Sejak mengundurkan diri dari proses pencalonan GGD, saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis. Oh ya, sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin menginformasikan bahwa GGD adalah singkatan dari Guru Garis Depan--sebuah program dari kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk mengangkat sarjana pendidikan yang pernah mengabdi di daerah pedalaman menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Setelah mengikuti tes bersistem CAT pada tahun 2016, saya dinyatakan lulus dan seharusnya ditugaskan di kabupaten Halmahera Selatan per 1 Agustus 2017. Lalu mengapa saya mundur? Padahal tinggal selangkah lagi saya sudah mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP) sebagai ASN. Singkat cerita, saya mundur karena formasi yang diberikan kepada saya tidak sesuai dengan ijazah dan sertifikat pendidik yang saya miliki.
Saya yang seharusnya mengajar di tingkat satuan pendidikan SMA justru ditugaskan sebagai guru kelas di tingkat satuan pendidikan sekolah dasar. Setelah tidak menemukan cara untuk berkompromi, saya akhirnya memilih untuk mundur.
Ah sudahlah, mungkin memang belum rejeki saya. Sekarang saya mau menceritakan mengapa saya menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis setelah peristiwa tidak menyenangkan yang saya alami selama proses pencalonan GGD.
Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang menjadi fondasi penyangga motivasi saya untuk tetap menjalani hidup setelah kecewa dengan hasil GGD. Saya merasa kehilangan antusias dalam menjalani profesi sebagai pendidik yang sudah saya tekuni lima tahun terakhir. Kesenangan akan mengajar di kelas perlahan tidak lagi saya rasakan. Saya berada di titik nol dalam dunia pendidikan.
Sementara kondisi ini berlangsung, saya justru mendapat dorongan kuat untuk mampu melupakan semuanya itu. Bersamaan dengan pengumuman hasil GGD yang mengecewakan itu, saya justru mendapat kabar dari penerbit di Makassar bahwa buku pertama saya “Wuniniga” akhirnya diterbitkan.
Proses yang panjang dalam menulis naskah tersebut sebenarnya sama panjangnya dengan proses mencapai cita-cita sebagai GGD. Tapi, Tuhan itu adil. Ia tidak memberikan keduanya sekaligus kepada saya. Ia meminta saya untuk memilih dan saya melakukannya. Rasa kecewa dan bangga bercampur aduk, namun saya harus menerima keduanya, saya harus legowo dan sadar diri kalau tak selamanya semua yang diharapkan akan didapatkan.
Hidup berubah dengan cepat. Apa yang bertahun-tahun kita bangun dan perjuangkan, mungkin akan hilang dalam sekejap tanpa memberi kita kesempatan untuk bernafas menikmatinya. Waktu kadang menjadi pembunuh. Kita tidak pernah tahu kapan ia membanting kita jatuh sampai tak kuat untuk bangkit bahkan mati seolah menjadi lebih baik.
Tapi waktu juga bisa menjadi penyelamat, ia bahkan datang di saat yang tak pernah kita pikirkan. Ia selalu datang tepat pada waktunya. Saya sadar bahwa ada pribadi yang mengendalikan waktu. Tuhan adalah awal dan akhir-segalanya menuju kepadaNya. Tuhan masih memberi saya waktu.
Kali ini saya menggunakannya untuk membaca dan menulis. Tak terasa saya hampir menyelesaikan membaca buku-buku yang ada di perpustakaan pribadi saya. Buku-buku itu menjadi sahabat yang karib dengan saya; mereka menjadi teman diskusi disaat manusia tidak bisa menjadi teman komunikasi yang baik.
Buku membuka dirinya untuk ditafsir dan dikritik. Ia juga banyak mengkritik saya tanpa harus menggurui dan menghakimi saya-terutama tentang keputusan saya untuk mundur dari GGD. Buku menjadi penyemangat disaat saya terbaring karena flu.
Saya seperti terhipnotis jika melihat mereka menumpuk membentuk formasi bersusun di meja belajar saya-berderet berdiri di lemari perpustakaan-indah dan bercahaya disinari cahaya mentari yang masuk dari kaca jendela kamar yang memang menghadap ke timur.
Dari buku, saya belajar tentang kepasrahan. Apalagi buku injil yang memang akhir-akhir ini menjadi sangat akrab dengan saya. Injil banyak menginspirasi saya dalam menulis puisi. Firman yang ditulis dengan cara yang sederhana mengundang saya untuk memasrahkan hidup sepenuhnya kepada Kristus seperti dalam puisi “Mencari Tuhan”
Pria yang tergantung itu
Penuh darah bercucuran
Sederas air mataku
Memohon ampunan
Di setiap tarikan nafasmu
Terdapat hembusan salahku
Disetiap erangan sakitmu
Terdapat teriakan dosaku
Aku memandang wajahmu
Penuh belas kasihan
Padahal engkau pun menderita
Sungguh engkau anak Allah
Aku anak yang hilang
Mencari jalan pulang
Biarkan aku masuk
Aku tak kan berisik
Aku hanya ingin berbisik:
“jika engkau mau…
Sembuhkanlah aku”
Manusia tidak harus selalu merasakan kelemahan fisik untuk merasakan sakit. Apa yang saya alami dengan kekecewaan demi kekecewaan juga merupakan kesakitan jiwa yang kosong. Buku mengisi kekosongan itu. Di saat rasa dan gairah akan kata-kata tak mampu ditahan lagi maka lahirlah sebuah tulisan.
Menulis adalah proses kreatif yang membawa saya pada bangkitnya semangat hidup dan melupakan semua kekecewaan yang pernah dialami. Menulis tak jauh berbeda dengan membaca karena bagi saya dua kegiatan ini sama seperti dua sisi mata uang logam yang tak bisa dipisahkan. Seperti halnya membaca, kita juga merasakan terjadi dialektika disaat kita menulis. Kita berdialog dengan ide, kertas, pensil atau pun laptop.
Di saat saya membaca dan menulis, satu demi satu kekecewaan menghilang dan seiring waktu saya melupakannya. Kekecewaan akan selalu ada selama kita masih berziarah di dunia ini.
Namun Tuhan masih memberi waktu. Dalam waktunya, kita menemukan hikmat. Banyak cara kita bisa menemukan hikmat yang datang dari atas (hikmat Tuhan). Belajar dari ciptaan dan belajar dari firmannya.
Semua yang tertulis dahulu adalah pelajaran untuk kita sekarang. Bagi saya, injil adalah sumber hikmat sejati. Saya memang mencintai buku dan saya telah melihat sendiri kalau segala hikmat duniawi itu ternyata hanyalah salinan ulang dari hikmat yang ada dalam alkitab.
Kata-kata bijak, ilmu pengetahuan dan segala hikmat yang ditulis oleh pesohor dunia dalam buku-buku yang saya baca sebenarnya hanyalah “tulisan ulang” dengan gaya baru tentang apa yang sudah ditulis ribuan tahun yang lalu dalam sebuah buku kehidupan yang langsung diilhamkan oleh pemilik kehidupan; alkitab sumber hikmat sejati dari Tuhan. Buku inilah yang menjadi jawaban yang menyembuhkan segala kekecewaan dan kegelisahan manusia.