran Tirto merupakan bagian terpenting untuk menggambarkan situasi pada awal abad ke-20. Dalam pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim Srikandi yang menjadi penyemaian kebangkitan nasional di Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo pun digambarkan melalui Minke dalam Tetralogi Buru. Sebagai tokoh utama, Minke belajar untuk keluar dari situasi feodal dan kolonial untuk menjadikannya manusia yang bebas merdeka. Menggunakan padangan Eropa, tetapi membela pada peradaban bangsa. Oleh sebab itu, kehadiran Bumi Manusia merupakan bentuk kritikan pada penindasan yang tidak memberikan ruang kebebasan bagi setiap manusia.
Masa Penjara Pulau Buru
Pramoedya merupakan orang yang mengalami kehidupan di penjara kurang lebih 14 tahun. Ketika pemerintahan Kolonial Belanda, Soekarno Dan Soeharto. Perjalanan kehidupan di penjara bukan menjadi hal baru baginya. Keadaan tertindas menjadi momentum bagi Pram untuk berpikir lebih keras.
Bisa dikatakan bahwa kehidupan penindasan sesunggunhya merupakan proses pendewasaan gagasan yang ditawarkannya dalam karya-karya yang dihasilkannya. Adapun dalam masa dalam penjara, Pramoedya Ananta Toer mempelajari banyak hal yang perlu dibuat untuk bertahan hidup. salah satunya adalah mencegah sakit giljalnya dengan minum air.
Pram berkata;
“kalau bangun pagi, minumlahsatu botol air putih untuk membantu ginjal sebab makanan jelek, istirahat kurang, keringat begitu banyak, nanti bisa penyakit kuning, dan penyakit ginjal.”( Augus Hans den Boef dan Kees Snoek, 2008; 159)
Hal ini diyakini sangat membantu ia bertahan dalam kondisi yang tidak menentu. Larangan untuk menulis tetap menjadi tekanan bagi Pramoedya. Sampai pada tahun 1973, para tapol diijinkan untuk mengembangkan ketrampilan karena rencana pembebasan untuk mereka. Saat itulah Pramoedya mulai melatih kembali keahiliannya yang terbukti dari terbitnya Nyanyian Sunyi, Tetralogi Buru, dan Arus Balik.
Dalam penerbitan tiga karya tersebut, Bumi Manusia merupakan salah satu buku yang sempat dirampas kemudian tidak dikembalikan. Meski demikian, Pramoedya ternyata telah membuat salinan buku dan berhasil diselundupkan oleh Han, atau Prof. Mr. G. J. Resink. Ingatan dan studi sejarahnya menjadi bagian terpenting dalam penyusunan naskah. Novel Bumi Manusia merupakan salah satunya buku yang dibuat Pramoedya dengan cara mencertakan kepada para tapol sebelum dijadikan sebuah manuskrip.
Saat itu ia mengingat kisah tentang seorang gadis Jawa yang berusia 14 tahun, namanya Sanikem. Dari tokoh itulah, Pramoedya menyuarakan perjalanan seorang gundik yang bertranformasi menjadi Nyai Ontosoroh. Perbedaan karakter antara Sanikem dan Nyai Ontosoroh adalah sikap Nyai Ontosoroh yang memiliki kecakapan dan kekuatan melebihi penjajah. Tak bisa disangkal bahwa Pramoedya dalam Bumi Manusia lebih menitik beratkan pada keberpihakannya terhadap kaum wanita.
Film Bumi Manusia
Suatu karya sastra mengandung tindakan yang muncul dari setiap tokoh, maka tak dapat dipisahkan dari tindakan aktif dari penulis untuk membentuk plot dalam cerita. Hal ini serupa dengan membuat suatu film. Menurut Tzvetan Todorov ada satu kesamaan antara karya sastra dan film, yakni sudut pandang. Sudut pandang merupakan cara khas dalam memandang cerita dan menentukan sudut pandang pengarang(Ramayda Akmal, 2018; 49).
Karya sastra memiliki sudut pandang pada narator. Pengarang sastra dalam konteks ini dapat dikatakan dengan narator yang menggunakan mata untuk melihat peritiwa yang dibangunnya. Berdasarkan nilai-nilai, tempat, waktu, serta menyembunyikan kisah tokoh dan lainya.
Pembuatan karya sastra terlebih khusus novel juga tidak jauh berbeda dengan kenyataan dalam dunia perfilmean. Film memiliki sudut pandang dari penentuan kamera yang telah diatur dengan baik oleh sang sutradara demi menentukan alur dari cerita. Dengan ini, Zizek berkesimpulan bahwa film dapat diberlakukan terhadap sebuah novel.(Ramayda Akmal, 2018; 50).
Kekuatan Bumi Manusia untuk menggambarkan awal dari perjalanan nasinalisme memang tidak terbantahkan lagi. Pramoedya menyusun setiap tokoh dengan hakekatnya masing-masing, seungguhnya menggambarkan keadaan pertentangan kelas. Kelas atas dan kelas bawah, Kaum penjajah(kolonial) dan kaum pribumi, serta kaum pria dan wanita. Namun kenyataan ini menjadi polemic besar dalam media sosial dengan munculnya sebuah film dokumenter yang disponsori oleh Falcon Picture, Salman Aristo sebagai penulis naskah dan Hanung Bramantyo sebagai sutradara.
Bumi manusia yang berpusat pada tokoh Minke diperankan oleh actor muda Iqbaal Ramadhan. Pesoalan itu yang muncul semakin besar karena sosok ikbal yang digambarkan sebagai Dilan dalam film Dilan 1998. Tokoh yang menggambarkan kisah cinta anak SMA harus menjadi tokoh Minka yang dalam artian seorang yang kritis dalam menjalani hidupnya. Hal ini menjadi persoalan utama yang diangkat oleh netizen.
Terlebih khusus kepada Hanung yang selalu mendapat kritik terhadapt film dokumenter yang dibuatnya. Namun dengan kritik yang ada, membuatnya banyak belajar untuk mempublikasikan karya Pramoedya secara baik. Apa lagi dari pihak Falcon Picture tidak mau setengah-setengah dalam memvisualisasikan proyek tersebut.
Catatan akhir
Mengenai Pramoedya Ananta Toer merupakan perjalanan sejarah. Bagaimana krisis yang terjadi dalam sejarah muncul sebagai cermin bagi para pembacanya. Pembaca diajak untuk kritis terhadap nilai kemanusiaan dan keadilan yang sesungguhnya menjadi fokus utama Pram dalam melahirkan karyanya. Manusia tertindas, dan hilangnya kemerdekaan dibawah penguasa merupakan contoh yang selalu diangkat untuk menyadarkan kerusakan sejarah yang perlu dibenah secara terus menerus.
Pembenahan yang membutuhkan proses yang panjang. Dimulai dari budaya literatur yang membangkitkan pemahaman akan nilai dari kebenaran. Dalam catatan akhir ini, Bumi Manusia sesungguhnya mengajarkan bahwa kesadaran manusia perlu diasah terus menerus demi aktifitas berpikir. Sejajar pula, Bumi Manusia merupakan jenis sastra yang membangkitkan semangat pembaca akan persoalan sejarah.
Adapun pemahaman itu muncul dari membaca, kehadiran film Bumi Manusia yang akan dirilis pada tahun 2019 menjadi penantian bagi para penonton. Artinya, Bumi Manusia hadir dalam bentuk visual yang sebagaimana diinginkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Keinginan akan novelnya difilimkan oleh anak pribumi, Indonesia tulen.
Sumber
- Toer, Pramoedya Ananta., Bumi Manusia., (Jakarta Timur: Lentera Dipantara, 2017)
Augus Hans den Boef dan Kees Snoek, Pramoedya Ananta Toer: Essay en Interview 1990, Nederland: De Geus Novib, dalam Koesalah Soebagyo Toer dan Kees Snoek (Penerj.), Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer.,(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008)
Lane, Max., Indonesia Tidak Lahir Di Bumi Manusia: Pramoedya, Sejarah, dan Politik., dalam Saut Pasaribu (Perj.), (Djaman Baroe, 2017)
Mrazek, Rudolf., Only The Deaf Hear Well.,(Cornell University, 1996) dalam Endy Haryono(penerj.), Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru.,(Yogyakarta: Matabangsa, 2017)