Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan hasil rekapitulasi pemilihan suara calon Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Mei 2019. Meski demikian, pasangan calon Presiden nomor 02 secara confident telah lebih awal mengumumkan dan mendeklarasikan kemenangannya sebagai Presiden. 

Bahkan deklarasi dilakukan empat jam setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup. Tidak tanggung-tanggung, Prabowo secara tegas mengatakan bahwa berdasarkan hasil exit poll di 5.000 TPS, dirinya menang 52,2 persen.

Beberapa jam setelah itu, Prabowo kembali melakukan Press Conference di kediamannya, dalam pernyataannya, dirinya kembali mengungkapkan bahwa persentase kemenangannya bertambah 62 persen. Angka tersebut merupakan hasil rekapitulasi real count yang dilakukan oleh tim internal BPN Prabowo – Sandi. 

Tentunya, ingatan kita juga masih segar terkait hal serupa yang dilakukan oleh Prabowo saat nyapres di tahun 2014. Tanpa menunggu pengumuman resmi KPU, Prabowo langsung melakukan deklarasi dan sujud syukur atas klaim kemenangannya.

Secara tidak langsung, deklarasi-deklarasi seperti itu memberikan harapan palsu dan membuat para pendukung 02 terjebak pada euforia kemenangan.

Pada tanggal 22 Mei 2019, KPU mengumumkan hasil rekapitulasi pemilihan suara yang dimana KPU menyatakan bahwa pasangan calon nomor urut 01 Jokowi – Ma'ruf unggul dengan persentase 55,50 persen dengan jumlah suara 85.607.362.

Kekalahan Demi Kekalahan 

Prabowo adalah seorang militer, mantan Danjen Kopassus yang sudah sejak zaman Orde Baru namanya cukup dikenal. Apalagi setelah dirinya menjadi menantu Suharto dan diberhentikan dari dinas militer karena dikaitan dengan kasus penculikan aktivis. Karir kemiliteran Prabowo ikut merosot seiring dengan kejatuhan Suharto pada 21 Mei 1998.

Praktis, Prabowo memulai kembali karirnya dengan ikut terlibat dalam politik  dan mengikuti kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Tahun 2009 yang saat itu berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri.

Alhasil, pasangan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto, dikalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen.

Pada tahun 2014, Prabowo kembali mengikuti kontestasi  pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, dan kali ini sebagai calon Presiden dengan didampingi oleh calon wakil Presidennya, Hatta Rajasa. 

Dalam proses pemilu tersebut, Prabowo membuat koalisi pemenangan yang bernama Koalisi Merah Putih (KMP), yang didalamnya  terdapat beberapa partai, di antaranya Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, Golkar, Demokrat, dan Perindo (masuk dalam koalisi pada bulan April 2015).

Dalam pemilu 2014, Prabowo diperhadapkan dengan lawannya yang relative masih baru dalam perpolitikan Indonesia yaitu Joko Widodo. Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla yang pada saat itu juga membentuk tim koalisi pemenangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang diusung oleh PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI.

Pada tanggal 22 Juli 2014, KPU RI mengumumkan bahwa Jokowi – Jusuf Kalla menjadi pemenang dalam kontestasi pemilu 2014. Dengan perolehan suara sebesar 53,15 persen (70.997.833 juta suara pemilih), mengalahkan pasangan Prabowo - Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85 persen (62.576.444 Juta suara pemilih).  

Dan pada tanggal 22 Mei 2019 kemarin KPU RI mengumumkan Jokowi menjadi Presiden RI untuk yang kedua kalinya.

Ambisi Prabowo Menjadi Presiden

Walaupun mengalami kekalahan dalam pemilu 2019, Prabowo bersama tim nya tetap keukeuh menolak hasil rekapitulasi suara yang  diumumkan oleh KPU RI.

Ada beberapa hal yang penting untuk dibongkar secara fundamental mengapa Prabowo begitu berambisi untuk menjadi Presiden RI. Menurut pandangan saya:

Pertama, Prabowo adalah seorang eks militer yang mempunyai hasrat selalu ingin berpolitik dan berkuasa. Dan hasrat selalu ingin berpolitik dan berkuasa tersebut secara inheren ada pada militer Indonesia. Jika mempelajari sejarah, peran militer dalam mengintervensi kehidupan sipil tidak lepas dari bagaimana militer mempengaruhi politik di Indonesia. 

Intervensi militer secara telanjang ke wilayah politik sipil untuk pertama kalinya dilakukan pada 17 Oktober 1952. 

Pada hari itu militer AD (Angkatan Darat) mengerahkan ribuan massa beserta meriam-meriamnya dengan menggunakan truk-truk Tentara ke depan Istana Merdeka. Mereka bermaksud menekan Presiden Sukarno agar bersedia membubarkan parlemen. 

Peristiwa kudeta yang gagal tersebut, berbuntut perpecahan AD ke dalam dua Fraksi Peristiwa 17 oktober 1952 pada pokoknya adalah pergulatan antara kekuatan yang mengkehendaki posisi otonom TNI AD yang kelak berkembang menjadi fungsi sosial-politik ABRI melawan mereka yang menganut paham supremasi sipil terhadap militer..(Menentang Mitos Tentara Rakyat 2005)

Kedua, Prabowo mempunyai  watak ingin selalu berbisnis serta mencari peluang membangun bisnis baru. Watak tersebut terbangun atas didikan serta pengalaman-pengalaman militer Indonesia dalam berbisnis yang membudaya sampai dengan sekarang.

Militer Indonesia secara historis bukanlah militer yang secara profesional bekerja untuk pertahanan negara seperti militer-militer Profesional di Barat. 

Menurut Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht, untuk pertama kalinya militer Indonesia terlibat dalam bisnis, saat Sukarno menunjuk KSAD Mayor Jenderal A.H Nasution selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) melakukan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 13 Desember 1957.

Kepemimpinan militer juga mengendalikan sejumlah seksi ekonomi nasional; pengawasan penuh dan langsung terhadap manajemen administrasi dan operasi. Oleh karena itu, Nasionalisasi perusahaan milik Belanda memunculkan suatu kelas sosial baru, para kaum pengusaha militer.

Keterlibatan militer dalam ekonomi nasional sudah dimulai segera setelah Indonesia merdeka. Menurut Pham, pada 24 Agustus 1957, Kementerian Pertahanan mengeluarkan instruksi agar mengidentifikasi  perusahaan, jawatan, dan lembaga-lembaga yang dianggap penting untuk militer. 

Tujuan utama penempatan perusahaan-perusahaan Belanda dibawah militer untuk mendapatkan dana yang disalurkan langsung ke institusi militer tanpa melalui pemerintah.

Ketiga, bukan rahasia umum lagi bila seorang pengusaha/pemodal yang mempunyai ambisi merebut kekuasaan politk, tidak lain hanyalah bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan investasinya. Agar lebih mudah mengeluarkan kebijakan, regulasi yang menguntungkan bisnisnya. 

Apalagi kita mengetahui secara terang bahwa kursi presiden RI diperebutkan oleh Prabowo, seorang eks militer yang memiliki segudang perusahaan di seantero Nusantara. 

Menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang, Nusantara Energy Resources diduga terlibat dalam kejahatan pajak, tercantum diantara 13,4 juta dokumen hasil investigasi International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang diberi judul Paradise Paper. 

Isinya merinci orang kaya di seluruh dunia yang melarikan diri dari pajak dengan menimbun uang di negara bebas pajak.

Prabowo tercatat sebagai Direktur dan wakil ketua perusahaan ini yang terdaftar di Bermuda, negara suaka pajak di dunia. Disebutkan bahwa perusahaan ini terdaftar di Bermuda pada 2001 dan ditutup pada 2004. Perusahaan ini dinilai sebagai debitur yang buruk. 

Selain masalah pajak, Nusantara Energy Resources juga diduga terlibat dalam perebutan lahan konsesi tambang batu bara Churchill Mining dan Ridlatama di Kutai Timur. 

Semua itu terjadi atas relasi politik dan bisnis antara Bupati Kutai Timur saat itu Isran Noor dengan Prabowo Subianto. Isran Noor yang kini menjadi Gubernur Kalimantan Timur berpindah perahu politik dari Demokrat dan PKPI ke Partai Gerindra.

Bukan hanya Prabowo saja, melainkan orang-orang seperti Sandiaga Uno, Tommy Suharto, Maher Al-Gadri, Ferry Mursyidan Baldan, Hasim Djojohadikusumo, adalah pemodal yang berada dalam koalisi Badan Pemenangan Nasional Prabowo – Sandi.