Belajar, membaca, dan berdiskusi, dalam kehidupan kita, acap kali dikaitkan dengan upaya mempersiapkan diri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sehingga, ketika pekerjaan telah dalam genggaman, belajar dan berdiskusi tak lagi menarik dilakukan. Sebaliknya yang menarik dilakukan bukan lagi belajar, berdiskusi atau membaca, tetapi diganti dengan mengonsumsi. Diktum yang berlaku, aku berbelanja maka aku ada
Tapi, jika belajar, membaca, dan berdiskusi dianggap sebagai sebuah upaya merayakan kemanusiaan dan mensyukuri nikmat akal yang diberikan Tuhan kepada kita, maka belajar, membaca, dan berdiskusi tak selalu berkaitan dengan pekerjaan. Namun, lebih sebagai upaya memanusiawikan sisi kemanusiaan kita.
Bagaimanapun juga, setiap orang sesungguhnya menghasrati pengetahuan. Dan sisi ruhani setiap orang sesungguhnya haus dan hanya bisa terpuaskan oleh sesuatu yang non-material, seperti ilmu.
Ilmu pengetahuan sendiri tidak pernah lahir dari ruang hampa. Dia selalu berpijak pada suatu realitas tertentu. Oleh karenanya, ilmuwan atau cendekiawan juga demikian. Dia merupakan produk dari suatu tradisi di dalam sebuah komunitas masyarakat.
Tepat pada titik tersebut komunitas epistemik diperlukan bagi kelangsungan hidup sebuah masyarakat yang sehat. Komunitas epistemik adalah komunitas yang dibangun dengan spirit ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Ide yang beragam saling berdialektika secara terbuka dan saling memperkaya persepsi kita melihat hidup dan kehidupan. Hal ini penting agar masyarakat tidak habis energinya untuk memperdebatkan pilihan politik dalam kontestasi pemilu yang telah membelah realitas sosial menjadi kubu yang saling menyerang dengan garang.
Maka, komunitas dengan spirit pengetahuan dan kemanusiaan perlu terus dikuatkan. Sehingga potensi yang dimiliki anak bangsa tidak semuanya terserap dalam pertarungan politik praktis.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa banyak sisi kehidupan di luar pertarungan politik yang penting diperhatikan demi kelangsungan kehidupan kita sebagai manusia yang berbudaya, ataupun kita sebagai bagian dari berbangsa yang beradab.
Komunitas epistemik adalah komunitas kultural yang memberikan apresiasi kepada warisan-warisan budaya dan intelektual umat manusia di sepanjang sejarah peradaban yang bisa berupa ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, film, dan lain sebagainya. Komunitas epistemik juga bisa dipadukan dengan keyakinan keagamaan orang-orang di dalamnya dengan tetap berpegang pada prinsip menghormati dan merayakan pengetahuan dan kemanusiaan.
Salah satu contoh tokoh yang memiliki komitmen kuat membangun komunitas epistemik adalah Mohammad Iqbal. Dia sesungguhnya adalah pengacara.
Iqbal dalam seminggu hanya menggunakan tiga hari untuk menjalani profesinya. Sisanya dia khidmatkan untuk pengetahuan dan kemanusiaan. Mungkin karena dia begitu ikhlas melayani pengetahuan dan kemanusiaan, hingga dia abadi melalui karya-karyanya.
Iqbal diakui dunia internasional sebagai filsuf paling berpengaruh di abad 20. Tapi Iqbal bukan tipikal pemikir yang asyik sendiri di menara gading. Tema-tema filsafat yang rumit oleh Iqbal dibumikan dalam bahasa puitis.
Syair-syair Iqbal diakui memiliki kandungan makna filosofis yang mendalam. Iqbal memilih puisi, salah satunya, agar pemikirannya lebih mudah dipahami masyarakat dan bisa luas diterima orang.
Pendeknya, Iqbal memilih berbicara dengan bahasa kaum yang orang awam juga bisa menerima dan memahaminya. Tentu sesuai kadar pikiran masing-masing, karena puisi bisa memiliki makna yang berlapis-lapis.
Iqbal adalah contoh par-exellence yang menunjukkan bahwa profesi tak sama dengan misi hidup. Iqbal juga dengan sepenuh komitmen membangun komunitas epistemik yang membangkitkan inspirasi bagi generasi sezamannya bahwa betapa pentingnya mengkaji dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan filsafat untuk membangun sebuah bangsa. Bahwa tradisi intelektual perlu dikuatkan untuk mengejar ketertinggalan dalam pembangunan bangsa.
Harus diakui bahwa komunitas epistemik memang tidak akan memberikan rasa kenyang yang seketika bagi bangsa yang lapar. Tapi komunitas epistemik akan memampukan anak-anak bangsa untuk merajut imajinasi bersama berupa imajinasi akan kehidupan yang lebih manusiawi di masa depan.
Komunitas epistemik mestinya juga akan mampu menyadarkan bahwa belajar, membaca, dan berdiskusi bukanlah perkara mengisi waktu luang semata. Tapi bahwa belajar, membaca, dan berdiskusi adalah dorongan utama mengapa kita tetap memilih untuk melanjutkan hidup dengan sepenuh pengharapan.