Musikalitas menjadi kata yang ampuh bagi kita untuk mengkritik atau memberi tinjauan atas satu peran yang dimainkan oleh orang lain. Lalu, apa sebenarnya musikalitas dan bagaimana penerapannya?
Nah, sebelum lebih jauh lagi, kita akan meraba musikalitas itu secara longgar, agar dengan kelonggaran tersebut kita bisa mengembangkannya lebih tepat.
Secara umum, musikalitas adalah respons kita terhadap kalimat yang ada dalam sebuah naskah. Respons itu berupa pengucapan sebuah kalimat atau kata yang kita lafalkan dengan menyertakan satu pemahaman, suasana, gerak, emosi, dan lain-lain. Agar menghasilkan respons, kita juga diperlukan perangkat yang kita sebut sebagai analisis.
Setelah analis mencapai pemahaman yang tepat, kemudian kita mengartikulasikannya dengan perangkat vokal kita. Pada tahap inilah yang kita sebut musikalitas itu menampakkan dirinya, sekaligus analisis. Biasanya yang jadi permasalahan adalah sasaran yang kita inginkan ternyata tidak tercapai dengan baik ketika semua itu teraktualkan.
Berdasarkan masalah di atas, terlihat beberapa kendala yang sering kita jumpai, yaitu yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Apa saja yang meliputi kualitatif adalah segala perangkat yang fungsi utamanya adalah memberi isi pada laku aktor.
Contohnya, imajinasi, emosi, tentu saja kesadaran kita yang untuk memilahnya dengan tepat. Jadi, hal-hal yang bersifat kualitatif berperan penuh dalam memberi makna, isi, juga penggerak yang ampuh bagi perangkat yang lainnya.
Wilayah kuantitatif tentunya adalah semua aspek yang teraktualisasikan oleh imajinasi, yaitu gerak, timbre suara, nada bicara, dan respons terhadap artistik. Dua sifat ini saling menopang sehingga tidak ada yang lebih dominan. Bisa saja lakuan kita yang mampu menimbulkan imajinasi dan emosi, dan juga sebaliknya. Jadi, sifat keduanya tidak menegasikan dirinya.
Kualitatif yang bekerja pada masalah ini adalah emosi dan imajinasi. Lebih tepatnya, pemaknaan yang berangkat dari pemahaman. Pemahaman di sini adalah perangkat pengetahuan yang kita miliki untuk menafsir naskah.
Penjelajahan ini nantinya memberi informasi kepada tubuh kita (perangkat yang menghasilkan suara), lalu menghasilkan bunyi berupa huruf, kata, dan kalimat. Artinya, bunyi itu adalah bentuk pemahaman yang telah kita olah sedemikan rupa dan membentuk semacam pengertian kepada lawan main.
Sampai di sini terlihat mudah, tapi yang kemudian yang menjadi masalah adalah bunyi itu sendiri, lebih tepatnya "bunyi yang belum lengkap". Karena secara pemahaman kita telah mencapai sasaran, tetapi kurang lengkap karena pemahaman kita tertahan oleh satu bunyi yang cenderung tidak berkembang. Bagaimana kita menyikapi hal demikian?
Ketika kita mendengar lantunan nada dari sebuah konser musik, bagaimana alunan tersebut membuat kita betah, bahkan mampu bertahan untuk nonton. Lalu apa sih hebatnya alunan tersebut sehingga membuat kita hanyut? Salah satu kekuatannya adalah bagaimana para pemusik meramu nada yang ada dalam satu bar yang mereka mainkan.
Begitu juga seharusnya bunyi yang kita lafalkan dalam berperan. Artinya, bunyi yang berupa kata dan kalimat yang kita lafalkan menembus teks sehingga capaian-capaian akan hal yang objektif dalam naskah terpenuhi.
Sebelum sampai ke situ, kita akan menggali lagi apa saja yang ada dalam bunyi yang kita lafalkan. Secara tekstur, bunyi itu berupa kata, kalimat. Secara struktur yang membuat bunyi itu adalah makna. Makna yang kita pakai di sini adalah maksud yang seharusnya tercipta oleh bunyi kemudian bergerak dalam satu garis.
Singkatnya, bunyi yang dihasilkan itu beragam, tidak terpatok pada satu jenis tertentu. Karena jika kita hanya melafalkan dalam satu jenis saja, yang terjadi adalah kesalahan yang beruntun, meliputi suasana, konteks emosi, tentu saja pemahaman akan naskah.
Untuk itu, kita harus melatihnya secara rutin untuk menghindari kesalahan beruntun tersebut. Setidaknya ada dua poin yang akan kita latih, yaitu diksi dan intonasi.
Diksi adalah kata yang memiliki efek. Kata yang menjurus ini harus bisa kita gunakan sesuai dengan porsinya. Diksi berada di antara rimba raya kata dan kalimat yang ada dalam sebuah naskah. Untuk melatih agar memiliki perbendaharaan diksi, yang nantinya akan terlihat jelas dalam lagu kalimat.
Sebelum memulai, lakukanlah pemanasan kemudian, pemanasan organ vokal, juga pernapasan, dan setelah itu perpaduannya. Lalu mulailah menyanyikan sebuah lagu yang Anda suka, tetapi nyanyikan sesuka Anda.
Kita jauhkan dulu nada lagu yang sudah kita ketahui itu dan kemudian menggantinya dengan nada tidak beraturan. Mulailah dengan perlahan, dan tidak tergesa-gesa, mulai dari nada terendah kemudian tinggi. Dan, sebaliknya, usahakan memakai metronom.
Setelah melakukan ini berkali-kali, sekarang ganti nada "tidak beraturan" itu dengan nada yang sesungguhnya, tetapi dengan tempo yang lebih cepat. Kemudian kombinasikan dengan tempo pelan. Lakukan itu berkali-kali (tidak pada saat latihan saja). Usahakan kita punya jadwal tersendiri untuk latihan pribadi.
Simulasi di atas bertujuan untuk mendobrak alam bawah sadar kita menjadi sesuatu kesadaran yang kita pilih. Lagu yang sudah kita tahu nadanya, temponya, kita bengkokkan dengan beragam variasi, sehingga bisa dimainkan dalam berbagai tempo dan suasana.
Sekarang kita akan membaca karya sastra untuk melatih intonasi (puisi, cerpen, prosa) dalam karya sastra terdapat emosi yang terpendam, sehingga memerlukan usaha atau cara tertentu untuk menelurkannya. Sama seperti bernyayi, bacalah karya sastra dengan tempo pelan. Jangan terburu-buru. Nikmati setiap barisnya, dengan suara lantang.
Pada baris berikutnya, dengan tempo yang lebih cepat dari sebelumnya, kemudian ganti lagi dengan terbata-bata, tapi dengan emosi datar. Lakukan berbagai variasi emosi sesuai kebutuhan (abaikan dulu maksud dari atau makna dari karya yang kita baca).
Setelah itu, ganti dengan membaca cerpen. Terapkan juga hal yang sama. Kandungan di dalam cerpen biasanya terdapat dialog dan penggambaran suasana. Nah, dalam hal ini, fungsi musikalitas itu juga membantu kita untuk menggambarkan suasana, tapi usahakan memakai metronom untuk melatih tempo.
Masih ada cara yang juga ampuh untuk membantu kita, yaitu latihan bertutur. Ceritakan apa saja yang bisa kalian ceritakan seolah-olah kita sedang mendongeng. Capaian yang diinginkan dari bertutur adalah harus dilihat secara keseluruhan, yakni emosi, intonasi, tempo, imajinasi, penyampaian suasana, gestur.
Kesimpulan yang kita ambil bahwa musikalitas secara luas tidak saja melulu berhubungan dengan bunyi, tetapi gerak yang mengalun dan berisi juga, termasuk musikalitas. Pembahasan pendek yang kita ketengahkan pada hal ini adalah soal bunyi yang dihasilkan oleh organ vokal kita harus berangkat dari satu pemahaman yang tepat.
Musikalitas inheren dalam dua domain kualitatif dan kuantitatif. Jadi, musikalitas itu sudah ada dalam diri kita masing-masing. Tinggal bagaimana kita memperkayanya, dengan latihan rutin dan memperbanyak menggali ilmu pengetahuan.