Ada suatu pertanyaan instropektif yang sering penulis tanyakan kepada diri sendiri sejak beberapa waktu belakangan: “Kenapa terasa malas sekali sekarang untuk menulis?”. Tahun 2021 lalu saja, penulis hanya menulis tiga tulisan, itupun hanya dua yang dipublikasikan secara daring. Penulis kadang merasa agak sedikit “sakit perut” (iri) jika melihat penulis-penulis yang produktif bahkan di saat pandemi sekarang. Ada yang menulis di beragam platform kepenulisan, ada yang juga tulisannya tembus media-media cetak.

Ada perasaan ketertinggalan, tentunya dengan keinsyafan bahwa penulis secara pribadi tidak seproduktif dulu lagi. Apakah saat ini dunia baik-baik saja sehingga tidak perlu dikomentari? Apakah semuanya saat ini berada di jalan yang benar sehingga tidak perlu lagi sesuatu untuk mendapat masukan atau kritik? Tidak juga. Hidup tidak pernah begitu-begitu saja ataupun juga baik-baik saja. Selalu ada masalah, selalu ada kisah. Jika hidup ini begitu-begitu saja, tidak bakal ada berita yang disiarkan radio dan televisi atau yang diterbitkan surat kabar dan majalah.

Lalu, mengapa penulis seakan enggan berkomentar lagi seperti dulu? Apakah situasi sekarang tidak “seseksi” zaman pemilihan yang lalu sehingga penulis beranggapan tulisan-tulisannya tidak akan dibaca? Apakah situasi sekarang tidak “senikmat” kasus Ahok lampau sehingga tidak perlu lagi ada tanggapan-tanggapan tajam atas perkara yang ada? Itu juga tidak benar. Apa yang terjadi saat itu masih memiliki kelanjutannya (sekuel) saat ini. Meski tidak sepanas dulu, runtutan kejadian yang dulu hingga sekarang masih tetap relevan untuk dibahas.

Jika penulis mencoba menjawab pertanyaan instropektif tersebut, mungkin jawaban secara sederhananya adalah: “Penulis tidak ada waktu untuk menulis”. Dan jikapun ada, maka sebenarnya penulis cuma malas. Tentu, goleran di kasur lebih menyenangkan dibandingkan senam mental (mental gymnastics) yang dilakukan lewat menulis. Menulis sesuatu tidak hanya harus baik, tapi juga harus benar. Untuk mencapai kebenaran tersebut, fakta-fakta perlu dipelajari sehingga tulisan kita bernas adanya. Usaha-usaha untuk mencapai kebernasan ini yang kadang cukup memakan waktu dan tenaga.

Terkadang kita memiliki ide atau inspirasi untuk suatu tulisan. Tapi, tiba-tiba teringat apakah tulisan yang akan kita jadikan ini dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Di sini yang terkadang penulis mundur sejenak, membaca dan membandingkan pendapat atau fakta, sehingga apa yang ditulis itu nanti bisa dikatakan sebagai tulisan yang benar dan bernas. Namun, saat itu juga penulis kadang kebablasan. Membaca buku atau tulisan daring sambil rebahan tidak menghasilkan inspirasi apapun, hanya ketiduran sambil sesekali terbangun karena ponsel menghantam muka.

Selain itu, kehidupan sehari-hari, terutamanya urusan kerja, telah banyak menyita tenaga penulis secara drastis. Menulis, bukanlah usaha untuk mencari makan bagi penulis, berbeda dengan banyak orang yang menulis sebagai apa yang disebut sebagai “buruh tinta” (butin, bukan bucin). Itu adalah hobi, kegiatan di waktu luang. Selama ini penulis tidak mendapatkan sepeser apapun dari kegiatan menulisnya. Tidak juga terpetik keinginan untuk menerbitkan tulisan-tulisan dalam bentuk buku. Penulis merasa bukan tokoh penting atau sosok apapun yang tulisannya akan berpengaruh di masyarakat. Tidak ada urgensi untuk menyebarkan tulisan-tulisan tersebut.

Mungkin yang dikatakan Dewi Lestari bahwa “menulis itu seperti bercinta” adalah benar. Keinginan menulis kadang muncul bagaikan libido, bisa menguat dan memuncak secara tiba-tiba. Tapi, juga bisa menurun seiring usia, alias “lemah syahwat”. Penulis menulis untuk mencurahkan “libido menulis” itu keluar, terutama ketika libido dulu masih kuat-kuatnya. Ketika libido ini melemah, penulis dengan penuh kepasrahan menerimanya dan tidak memaksanya untuk menguat seperti dulu.

Memiliki pekerjaan telah menyita waktu luang penulis. Stres karena pekerjaan telah “membunuh” libido menulis bagi penulis, layaknya apa yang terjadi pada libido-libido seksual bagi mereka yang juga bekerja mati-matian mencari nafkah. Di satu tempat penulis bekerja dalam birokrasi, di tempat lain penulis merupakan seorang konsultan yang masih aktif ke sana ke mari. Kadang kedua pekerjaan ini bisa dilakukan di hari yang sama. Kadang penulis juga tidak berlibur di akhir pekan karena urusan pekerjaan sebagai konsultan. Melelahkan sehingga wajar penulis “lemah syahwat”, dalam hal menulis maksudnya.

Gabungan dari faktor-faktor tersebutlah, yakni tidak riuhnya keadaan masyarakat yang seperti dulu ditambah dengan kelesuan secara mental untuk melakukan senam otak, yang sebenarnya membuat penulis lebih banyak menyimpan uraian dan pandangannya atas kejadian-kejadian yang ada saat ini ke dalam pikiran. Pemikiran itu hanya mentok sebatas renungan-renungan, tapi tidak pernah lagi mampu dicurahkan dalam bentuk tulisan, apalagi secara lisan.

Penulis merasa bahwa seperti halnya kombinasi antara keadaan masyarakat saat itu yang menuntut tiap-tiap orang berpendapat, adanya waktu luang yang signifikan dan adanya platform daring yang semakin banyak, yang membuat penulis bisa menulis. Penulis mulai menulis karena adanya keadaan-keadaan yang mendukungnya untuk melakukan itu. Kini, situasi telah berubah. Keadaan-keadaan hidup, baik pada masyarakat secara keseluruhan atau pada pribadi penulis sendiri, tidak memungkinkan penulis untuk produktif.

Mungkin ini saatnya bagi penulis menjadi apa yang dikatakan oleh aktivis mendiang Arief Budiman, yakni menjadi resi yang naik ke pertapaannya di atas gunung. Layaknya naik gunung menjauhi keramaian, kembali pada kesederhanaan kehidupan diri sendiri mungkin menjadi sesuatu yang perlu dilakukan saat ini. Selain memberikan tempat bagi penulis-penulis lain yang lebih muda dan lebih produktif untuk mendapatkan pengakuannya secara publik, mungkin bijak bagi penulis untuk belajar mengamati, mempertajam renungannya dan tidak memaksa diri untuk produktif.

Dari pertapaannya di atas gunung, resi-resi atau orang-orang bijak zaman Hindu-Budha menjauhkan dirinya dari konflik duniawi, mencari kedamaian jiwa untuk menjernihkan kembali pikiran, membuka kembali sudut pandang dan melihat kembali kejadian-kejadian hidup. Seperti itu juga, tenggelam dalam kehidupan pribadi adalah pilihan penulis untuk mencapai kesederhanaan hidup tersebut. Mungkin penulis bisa menjadi lebih dewasa dari kehidupan yang dilaluinya ini.

Namun, penulis tidak akan berhenti mengamati dan tidak akan berhenti juga untuk menilai dan memberikan pendapatnya atas keadaan-keadaan di masyarakatnya. Penulis akan tetap menulis dan terus menulis sebagai bentuk pengabdian diri ini terhadap kemajuan demokrasi di masyarakat kita. Untuk itu penulis akan terus memberikan pendapatnya untuk masyarakat dan negaranya sebagai bentuk baktinya yang paling luhur.

Tapi untuk saat ini, mari kita santai dulu. Biarkan penulis menerima kebuntuan ini dengan penuh kebesaran hati, karena menulis itu tidak perlu dipaksakan.