Seorang mahasiswa tentu merasa tidak asyik jika tidak pernah terlibat dalam organisasi, sebagai wadah untuk dapat mengasah kemampuan berpikir, berimajinasi, diskusi, dan melaksanakan berbagai kegiatan sosial.
Ada banyak organisasi yang dapat kita jumpai di dunia kampus. Dari organisasi itu jelas sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri kita sebagai mahasiswa dalam berbuat. Dan semestinya menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan agar dapat mengabdi pada tanah air dengan jiwa yang pancasilais.
Sebagai organisasi cipayung haruslah dapat menjadi benteng dalam gerakan untuk mahasiswa. Bagi saya pribadi mungkin salah satu organisasi yang bisa kita kenali adalah GMNI, tanpa melihat dengan sekilas dan belajar hanya dari kulitnya saja. Bukan berarti melakukan sosialisasi.
GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) adalah organisasi gerakan yang berbasis kerakyatan berdiri pada 23 Maret 1954. GMNI merupakan kesepakatan dari tiga peleburan organisasi yang berasaskan sama yakni Marhaenisme ajaran Bung Karno.
Lahirnya GMNI didasari karena ada keinginan untuk terus merawat pikiran-pikiran Soekarno dan juga dapat melahirkan Soekarno-Soekarno muda nantinya. Berjuang secara dinamis dalam mewujudkan sosialisme Indonesia. Semestinya itulah perjuangan GMNI.
Sebagai organisasi gerakan dengan haluan ideologi Marhaenisme ajaran Bung Karno, tentu tidaklah mudah dan mulus dalam menyebarkan ajaran-ajarannya tersebut untuk konteks hari ini. Bagaimana tidak, GMNI juga mengalami korban politik dari sistem otoriter Orde Baru.
Terjadinya GESTOK PKI berimbas terhadap Soekarno di bawah pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya politik de-Soekarnoisasi yang berlangsung selama 32 tahun lamanya telah mengaburkan catatan sejarah dari kiprah Soekarno terhadap Indonesia. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan Kekuasaan Presiden Soekarno yang diduga terlibat memberikan dukungan terhadap peristiwa G-30-S/PKI.
Dalam politik de-Soekarnoisasi bukan hanya jasad Soekarno yang dihancurkan, tetapi sampai pada pikirannya akan dilenyapkan. Sampai beliau wafat, Soekarno tidak pernah mendapatkan pengadilan secara hukum dalam menjalani tahanan politik.
Ajaran-ajaran Marxisme, Lenismisme dan Komunisme diharamkan untuk dikonsumsi di Indonesia. Kondisi tersebut juga mengalir pada pelarangan ajaran Marhaenisme untuk dibaca dan perlahan seakan dimusnahkan. Buku-buku Soekarno seperti "Dibawah Bendera Revolusi Jilid I dan II" pernah dilarang untuk dibaca pada zaman Orde Baru.
Akibat dari de-Soekarnoisasi tersebut, jelas juga berakibat pula pada organisasi GMNI sebagai penganut ajaran Marhaenisme Bung Karno. Jatuh bangun dalam gerakan untuk terus merawat ajaran Marhaenisme telah dirasakan dalam kepahitan sehingga tidak dapat bergerak secara leluasa.
Perpecahan pun terjadi dalam tubuh GMNI, banyak dari kader-kader GMNI melakukan gerakan kembali ke desa dengan makan dan hidup bersama rakyat. Tetapi, hal ini justru membuat organisasi tidak dapat menambah basis karena ruang pergerakan keluar dari kampus. Padahal GMNI adalah organisasi mahasiswa dan tentu generasi penerus berasal dari mahasiswa. Setiap gerakan GMNI sering mendapatkan infiltrasi dari rezim penguasa Orde Baru.
Kondisi ini adalah trauma yang terus diupayakan untuk bergerak meskipun selalu berada dalam bayangan Orde Baru. Hingga akhirnya gerakan GMNI dapat kembali berjalan secara normal setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru, walaupun masih ada pihak yang melabeli negatif terhadap GMNI akibat sisah dogma dari pengaruh Orde Baru tersebut.
Itulah bentuk perjuangan, segala tantangan dan hantaman akan datang dari berbagai arah. Hal yang tidak bisa dipungkiri jika ada kelompok ingin menghancurkan dengan berbagai macam cara. Namun, GMNI tetap tegar untuk terus merawat fikiran Bung Karno dan menyebarkannya kepada khalayak umum.
Dalam konteks hari ini, GMNI akan menjadi garda terdepan untuk berbicara tentang keindonesiaan dan kebangsaan. Melihat sejarah Indonesia yang dibangun tanpa ada diskriminasi terhadap agama dan suku. Begitulah organisasi GMNI menghimpun semua golongan tanpa memandang suku, ras, budaya dan agama. Bagaikan ketika melihat GMNI seperti halnya melihat Indonesia mini.
Mengenal GMNI merupakan alternatif untuk dapat mengenang dalam mewarisi api semangat dan pikiran Bung Karno. Membuka realita mengenai kiprah dan sumbangsih Soekarno terhadap bangsa dan negara Indonesia. Bahwa ketika berbicara Indonesia tentu tidak bisa lepas dari peran seorang Soekarno, begitu pun dengan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila is Marhaenisme, Marhaenisme is Pancasila.
Melalui GMNI, sosok untuk terus merawat pikiran-pikiran Soekarno adalah sebuah asas perjuangan. Keberpihakan GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis kerakyatan dalam semboyan berjuang bersama kaum marhaen. Kaum marhaen yang dimaksud Soekarno adalah semua rakyat kecil yang ditindas atau dimelaratkan oleh sistem.
Kenapa mesti ber-GMNI karena di sanalah akan mengenal beragam macam karakter, mengkaji ideologi Marhaenisme sebagai ajaran yang dapat menjadi pemersatu bangsa. Menjadi ladang untuk dapat mewarisi api semangat Bung Karno, menyebarkan ajaran-ajarannya sebagai relevansi terhadap bangsa Indonesia yang tidak bisa dinafikan dengan perjalanan dan arah Indonesia ke depan.