Manusia dikepung keterbatasan.
Dalam konteks yang paling sederhana, saya atau Anda, ketika mendapat dua sampai tiga undangan pernikahan atau undangan apa pun dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang berbeda-beda, maka tidak mungkin dapat menghadirinya dalam satu waktu pada tempat yang berbeda-beda itu. Dengan ini, manusia terbatas dalam dua hal; perihal waktu dan tempat.
Keterbatasan dalam konteks waktu
Seberapa banyak waktu yang kita punyai? Jawabannya adalah sepanjang umur kita hidup di dunia ini. Berapa umur kita sekarang? Anggaplah sudah 27 tahun. Sisanya berapa? Anggaplah sisa umur kita masih 70 tahun lagi.
Pada 27 tahun umur kita detik ini, apa yang telah kita ketahui—pengetahuan apa yang telah kita kumpulkan? Bisakah kita mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan 70 tahun sisanya?
Atau, bisakah kita menggunakan waktu 70 tahun itu untuk berkeliling dunia demi mengumpulkan pengetahuan satu per satu dengan mata dan kepala sendiri? Berapa cost yang kita butuhkan? Mampukah?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengukuhkan bahwa kita ini memang terbatas dalam segala keadaan. Kita tidak mampu mencari pengetahuan satu per satu dengan cara berkeliling seluruh dunia yang jelas-jelas butuh waktu panjang untuk sekadar keliling dari tempat ke tempat lainnya. Belum hitungan cost-nya.
Keterbatasan dalam konteks tempat
Tubuh yang kita punya hanya satu. Kita makhluk tunggal yang segala apa-apanya dihitung utuh hanya satu. Kita tidak bisa memecah tubuh menjadi dua manusia. Identitas kita seluruhnya adalah tunggal. Kita ini makhluk yang identitasnya adalah individual.
Itu artinya, kita tidak bisa pergi ke seluruh tempat di muka bumi ini dengan cara memecah tubuh menjadi banyak. Kita perlu berpindah-pindah tempat, tempat satu ke tempat lainnya, untuk memgumpulkan informasi-informasi yang kita butuhkan di dunia ini demi menambah pengetahuan.
Apakah bisa dengan satu tubuh ini kita berpindah-pindah tempat untuk mengumpulkan pengetahuan satu per satu, sedangkan di sisi lain waktu yang kita miliki adalah terbatas?
Tentu sangat tidak mungkin. Keterbatasan tubuh ini—tubuh yang hanya satu ini—menandai bahwa kita tidak bisa menjangkau tempat-tempat dalam satu waktu. Tubuh yang tunggal ini selalu terbatas untuk menjangkau jutaan tempat di dunia ini. Inilah yang dimaksud dengan keterbatasan dalam konteks tempat yang dimiliki kita detik ini.
Dipandang dari sisi ini, yang melekat pada diri manusia ini adalah keterbatasan hadir karena tunggalnya identitas ini. Waktu dan tempat ikut menempel hanya satu atau tunggal dalam diri manusia—karena—yang tunggal ini.
Kaitannya dengan membaca
Karena kita makhluk yang serbaterbatas (waktu dan tempat) untuk mengetahui atau mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan satu per satu di seluruh muka bumi ini, maka patut kiranya kita mencari jalan bagaimana dunia ini bisa dibaca dengan tidak mengenyampingkan keterbatasan yang kita pegang dan kita dapat menjangkaunya, mengetahuinya, memahaminya—yang walau di sisi lain kita memiliki keterbatasan itu tadi.
Maka muncul buku sebagai cara untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan manusia, untuk menjangkau segala pengetahuan di dunia ini, untuk menjatuhkan dunia dalam bentuk teks bacaan.
Maka pantas ada istilah buku itu jendela dunia, yang seolah-olah, dan memang benar, saat kita membaca banyak buku, dunia seperti ada di pelupuk mata, di depan kita, di tempurung kita. Mengapa demikian? Karena buku ini adalah teks yang dengan dirinya bisa menjelaskan banyak hal seputar dunia. Maka teks ini adalah sebagai jalan untuk melipat segala pengetahuan di dunia ini.
Dengan jatuhnya informasi-informasi atau pengetahuan-pengetahuan menjadi bentuk teks atau buku, maka dunia telah jatuh ke dalam buku-buku. Di buku-buku itu, saat kita membacanya, kita seperti sedang membuka sebuah jendela, jendela dunia.
Dengan sedikit penjelasan dari atas ini, sebagai manusia yang terbatas, sangat terbatas, maka membaca adalah cara untuk mengatasi segala keterbatasan hidup ini. Membaca artinya mengatasi segala keterbatasan tempat dan waktu yang melekat pada diri kita juga—ongkos—untuk memahami pengetahuan di belahan dunia ini.
Catatan—memang ada banyak problem dalam proses membaca yang mesti kita pahami; misal, banyak buku yang tidak valid memberi informasi, kemudian banyak juga buku-buku yang tidak mencerdaskan. Untuk itu, mesti tetap perlu memilih-memilah dengan baik beberapa buku yang hendak kita baca, yang nanti akan berefek pada cara kita melihat dunia ini.
Bukumu adalah jendelamu melihat dunia.