Anda pastinya tidak asing dengan rokok, nah pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai aktivitas merokok jika dikaitkan dengan teori yang sudah dikemukakan oleh beberapa filsuf. Tapi sebelumnya, mari mengetahui sejarah rokok itu terlebih dahulu.

Mengutip dari Tobacco Atlas, awalnya mengunyah tembakau merupakan ritual yang dilakukan di Amerika Selatan pada 4000 SM. Lalu, beberapa abad kemudian diperkenalkan Christopher Colombus saat ia menemukan tanaman tembakau. Dan dibawa ke berbagai tempat oleh bangsa Eropa dengan kapal laut.

Kemudian para pelaut melakukan kebiasaan suku Aborigin dengan cara dipadatkan ke dalam pipa atau cerutu. Lama-lama berkembang dan banyak alternatif yang dapat digunakan untuk menikmati tembakau. Diantaranya dengan dihisap atau dihirup karena tembakau memiliki aroma yang wangi. Menghirup tembakau dipercaya dapat menyembuhkan pilek dan radang hidung. Mengunyah tembakau pun sudah menjadi kebiasaan para petani Amerika.

Lalu makin berkembang dengan cara meletakkan tembakau di lintingan kertas khusus yang dibuat menggunakan tangan. Kemudian dengan cepat menyebar dan digemari para tentara dan pelaut. Pada 1830 ditemukannya istilah rokok dan mesin pembuat rokok pertama kali dipatenkan pada 1847 dan saat dikembangkan pada tahun 1880-an, produksi rokok meningkat. 

Pengguna rokok tercatat meningkat pada abad ke-20 dan terus melonjak pada tahun 1965 di Amerika Serikat. Meski konsumsi rokok sempat turun pada tahun 2000 dan 2016 di AS, tetapi secara global konsumsi rokok masih sangat tinggi. Sehingga produksinya terus bertambah dan berkembang hingga saat ini.

Di Indonesia, perusahaan pembuat rokok membuat iklan yang bisa dilihat di berbagai tempat seperti televisi, media sosial, papan reklame dengan menunjukkan bahwa pengguna rokok seakan-akan terlihat keren sehingga masyarakat tertarik mencoba merokok dan menganggap dirinya keren. 

Menurut kemenkes, banyak faktor yang membuat seseorang tertarik mencoba rokok. Diantaranya, ingin tampil gaul, keren dan dewasa, persepsi bahwa rokok bisa menghilangkan stress, mengusir rasa jenuh, dapat bersosialisasi di komunitasnya dan ingin mencoba citarasa.

Dengan perkembangan zaman yang pesat, menyebabkan merokok tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan banyak juga anak-anak muda yang mulai mencoba-coba. Banyak anak-anak SMA yang mungkin sering melihat orang-orang di sekitarnya menjadi ingin tahu bagaimana rasanya merokok, ada juga yang tertarik agar dianggap keren oleh kalangannya.

Kemudian merokok menjadi hal yang biasa dan menjadi suatu aktivitas yang terlihat wajar. Banyak perusahaan yang berlomba-lomba untuk memproduksi rokok dengan kualitas yang bagus dan berbagai macam citarasa.

Selanjutnya pada tahun 2003 muncul vapor (vape) atau rokok elektrik meski sebenarnya sudah ada sejak tahun 1930-an, vape baru disempurnakan pada tahun 2003. Tentunya produk ini tidak langsung masuk ke Indonesia. Vape merupakan alat yang berfungsi seperti rokok tapi tidak menggunakan tembakau melainkan cairan yang mengandung nikotin, zat kimia dan perasa yang bersifat toksik.

Awalnya, vape dibuat untuk membantu perokok untuk lepas dari kebiasaan itu dan baru masuk ke Indonesia pada tahun 2012. Namun pada awal masuk, vape belum terlalu dikenal masyarakat. Vape berkembang karena banyak masyarakat yang pergi keluar negeri dan memperkenalkannya ke daerahnya masing-masing.

Sehingga terjadi peralihan dari rokok menjadi vape. Tapi ternyata, vape di Indonesia juga memiliki masa suram. Pada tahun 2014, banyak isu negatif yang beredar. Tapi karena tidak terbukti hal itu tidak terjadi lama dan justru menjadi masa kejayaannya pada tahun 2015. 

Makin banyak orang yang menggunakan vape dan menjadi ‘ngetrend’ di kalangan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar. Semakin hari pun penggunanya makin bertambah terutama di kalangan anak muda atau dewasa awal.

Berbeda dengan rokok filter yang berasal dari daun-daun tembakau yang dibungkus, vape menggunakan tenaga listrik atau baterai. Vape memiliki pilihan rasa seperti rasa buah, susu dan coklat sehingga menarik anak-anak muda.

Meski beberapa pihak mengatakan bahwa rokok elektrik lebih aman dibanding rokok filter karena tidak menggunakan tembakau, tetapi hal ini pun masih banyak diperdebatkan. Masih belum ada penelitian pasti yang dapat membuktikan bahwa vape lebih aman dibanding rokok.

Sebatang rokok yang mengandung 4000 jenis senyawa kimia, 400 zat berbahaya dan 43 zat penyebab kanker membuat aktivitas merokok ini akan berdampak buruk. Tentunya tidak hanya sebatang rokok saja yang berbahaya, tetapi rokok elektronik juga mengandung zat bahayanya sendiri. Rokok elektronik mengandung propilen glikol yang dapat mengiritasi paru-paru dan mata, nikotin yang dapat membuat efek kecanduan dan masih banyak lagi.

Secara umum, merokok dapat menyebabkan risiko pada kesehatan seperti gangguan pernapasan, kanker, strok, jantung koroner hingga kematian. Menurut kemenkes, terdapat efek dan dampak (perokok pasif) bagi anak dan remaja. Diantaranya mengganggu prestasi belajar, terganggunya perkembangan paru-paru, mudah terinfeksi penyakit pernapasan, menjadi peniru orang tua, perilaku menjadi agresif dan suka menantang.

Menurut WHO, setiap tahun sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat rokok atau penyakit yang disebabkan tembakau. Kematian akibat rokok menjadi peringkat kedua dan angkanya pun diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya.


Pembahasan Garis Besar mengenai Teori Martin Heidegger

Berdasarkan sejarah dan perkembangan yang sudah dibahas sebelumnya, ternyata fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat pun dapat dikaitkan dengan teori-teori filsuf, diantaranya Martin Heidegger dan Arthur Schopenhauer.

Martin Heidegger membahas mengenai manusia otentik. Ia mengatakan bahwa manusia cenderung ikut-ikutan dan menjadikannya tidak otentik. Ia menggemukkan tentang eksistensialisme beserta temanya. Ada lima tema eksistensialisme menurut Heidegger. Diantaranya faktisitas (manusia ‘terlempar’ ke dunia), das maan (manusia terperangkap dalam rutinitas), kecemasan (cemas akan ketiadaan), kematian dan keotentikan.

Sebelumnya, mari membahas sedikit mengenai ‘Das Mann’, kecemasan dan keotentikan. Pertama, menurut Heidegger das mann adalah fase dimana individu kehilangan kemampuan mengambil keputusan yang ditentukan diri sendiri karena terkurung dalam kesadaran palsu sehingga individu lebih memilih mengikuti arus massa. Tanpa disadari manusia akan kehilangan keotentikan atau keunikannya.

Selanjutnya ada kecemasan dan ketiadaan. Sebagian besar manusia akan merasa takut dan cemas akan ketiadaan. Meski sebenarnya objek kecemasan itu sendiri tidak ada, tetapi justru menjadi ancaman. Tapi, manusia pandai menutupinya dengan suasana hati lalu menghindarinya dengan sibuk melakukan kesehariannya dan larut dalam das mann.

Yang terakhir dari Heidegger, ada keotentikan. Sebelum mengalami keotentikan, manusia akan melewati tahap-tahap tadi. Menjadi otentik berarti memiliki keunikannya sendiri dan mengubah keterlibatan dan perhatiannya terhadap dunia. Untuk itu, individu perlu mendengarkan hati nuraninya dengan menghayati kesendiriannya hingga mampu menemukan kejelasan tentang diri sendiri.


Kaitan Teori Martin Heidegger dengan Fenomena

Dengan membaca tema eksistensialisme, mungkin pembaca sudah dapat mengira-ngira apa yang dapat dikaitkan berdasarkan fenomena sebelumnya. 

Terdapat ‘Das Mann’, kecemasan dan ketiadaan, mengapa demikian? Karena dengan merokok dan ikut-ikutan teman sebayanya, manusia dapat dikatakan jatuh atau terperangkap. Yang awalnya tidak ingin mencoba, tetapi karena tidak mau menolak atau takut tidak dianggap, akhirnya mencoba dan kecanduan.

Terdapat tiga tema yang mencakup fenomena ini. Pertama pada das mann, individu dapat dikatakan jatuh dan terperangkap karena memilih untuk ikut-ikutan dengan temannya atau mengikuti tren. Mungkin awalnya tidak ingin mencoba, tapi karena tidak mau menolak akhirnya memutuskan untuk mencoba dan menjadi kecanduan.

Lalu kecemasan, individu takut tidak dianggap oleh teman sebayanya karena tidak mau merokok. Beberapa individu cenderung takut jika menolak, ia tidak dianggap temannya atau dianggap belum dewasa. Dan yang terakhir keotentikan. Dengan terus berada pada das mann dan kecemasan, individu tidak akan mempunyai keotentikannya sendiri. Jika ingin menjadi manusia yang otentik, individu harus bisa mendengarkan hati nuraninya sendiri tanpa terpengaruh orang lain. Puncaknya berada saat manusia mampu menemukan kejelasan tentang dirinya sendiri.


Pembahasan Garis Besar mengenai Teori Arthur Schopenhauer

Selanjutnya ada Arthur Schopenhauer, teorinya membahas mengenai kehendak. Menurutnya, hakikat manusia adalah kehendak. Kehendak sendiri adalah dorongan buta yang terus mendorong tanpa tujuan. Kehendak dalam individu tidak pernah beristirahat. Ia juga mengatakan bahwa hidup adalah kejahatan dan penderitaan. Ia memandang hidup sebagai rasa sakit dan rasa senang hanya sebagai pemberhentian sementara.


Kaitan Teori Arthur Schopenhauer dengan Fenomena

Kehendak buta yang dikatakan Schopenhauer berkaitan dengan fenomena ini. Karena meski orang-orang sudah mengetahui bahwa rokok mengandung zat yang berbahaya bahkan pada bungkus rokok sudah ditulis peringatan dan dampak buruknya, banyak orang tidak menghiraukan dan tetap melakukannya. 

Yang kedua, mengenai hidup adalah penderitaan. Mungkin tidak semua kasus dalam fenomena ini dapat dikaitkan, tetapi bagi beberapa orang, mereka merokok sebagai pelampiasan di saat kesulitan atau lelah. Mereka menjadikan rokok sebagai ‘pemberhentian sementara’ dari perasaan sakit atau stress yang dialami.


Kesimpulan

Terkadang, meski sudah mengetahui melakukan sesuatu akan berdampak buruk, individu tetap melakukannya dengan berbagai alasan terutama karena mengikuti tren seperti yang dikatakan Martin Heidegger. Manusia juga terkadang dikendalikan oleh dorongan buta sehingga tidak memperhatikan dampak jangka panjangnya seperti yang dikatakan Arthur Schopenhauer.