Sebagai paham yang lahir atas dasar kebebasan dan kemajuan manusia, tentu saja liberalisme patut dan harus kita bela. Tidak ada alasan yang masuk akal untuk mengabaikan hal demikian.

Sekilas, Anda mungkin saja akan menganggap saya sebagai penganut taat yang tidak kritis. Sebab, dari keseluruhan ide-ide liberalisme, sebut misalnya kebebasan individu, supremasi hukum, ekonomi pasar, sekularisme, demokrasi, konsep pendidikan, dan posisi perempuan, hampir tak ada celah yang saya temukan untuk menantangnya.

Justru, dari kandungan ide-ide tersebut, makin ada rasa kokoh untuk mengusung, membela, bahkan bila perlu mengadukannya dengan paham-paham yang lain. Ya, meski yang lain juga mengeklaim diri sebagai ide-ide yang baik bagi kehidupan manusia.

Untuk memulai pembelaan ini, baiklah kita bincang konsep kebebasan individu untuk pertama kalinya. Dari keseluruhan ide liberalisme, saya meyakini bahwa inilah visi satu-satunya yang hendak liberalisme tegakkan dalam penerapan dan pemberlakuannya.

Mengapa kebebasan individu? Tentang ini, patut kiranya mengutip kata-kata Ahmad Lutfi Sayyid (1873 – 1963):

“Andai kita dapat hidup hanya dengan roti dan air, tentulah hidup kita sudah menyenangkan, bahkan jauh lebih menyenangkan. Tetapi kebutuhan hidup yang paling mendasar yang membuat kita mencintai kehidupan, bukan hanya mengenyangkan perut yang lapar, tapi kebutuhan alami yang mirip dengan roti dan air. Kebutuhan alami ini jauh lebih tinggi. Dan saat ini, kebutuhan itu menjadi kebutuhan yang sangat mahal dan sangat berharga. Kebutuhan itu adalah kepuasan akal dan jiwa yang tidak akan dicapai kecuali dengan kebebasan.”

Gamblang dan tegas bahwa kebebasan—kebebasan individu—begitu penting kedudukannya bagi kelangsungan hidup. Seperti roti dan air sebagai simbol kebutuhan alami manusia, kebebasan pun merupakan sarana penghidupan, bahkan jauh lebih penting daripada sekadar mengenyangkan perut yang tengah lapar.

Sebagai kebutuhan alami, tiap manusia tentu punya hak untuk memilikinya. Sebagai hak, membelanya berarti juga adalah kewajiban.

Peran Pemerintah

Guna memperkuat eksistensi kebebasan individu, pemberlakuan konsep negara hukum menjadi satu keniscayaan. Di mata hukum, tak seorang individu pun punya derajat istimewa ketimbang yang lain. Tak ada yang lebih spesial di antara mereka. Tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, semua sama dan setara di depan hukum (equality before law).

Pertanyaannya, sejauh mana peran pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum bagi warga negaranya? 

Dalam kondisi kebebasan sebagai cita-cita liberalisme, peran pemerintah tidak banyak diperkenankan. Meski pemerintah adalah keburukan, senada dengan pandangan St. Augustinus, eksistensinya tetap merupakan suatu keharusan. Peran pemerintahah hanya sebatas bagaimana ia harus dan mampu menjaga kebebasan tiap-tiap individu warga negara.

Dalam rangka penjagaan tersebut, tentu pemerintah diharuskan membentuk pusat-pusat keamanan. Pemerintah berkewajiban membentuk lembaga kepolisian guna menjaga kedamaian dari dalam—sebab kepentingan tiap rakyat cenderung berbenturan; dan membentuk tentara untuk menjaga penjajahan dari luar—mewaspadai gerakan ekspansi. Di luar itu, peran pemerintah sama sekali tidak dimungkinkan keberadaannya.

Sebagai konsekuensi dari peran pemerintah yang demikian (minim dan terbatas), maka pemandangan yang akan terlihat adalah tiap warga bertransaksi secara bebas. Mereka bebas tukar-menukar barang yang saling mereka sukai. Mereka bebas memperjualbelikan produk-produk yang saling mereka butuhkan. Yang demikian inilah kondisi kebebasan riil, dan karenanya patut untuk kita bela.

Upaya apa pun, meski dengan dalih kesejahteraan umum, warga-wargalah yang patut menentukan. Ketika mereka mandiri dalam menentukan kebijakan apa yang baik bagi kehidupan perekonomiannya, maka yang lahir adalah masyarakat sejahtera. Kondisi ini tidak akan mungkin bisa terwujud tanpa dengan jalan kebebasan yang meniscayakan adanya kompetisi yang saling mendewasakan.

Selain membatasi peran pemerintah, juga membagi otoritas-otoritasnya di wilayah politik (trias-politica) patut pula dikumandangkan, sebab kekuasaan negara berbeda dengan kekuasaan agama. Negara dan agama masing-masing punya wilayah kekuasaan yang tak boleh bercampur-aduk, saling menggantikan, apalagi disatukan.

Tentang efek-efeknya, cukup kiranya kita menengok sejarah di Abad Pertengahan, atau sistem pemerintahan teokrasi di era-era kekuasaan raja-raja Islam di dunia Arab. Hampir tak ada manfaat positif bagi kehidupan rakyat ketika negara dan agama bercampur-baur. Yang ada adalah belenggu dan penjajahan atas nama tuhan dan agama.

Pendidikan Liberal

Untuk lebih mengukuhkan lagi kebebasan individu, peran pendidikan tak boleh dipandang sebelah mata. Kita tahu, tak ada bangsa beradab tanpa orang-orang beradab. Tak ada yang beradab tanpa orang-orang terdidik. Tak ada yang terdidik tanpa konsep pendidikan yang bebas.

Dalam konsep pendidikan bebas, perannya harus menyasar mereka-mereka yang kurang partisipatif dalam ruang publik. Entah itu anak-anak, orang tua, terutama kaum perempuan, pendidikan bagi mereka harus tetap bersifat bebas dan terbuka. Dengan begini, masyarakat bebas pada akhirnya akan lahir dan tercipta.

Sungguh, tak ada masyarakat bebas tanpa individu-individu yang bebas. Tak ada individu yang bebas tanpa sikap saling membebaskan dalam ruang-ruang publik. 

Laki-laki atau perempuan, anak-anak, orang dewasa dan orang-orang tua, mereka harus saling mencerdaskan dan mendewasakan. Meski mereka dituntut untuk saling berkompetisi, tak berarti bahwa arus yang hendak ditempuh adalah arus permusuhan layaknya sesama lawan.

Di samping itu, transer pendidikan harus pula terbuka luas. Seperti dalam konsep pasar bebas di bidang ekonomi, sumber-sumber belajar tak boleh ditetapkan secara baku. 

Biarkan tiap individu untuk belajar apa saja. Toh kelak tiap dari mereka dengan sendirinya akan paham bahwa hidup yang berarti adalah hidup harmonis dalam kebersamaan. Dan kondisi ini, sekali lagi, tidak akan dapat tercapai kecuali dengan jalan kebebasan.

***

Terkesan utopis memang. Tapi ke-utopis-an liberalisme ini lebih terlihat karena konsep-konsep pemikirannya yang terlalu ideal. Orang masih melulu meyakini bahwa idealitas akan selalu terbentur dengan realitas.

Meski demikian, kita juga harus selalu bertanya, apakah yang ideal-ideal itu selamanya tidak mampu mewujud dalam realitas kehidupan yang riil? 

Hanya yang tak bebas atau yang tak mau hidup bebas sajalah yang akan berpandangan dangkal semacam itu. Sedang pada mereka yang bebas dan yang mau hidup bebas, akan berpandangan sebaliknya.