Usia agama jauh lebih tua dari usia negara Indonesia. Bahkan jauh sebelum Belanda datang menjajah Indonesia, orang-orang Indonesia sudah memiliki agama yang dikenal sebagai agama leluhur seperti Gejawen di Jawa, agama Marapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan, Yawa Unat di Papua, dan masih banyak lagi.
Tetapi hingga saat ini, negara Indonesia (pemerintah dan rakyatnya) belum sepenuh berhasil menghargai dan menghormati kepercayaan dan agama lokal Indonesia. Justru penghargaan pemerintah dan rakyat Indonesia lebih banyak diarahkan kepada agama-agama yang datang kemudian di Indonesia seperti ke-enam agama yang sering disebut-sebut yakni Kristen, Islam, Katolik, Buddhism, Hinduism, dan Konghucu. Mengapa agama lokal yang sudah berada lebih dulu di Indonesia justru mendapatkan diskriminasi? Pertanyaan ini akan dijawab pada bagian selanjutnya.
Politik Diskriminasi Terhadap Agama Lokal
Sejarahwan yang banyak menghasilkan karya tentang Asia Tenggara, Anthony Reid, menulis, dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 bahwa jauh sebelum Belanda datang, tepatnya pada tahun 1000an CE orang-orang Indonesia sudah memiliki relasi perdagangan dengan pendatang dari berbagai kepercayaan seperti umat Hindu-Buddha dari India dan pemeluk Konghucu dari pedagang asal China.
Uniknya, menurut Reid, relasi pendatang dan orang Indonesia hanya dibatasi pada relasi perdagangan dan bukan idelogi imperialisme seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Seiring berjalannya waktu, sesudah era perdagangan, panorama 'agama' di Indonesia semakin berwarna.
Michel Picard, dalam buku The Politics of Religion in Indonesia (2011), secara berurutan, membagi empat fase wajah politik di Indonesia yang dia sebuh tahap Indianization, Islamization, Europeanization, dan agama pasca 1945. Dalam era Indianization, kebudayaan orang-orang Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha.
Oleh karena itu, hingga saat ini kita dapat melihat banyak sekali peninggalan Hindu-Budha seperti bahasa sansakerta yang banyak diadopsi ke bahasa Jawa, candi-candi, tarian, dan masih banyak lagi. Menurut Picard, pengaruh utama umat Hindu-Budha India adalah percampuran kebudayaan. Artinya, komunitas Hindu-Budha tidak datang untuk melakukan konversi agama sebab ajaran konversi tidak dikenal pada dua ajaran tersebut. Pada tahap Indianization, barulah orang Indoneia mengenal apa yang disebut sebagai ‘agama.’
Agama, diambil dari bahasa sansakerta, yang berarti tidak kacau (a=tidak, gama=kacau). Agama, dalam pengertian yang sebenarnya, berarti sebuah keadaan perpaduan tradisi tanpa adanya kekacauan. Agama lebih kepada sebuah kondisi, atau sifat dari masyarakat. Agama bukan semata-mata soal kita suci dan Tuhan seperti yang nanti mulai populer pada tahan Islamization dan Christianiztion.
Fase kedua, politik agama (religion) di Indonesia adalah Islamization dan Christianization. Sebetulnya fase Islamisasi dan Kristenisasi terjadi dalam corak politik yang berbeda. Islamisasi terjadi lebih dahulu dari Kristenisasi namun keduanya bergerak dalam kerangka politik yang sama. Kesamaan antara Islamisasi dan Kristenisasi adalah sikap ‘arogansi’ agama terhadap konteks kebudayaan lokal.
Bila pada tahap Indianization, percampuran budaya dianggap sebagai sebuah hal yang baik-baik saja, pada era Islamisasi dan Kristenisasi, kedua agama ini menolak terjadinya percampuran kebudayaan.
Maka dari itu, kehadiran Islam dan Kristen di Indonesia pra-kemerdekaan banyak diwarnai dengan kehadiran peperangan. Alasanya, penyebar agama islam dan kristen, kala itu, menganggap kebudayaan atau tradisi lokal sebagai ajaran sesat dan tidak rasional.
Michel Picard, misalnya, memberi contoh bahwa orang-orang kristen Eropa menolak definisi ilmu (ngelmu) yang diyakini orang-orang Jawa. Bagi mereka, ilmu (knowledge) adalah sebuah pendekatan rasional yang didasarkan pada akal budi dan bukan ajaran (elders teaching) atau adat (custom). Artinya, sama dengan kasus Islamisasi, kristenisasi menolak dan mengganti kebudayaan asli orang Indonesia sesuai dengan patokan yang ada dalam ajaran Islam dan Kristen.
Dalam studi-studi postkolonial, gerakan-gerakan asimiliasi dan asosiasi budaya yang dilakukan pada tahap Islamisasi dan Kristenisasi, disebut sebagai misi pemberadaban (mission of civilization). Artinya, para penyebar agama dari luar Indonesia, datang dengan keyakinan bahwa orang-orang Indonesia pad zaman dulu belum beradab dan berpentahuan karena agama–agama lokal Indonesia dinilai tidak benar (heathens) dan tidak rasional (fool).
Sampai di sini, kita dapat melihat bahwa politik agama di Indonesia pra-kemerdekaan banyak dipengaruhi oleh dua jenis agama yang berbeda. Pertama, agama dari pengertian sanskrit yang menerima percampuran tradisi seperti Hindu-Budha (Indianization) dan kedua agama (religion) versi barat yang menolak percampuran tradisi seperti masa Islamization dan Christianization.
Pada tahap ketiga, politik agama di Indonesia dibangun bersamaan dengan identitas kebangsaan dan nasionalisme pasca penjajahan. Agama, oleh beberapa kelompok, dinilai memiliki peran penting dalam pencapaian kemerdekaan Indonesia.
Maka dari itu, dalam pembukaan undang-undang dasar, kita sering mendengar ‘Oleh Rahmat Tuhan yang Maha Esa.’ Lebih jauh lagi, Ketuhanan ditaruh sebagai Sila pertama dari Pancasila-'Ketuhanan yang Maha Esa.’
Michel Picard, menulis, bahwa pada diskusi penepatan dasar negara, persoalan mengenai agama muncul lagi. Pada tahun 1952, para pendahulu bangsa kita kelimpungan menentukan definisi ‘agama.’ Jelas, pemerintah pada masa itu sadar betul akan perbedaan panorama agama di Indonesia sebab, selain agama yang datang dari kaum penjajah dan pedagang India, orang Indonesia pun memiliki ragam bentuk kepercayaan dan agama lokal.
Akhirnya, lewat berbagai proses, Kementerian Agama menetapkan ‘agama’ sebagai sebuah kepercayaan yang memiliki komunitas, kitab suci, dan nabi atau Tuhan. Alasannya, menurut Picard, karena pemerintah kita pada saat itu didominasi oleh paradigma agama (religion) versi Islam dan Kristen.
Sejak ditetapkannya definisi agama oleh Kementerian Agama pada tahun 1952, berbagai protes yang datang dari kalangan agama lokal bermunculan. Kelompok agama asli ndonesia (indigenous people) menolak definisi agama karena dinilai terlalu sempit dan hanya menguntungkan kelompok-kelompok agama mayoritas seperti Kristen, Islam, Katolik, dan Hindu (Buddhism dan Konghucu belum masuk saat itu).
Hasilnya, negara dan para pemeluk agama resmi (yang diakui negara) dengan seenaknya mendiskriminasi pemeluk agama dan kepercayaan lokal dalam berbagai bentuk tindakan, seperti yang masih kita jumpai sampai saat ini.
Demokrasi dan Corak Baru Agama di Indonesia
Masuk pada era reformasi, panorama agama di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Pada tahun 2009, perjuangan agama lokal untuk mendapatkan hak dan pengakuan yang setara dengan agama lain di Indonesia membuahkan hasilnya. Di tahun itu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Pada pasal 28E ayat 1 secara tegas berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Artinya sejak 2009, setiap kepercayaan lokal, agama lokal, dan berbagai bentuk ‘agama’ di Indonesia sudah diakui oleh negara. Putusan MK adalah putusan konstitusi tertinggi yang wajib diikuti oleh setiap institusi dan warga negara Indonesia.
Perlahan tapi pasti, meski belum signifikan, sampai saat ini agama lokal dan kepercayaan di Indonesia mulai mendapatkan layanan pemerintah seperti layanan pendidikan dan administrasi seperti KTP dan KK. Samsul Maarif dalam bukunya Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama Di Indonesia (2017) secara lengkap memberikan kita informasi mengenai pergolakan politik agama lokal di Indonesia secara terperinci dan menyeluruh.
Sampai di sini, mari kita merenungkan kembali pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, mengapa kita perlu berhenti mendiskriminasi pemeluk agama lokal? Banyak jawaban atas pertanyaan itu. Jawaban secara politik, diskriminasi terhadap agama lokal adalah tanda dari kemunduran demokrasi.
Jawaban secara hukum, tindakan diskriminasi tersebut melawan perintah Undang-undang dan Konstitusi di negara kita. Jawaban etis-sosialnya, kita adalah sesama manusia sekaligus warga Indonesia yang harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Semua jawaban tentu benar dan tidak salah karena jawaban-jawaban tersebut memiliki bukti valid. Namun, ada satu jawaban penting menurut saya perlu kita renungkan bersama sebagai orang yang beragama atau percaya pada agama.
Menurut saya, bila kita masih mendiskriminasi agama lokal, atas alasan apa pun seperti misalnya alasan teologis agama, maka kita hanya sedang mengulang kembali kekerasan atas nama agama yang diwariskan oleh para penjajah seperti pada masa islamization dan christiannization, dan pemerintah zaman orde baru. Diskriminasi terhadap agama dan budaya asli Indonesia adalah tindakan orang-orang yang belum merdeka Paling tidak merdeka dari definisi agama khas penjajah dan orde baru.