Saya punya pengalaman sewaktu duduk di bangku SMA. Dulu saya pernah mengenal seorang perempuan, sahabat dekat yang sudah seperti saudara. Kami berdua sekelas. Pergi berangkat ke sekolah bersama-sama, begitupun ketika pulang ke sekolah kita selalu berbarengan bersama kawan-kawan yang lain. dia tidak memiliki sahabat yang akrab, sebagaimana keakraban kami. Bahkan di kalangan perempuan, dia hanya memiliki beberapa orang teman dekat. Teman laki-laki yang dekat dengannya hanya dapat dihitung dengan jari.

Dia begitu mempercayai saya, dan sering kemana-mana dia hampir selalu bersama-sama dengan saya. Dia pernah mengatakan padaku, bahwa dia begitu sayang padaku, sebagai seorang sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara. Saya memakluminya, dia adalah anak tunggal yang tidak pernah merasakan indahnya jika memiliki saudara. Meskipun dia hidup berkecukupan, orang tuanya termasuk kalangan terpandang dengan segala kecukupan, tapi dia masih merasa kekurangan. 

Itu pula  sebabnya, dia perlu memiliki orang-orang terdekat, yang dia percayai. Saya salah satunya. Dia bahkan sering mengajakku menemaninya untuk ngobrol di rumah ketika orang tuanya sedang ke luar kota atau mengajak jalan-jalan dan menghabiskan waktu berdua menonton film atau makan. dia menjadikanku tempat dia berbagai, menceritakan segalanya bahkan untuk urusan pribadi. Dia begitu mempercayaiku.

Saya pernah sekali bertanya, mengapa dia memperlakukanku “berbeda”? Dalam artian, saya diperlakukan istimewa. Jawabnya sederhana, karena menurutnya saya begitu memahami apa “kemauan” dia. Tapi ini bukan berarti aku “menuruti” apa saja maunya, tapi lebih ke saya bisa membaca pikiran dan kemauannya. Kemudian satu hal lagi yang membuat saya begitu berbeda baginya adalah, saya tak pernah memaksakan keinginan dan pandangan saya padanya. Ketika misalnya, dia sedang bimbang karena urusan asmara, saya hanya mengatakan padanya “pilihlah mana yang terbaik dan resikonya kecil, karena semua urusan tergantung diri kita masing-masing”. Begitulah kira-kira mengapa saya mendapat tempat yang spesial baginya.

Tapi tepat sebelum kita lulus SMA, perasaan cinta dan sayang sebagai sahabat dan saudara itu berubah drastis menjadi kebencian. Saat itu terjadi, saya tak pernah paham. Saya yang begitu dia percayai, dia banggakan, tiba-tiba menjadi orang yang paling dia benci. Saya yang dulu menjadi orang kepercayannya tiba-tiba menjadi musuh nomor satu. Saya tak menyangka, orang bisa berubah begitu cepat. Mengapa orang bisa dengan mudah membenci orang lain?

Hanya beberapa saat untuk saya mengerti mengapa dia begitu membenci saya. Alasannya mungkin terdengar tidak masuk akal: saya dibenci, karena saya berteman dengan orang yang dia benci. Sehingga dia menganggap saya sama. ketika saya tanya, mengapa dia membenci orang itu? jawabnya, “karena dia tidak melalukan seperti apa mau saya”. Jadi segampang itukah orang membenci?

Kita tentu pernah mengalami hal serupa; kita pernah dibenci orang, tidak disukai, bahkan untuk alasan yang sama sekali tidak jelas dan sulit dipahami. Ada orang yang dibenci, karena mungkin dia pernah menyakiti. Ada juga yang dibenci, karena apa yang dia lakukan bertentangan atau tidak sesuai dengan keinginan. Saya punya seorang keponakan, dia pernah “membenci” saya tidak lama. Itu dikarenakan dia marah karena saya tidak mengajaknya jalan-jalan. Itu berlangsung cukup lama. Hingga satu saat, saya membujuknya, mengikuti kemauannya dan mengajak dia jalan-jalan. Sejak saat itu dia tidak lagi membenci saya.

Untuk kasus saya dan teman sekolah saya, kebencian itu sepertinya “menular”, mirip seperti penyakit. Dia mungkin tidak akan membenci saya, andai saya tak pernah dekat dengan orang yang begitu dia benci karena pernah melakukan sesuatu yang tidak dia senangi. Tapi ketika saya melakukan itu, berteman dengan orang yang dia benci, rasa kebencian itu tiba-tiba menular dan menjangkiti saya. Meskipun tanpa salah dan alasan yang jelas, dia merasa berhak membenci saya.

Memang dunia akan selalu dipenuhi oleh kebencian, dan kebencian akan terus menular. Ketika kita membenci seseorang, dengan sendirinya kita telah mengundang orang untuk turut membenci kita. Dengan membenci orang lain, kita dengan sendirinya telah menebarkan sebuah pesan bahwa kebencian merupakan bagian dari penyelesaian masalah. Tapi apakah sesederhana itu? bukankah kebencian mesti berakhir dengan buruk? Bukankah kebencian adalah sikap yang menunjukkan bahwa kita tak pernah bisa menerima sikap dan pandangan orang.

Kebencian menunjukkan ego dan kesombongan manusia. kita membenci, karena merasa orang lain tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita membenci seseorang karena merasa dia melakukan sesuatu yang tidak kita senangi. Jika ini berlangsung terus, maka lingkaran kebencian tak akan pernah putus. Kebencian akan terus menjalari diri manusia. kebencian akan dibalas dengan kebencian.

Perang yang terjadi di dunia ini, terjadi karena kita saling membenci satu sama lain. perang di Timur Tengah, pemberontakan kelompok-kelompok radikal, itu semua terjadi karena orang saling membenci satu sama lain. mereka membenci kelompok atau orang-orang yang menurut mereka tidak sejalan, sepemahaman dan tidak memiliki tujuan yang sama. mereka membencinya, sehingga merasa perlu diperangi dan dihancurkan. Kebencian memang selalu disertai dengan amarah dan hasilnya adalah kerusakan dan keburukan. Kebencian tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah selama kita masih memaksakan apa kemauan kita. Kebencian juga tidak akan pernah bisa diakhiri, jika kebencian dibalas dengan kebencian.

Satu-satunya hal yang perlu dilakukan untuk mengakhiri kebencian ini menular, adalah dengan membalas kebencian orang lain dengan kebaikan. Kita  juga harus sadar, bahwa kita tidak boleh membenci hanya karena tidak sesuai dengan kemauan atau keinginan kita. Kita tidak boleh membenci orang lain, kelompok atau siapapun yang tidak seperti apa yang kita inginkan. Bagaimanapun, setiap orang memiliki pandangan dan sikap yang berbeda. Mulailah menghargai perbedaan sikap dan pandangan, maka kita akan mengerti bahwa tidak ada alasan untuk saling membenci.