Kita diam-diam doyan pada yang tragis. Masih ingat “turis bencana” baru-baru lalu? Berbondong ayah-ibu-anak datang menonton serpihan tubuh pelaku dan korban bom Kampung Melayu. Bule-bule selfi-cantik dengan latar Gunung Agung meletus.
Berita tentang selebriti atau teman sendiri yang terpuruk—entah karena narkoba, korupsi, selingkuh, sakit keras—juga selalu diikuti dengan bernafsu, diselingi komentar, “aduh, tragisnya…” dalam nada ngeri-ngeri sedap. Menyimpang memang, tapi kita punya obsesi pada tragedi.
Saya sih mending mengakui bahwa kesukaan pada yang tragis seperti itu pervert. Setelah mengaku, jangan mengutuk, tapi coba teroka apa itu tragedi dan bagaimana perjalanan manusia memaknainya. Dalam hal ini, sejarah drama (dan filsafat) Yunani sangat berharga. Kata “tragedi” sendiri berasal dari tradisi teater negeri itu.
Tulisan ini saya buat mengiringi laboratorium seri pembacaan dan diskusi lima naskah drama Yunani di Teater Utan Kayu (Januari-Maret 2018).
Di antara teater klasik Yunani, orang umum biasanya tahu nama Oidipus (kadang ditulis dengan cara Inggris: Oedipus), tokoh yang membunuh ayah dan menikahi ibunya sendiri (mirip legenda Sangkuriang di Jawa Barat). Boleh dibilang, trilogi tentang Oidipus memang paling terkenal. Trilogi tragedi itu: Oidipus Raja, Oidipus di Kolonos, dan Antigone, karya Sophokles, dari abad ke-5 SM.
Sampai sekarang ini, ada 32 naskah tragedi Yunani klasik yang masih bisa kita baca dan pentaskan. Tak cuma itu, juga ada catatan tentang pengelolaan teater dan festivalnya. Termasuk sponsor utamanya.
Bayangkan, dunia masih punya catatan drama dan manajemen teater dari abad ke-5 SM! Itu menakjubkan. Di Indonesia, kalau kita berhasil menemukan prasasti dari abad ke 5 M saja, pasti sudah sangat bahagia. Drama klasik Yunani yang dapat kita nikmati sekarang itu berasal dari 2500 tahun silam!
Kembali pada “tragedi”. Apa yang dipikirkan orang Yunani, 2500 tahun lampau, tentang ini? Harap diingat: kata “tragedi” berasal dari sini. Artinya, pemahaman kita tentang tragedi dibentuk oleh apa yang terjadi di Yunani 2500 silam. Tanpa tawaran pemikiran dari Yunani itu, kita mungkin memaknai keruntuhan (atau kedoyanan kita pada kisah keruntuhan) dengan cara lain.
Pada awalnya adalah Festival Dyonisos yang diadakan di awal musim semi dan dihadiri ribuan orang. Dyonisos ini dewa minuman, kesuburan, dan kreativitas. Ia dirayakan dengan ritual yang melibatkan paduan suara yang mungkin sekali berkeliling di sekitar mezbah. (Lihat, misalnya tautan ini.)
Diperkirakan, lama-lama paduan suara itu berkembang jadi pembacaan cerita oleh satu narator, lantas jadi pertunjukan dengan tiga aktor, yang masing-masing memainkan lebih dari satu tokoh dengan bantuan topeng. Paduan suara tetap menjadi unsur khas. Pertunjukan itu dinamai “tragedi”.
Perihal nama “tragedi”, ada beberapa pendapat. Ada yang berpendapat, itu berasal dari “ode” dan “tragos” yang artinya nyanyian kambing. Kenapa kambing? Juga ada beberapa opini. Satu spekulasi bilang, itu berhubungan dengan kurban kambing yang dulunya ada dalam ritual (jadi ingat perayaan kurban, ya…).
Ada juga yang mengatakan, “tragos” di sini bukan berarti kambing, melainkan bir. Jadi, ini nyanyian bir. Maklumlah, ini kan festival Dyonisos, sang dewa minuman.
Perihal isinya, tragedi memang tentang apa yang sekarang kita mengerti sebagai kisah tragis. Yaitu, kemalangan dan kehancuran yang bukan persis akibat kesalahan si tokoh. Contohnya, kisah Oidipus.
Menurut mitos Yunani, saat lahir, putra raja Thebes ini diramalkan akan membunuh ayah dan menikahi ibunya. Untuk menghindari takdir mengerikan itu, ia pun diasingkan. Setelah dewasa, di suatu perjalanan, ia terlibat pertikaian dan membunuh lawannya—yang ternyata adalah ayahnya sendiri.
Ia tak tahu dan meneruskan perjalanan. Ia menyelamatkan kota dari monster Sphinx yang jahat dan akhirnya menikahi ratu, yang sesungguhnya adalah ibunya sendiri. Maka, ia memenuhi takdir yang telah digariskan.
Dalam trilogi garapan Sophokles, Oidipus telah menjadi raja dan berhadapan dengan bencana yang pelan-pelan menyadarkan dia bahwa ia telah membunuh ayah dan menikahi ibunya. Ia menghukum diri karena cela itu dan berkelana, ditemani putri-sekaligus-adiknya Antigone, untuk menyambut maut. Kelak, Antigone yang baik hati juga mati mengenaskan bersama kekasihnya. Tragis.
Tapi, lebih dari sekadar kisah tragis yang sedih-sedap itu, tragedi dan konteksnya sarat aspek politik dan filosofis.
Satu, Festival Dyonisos ini dihadiri ribuan orang! Itu adalah tempat pasang gengsi, pembentukan pendapat umum, dan pengelolaan energi massa! Opini politik paling sering disampaikan oleh paduan suara.
Dua, para dramawan sering juga merupakan politisi atau tentara. (Tampaknya, ketika itu hidup belum terlalu terspesialisasi)
Tiga, adalah menarik bahwa mereka menyusun festival dengan rangkaian tiga lakon tragis dan ditutup dengan satu satir. Satir, berasal dari “satyr”, makhluk setengah manusia setengah hewan yang sangat kurang ajar. Mereka akan mengejek dan menertawakan banyak hal. Jadi, setelah tiga tragedi yang menyesakkan dada, penonton dihibur dengan pertunjukan yang lucu dan liar sehingga boleh tertawa gulung-gulung dan mendapatkan kelegaan.
Penyusunan alur psikologis ini sangat menarik. Aristoteles, filsuf Yunani dari abad ke- SM, mengatakan bahwa pertunjukan tragedi adalah sebuah katarsis, yaitu proses pembersihan dari energi dan emosi buruk dengan cara mengalami dan menyelesaikannya dalam cerita. (Mungkin mirip juga dengan wayang ruwatan di Jawa)
Kisah tragedi juga mengandung proses penyadaran. Misalnya, dalam Oidipus Raja, Oidipus jadi menyadari bahwa dialah yang membunuh ayah dan mengawini ibunya. Aristoteles menyebut proses dari tidak tahu menjadi tahu ini sebagai anagnorisis. Ini model proses yang penting bagi peralihan kesadaran dari alam mitos ke rasionalitas.
Kelak, para filsuf terus mengkaji tragedi Yunani. Di abad ke-20, Nietzsche menggunakan tragedi untuk mengkritik nilai-nilai Kristiani Eropa.
Menurut dia, orang Yunani zaman dulu jauh lebih punya mentalitas baja. Mereka menyambut tragedi kehidupan tanpa menciptakan nilai-nilai moral yang menjanjikan bahwa kebaikan akan menang. Dalam tragedi, kebaikan belum tentu menang—malah biasanya tidak—tapi toh manusia super bisa menghadapi dunia yang absurd itu apa adanya, tanpa mencari pegangan moral dan agama.
Setelah Nietzsche, filsuf mazhab Frankfurt Hockheimer dan Adorno juga mengkaji tragedi Yunani dan berpendapat. Tragedi sebetulnya mengandung motif pencerahan. Dalam tragedi, tokoh selalu berusaha lepas dari kegelapan mitos dan mengalahkannya dengan kesadaran.
Kembali ke zaman kuno. Dalam Festival Dyonisos dari sebelum masehi ini juga ada juara, yang dipilih oleh para juri terpandang. Jadi, festival modern cuma meniru yang sudah ada 2500 silam.
Ada tiga nama dramawan yang diingat dari masa klasik: Aeschylus, Sophokles, dan Euripides. Karya merekalah yang tertinggal sampai sekarang. Mereka ini adalah juara-juara Festival Dyonisos, yang dikenang sampai hari ini!
Nah, setelah kita meneroka sejarah drama Yunani klasik dan mendapat perspektif lebih luas, masihkah kita ingin tetap doyan pada tragedi secara murahan—menonton korban bom teror, selfi-cantik dalam bencana, menyebarkan foto teman atau guru yang sedang koma?
Atau, sebaiknya kita melakukan proses penyadaran diri dan katarsis agar bisa mensublimasi dorongan-dorongan pervert itu menjadi karya atau gagasan yang bermutu? Untuk itu, dibutuhkan refleksi dan daya kritis.