Setiap kali Anda malas bekerja, ingatlah sebuah dongeng karangan Herbert Marcuse. Ia bukan pendongeng, memang. Marcuse seorang intelektual-aktivis. Namanya pernah ditahbiskan jadi salah satu ‘M’ dalam ‘3 M’ (Marx, Mao, Marcuse)—pujaan anak-anak muda New Left tahun 1960-an, sebuah masa yang penuh gairah perlawanan itu.

Tapi kadang-kadang, batas antara dongeng dan ikhtiar keilmuan tak jelas juga.

Pada tahun 1955, Marcuse menerbitkan Eros and Civilization. Darinya kita boleh minta penjelasan, mengapa orang rela bangun pagi, bermacet-macet atau berdesakan di KRL, masuk kantor tepat waktu, pulang tak tepat waktu, begitu seterusnya.

Nalar spontan akan berkata: “Uang, Herr Professor.”

“Justru itu!” sahut Bapak Marcuse. “Mengapa orang rela mengorbankan nyaris seluruh hidup demi uang?”

“Pertanyaan macam apa ini?! Ya jelaslah: untuk beli sembako, bayar cicilan, biaya pendidikan anak, dan sebagainya dan seterusnya.”

“Lho, tidakkah kau bisa saja menyepi di hutan, membuka lahan, lantas dari situ menghidupi diri dan keluargamu? Tanpa bayar cicilan, tanpa memusingkan sekolah anak.”

“Ah, aneh-aneh saja. Mau jadi apa kami di hutan?”

“Tepat di situ letak masalahmu: kau tak tahu mau jadi apa. Karena itu kau ikut-ikutan: SD, SMP, SMA, kuliah, kerja. Waktu bertahun-tahun itu sebetulnya cuma kau habiskan untuk belajar satu hal: patuh.”

“Patuh?”

“Ya, patuh kepada prinsip performa.”

“Apa itu?”

“Gampangnya: sesuatu yang membuatmu merasa normal atau hebat ketika naik kelas, atau jadi employee of the month, dan sebaliknya, merasa bersalah, bahkan depresi, kalau gagal mencapainya. Prinsip performa itu diam-diam membuatmu tertekan. Kau takut dibilang atasan nggak perform. Begitu, kan?”

“Tapi...”

“Aku mengerti. Kau cuma korban. Aku tak sedang menyalahkanmu.”

“Korban?”

“Ya, korban peradaban. Aku belajar dari Sigmund Freud. Pernah baca Das Unbehagen in der Kultur?”

“Mmm...”

“Ya, kau tak sempat. Masa kuliahmu sudah habis buat baca diktat. Oke, begini kurang lebihnya. Begitu kau lahir ceprot, kau segera berhadapan dengan dua prinsip: prinsip nikmat dan prinsip kenyataan. Kau selalu ingin nikmat, tapi kenyataan tak mengizinkan. Nikmat yang diredam, atau dikekang, atau ditertibkan, atau apa lah namanya: itulah peradaban.”

“Maksudnya?”

“Contoh sederhana. Saat kau ingin minum susu, susu yang kau damba itu tak langsung tersedia. Kau harus menangis dulu. Barulah ibumu datang, menenangkanmu, lalu menyusuimu. Seketika tangismu yang tak beradab itu redam. 

Lihat, ada jarak antara kebutuhan dan pemenuhannya: butuh, menangis, baru minum. Jarak itu menggoreskan trauma besar di awal hidupmu. Tapi pelan-pelan kau belajar. Nanti agak besar sedikit, kau tak lagi minta susu dengan menangis. Dengan manja kau berkata sambil merengek: ‘Simbook... cucu...’—sedikit lebih beradab.”

“Hmm...”

“Dan seiring kau beranjak dewasa, minum tak lagi sesederhana waktu kau bayi. Kau harus pakai gelas, bahkan kalau perlu pakai table manner segala. Lihat? Peradaban lahir dari kekangan. Kalau kau tak bisa menertibkan dorongan-dorongan spontan, kau dianggap tidak beradab. Dan perkaranya bukan cuma minum. Ia meluas ke pakaian, sepeda, sekolah, sampai akhirnya: tuntutan kerja. 

Nah, sekarang, kalau kau tak bekerja, kau bukan saja tak bisa hidup, tapi juga dianggap tak beradab. Itulah yang tersembunyi di balik pertanyaanmu tadi: ‘mau jadi apa?’”

“Tapi bukankah itu kenyataannya...”

“Betul. Dan yang kau sebut ‘kenyataan’ itu kini lebih dari yang kau bayangkan. Prinsip kenyataan itu tanpa kau sadari berkembang jadi prinsip performa. Sekarang, setiap kali kau gagal memenuhi tuntutan performa kapitalisme, kau jadi marah. Bukan kepada kapitalisme, tapi kepada dirimu sendiri. Begitulah kapitalisme menjangkau bilik diri paling pribadi. Selamat, kau telah masuk perangkap.”

“Ada jalan keluar?”

“Nyaris tidak. Tapi kita masih bisa berangan-angan.”

“Hmm?”

“Aku tak memimpikan masyarakat yang tak bekerja. Bagaimanapun, kerja penting buat kita. Dalam kerja, kita membuat diri jadi semakin nyata. Tapi seperti kau alami, nyatanya, kerja justru menjadikan kita terasing. Soalnya, eros, daya hidup yang meluap-luap itu, dikekang habis-habisan. Hanya tersisa satu bagian tubuh untuknya: kelamin. Yang lain-lain diperbudak jadi alat kerja. Bahkan, buat orang-orang tertentu, satu bagian itu pun jadi alat kerja juga. Akibatnya, orang bekerja karena terpaksa.”

“Lalu?”

“Aku membayangkan ‘erotisasi’: suatu proses di mana eros akan meresapi seluruh sisi kehidupan manusia, termasuk pekerjaan.”

“Seperti apa jadinya?”

“Seperti seorang seniman.”

Itulah puncak dongeng karangan Marcuse. Ia berkhayal tentang sebuah masyarakat yang memang bekerja, tapi dengan gembira, penuh minat, dan gairah, nyaris seperti main-main—sebuah masyarakat di mana “prinsip nikmat dan prinsip kenyataan berdamai”, katanya dalam Eros and Civilization

Dan untuk itu, Marcuse menaruh harap pada seni. Seni mengingatkan kita akan cita-cita hidup bersama, di mana pekerjaan jadi luapan kreativitas dan kebebasan, bukan lagi penghisapan.

Mimpi di siang bolong? Tentu saja. Intelektual dan seniman memang suka begitu, seakan kita tak harus memusingkan meeting, memo kantor, macet. Tapi, siapa juga yang mengharuskan?

Sudah, lupakan. Sebab biar bagaimanapun, kita harus ‘kerja kerja kerja.’