Mahasiswa/i fakultas psikologi di semester pertama umumnya belajar mengenai asal penamaan bidang psikologi. Psikologi berasal dari kata psiko dan logos, demikian penjelasan yang biasa diberikan. 

Logos adalah ilmu dan psiko berasal dari psykhé, selanjutnya akan ditulis psikhe, yang diartikan sebagai jiwa, pikiran. Psikologi pun didefinisikan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari semua fakta tentang jiwa, pikiran. 

Mempertimbangkan tuntutan untuk bersifat empiris sebagai sebuah bidang studi, pendiri psikologi merasa perlu untuk menerjemahkan jiwa dan pikiran ke dalam perilaku. Sebuah definisi ditetapkan: psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. 

Mereka yang tidak ingin kehilangan makna asli dari psikhe memperluas definisi tersebut sebagai ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental. Definisi ini diperlengkapi lagi sebagai ilmu yang mempelajari gagasan, perilaku, emosi, dan cara-cara manusia berpikir, bertindak, dan merasakan, baik sebagai individu maupun kelompok.

Penjelasan asal kata psikologi sebagai perpaduan psikhe dan logos sepertinya dianggap memadai. Kita yang bergerak di bidang psikologi hampir tidak pernah menanyakan mengapa psikhe yang dipilih untuk menamakan ilmu ini? Apa sekadar karena kata ini berarti jiwa; pikiran? 

Saya kira tidak demikian. Ada penjelasan yang lebih dalam dari itu; penjelasan yang terkait dengan mitologi Psikhe. 

Mitologi Psikhe dapat diinterpretasikan secara beragam, bergantung pada sudut pandang yang digunakan, pengalaman pribadi, dan lain sebagainya. Perspektif psikoanalisis melihat psikhe dalam wacana ketidaksadaran dan menganggap kedua saudara perempuan sebagai id dan superego. 

Perspektif agama berfokus pada konsep dosa dan pengampunan. Api lentera melambangkan nafsu dan gairah. Tetes minyak yang jatuh di atas bahu Eros merupakan simbol dosa yang tercetak pada daging manusia. 

Baca Juga: Mitologi Psikhe

Sementara itu, perspektif feminis menyayangkan kisah kecemburuan sesama saudara perempuan. Mereka mengharapkan cerita yang menggambarkan kekuatan relasi perempuan.

Saya pribadi melihat tiga hal dari mitologi psikhe. Pertama, ia menunjukkan kekayaan filosofi yang mendasari psikologi. Keingintahuan Psikhe dan pencariannya akan pengetahuan dan cinta merupakan gambaran dari pikiran manusia. 

Kisah Psikhe sarat dengan aspek-aspek yang dikaji dalam psikologi: keingintahuan, cinta, belas kasih, altruisme, ketekunan, kebutuhan (kebutuhan Afrodit untuk dikagumi, kebutuhan Psikhe untuk dicintai, dan lain-lain), persepsi diri, dan tentu juga relasi (pasangan, anak-orang tua, menantu-mertua, saudara kandung, sahabat, dan figur-figur lain).

Khususnya mengenai kisah Psikhe dan Eros, bagian ini tidak hanya bertutur tentang kisah cinta yang harus diperjuangkan ataupun tentang aspek kesetiaan, kepercayaan, dan kejujuran. Kisah ini dapat dilihat dari sisi lain bahwa dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kita tetap perlu menjaga ke-aku-an diri kita. 

Relasi kita dengan orang lain tidak boleh sampai membuat kita kehilangan diri kita sendiri. Sebelum dapat menjalin hubungan dengan orang lain, kita juga harus terlebih dahulu mengenali diri dan menemukan diri kita sendiri. 

Kedua, melalui mitologi Psikhe, kita belajar bahwa keputusasaan dapat menjadi bagian dari hidup, tetapi yang terpenting adalah kapasitas jiwa untuk bangkit dan melanjutkan kembali perjuangan. 

Psikhe juga mengajarkan bahwa manusia adalah pemegang kontrol dalam hidupnya sendiri; ia punya pilihan atas hidup yang ia jalani. Dan jika ia memilih untuk menciptakan hidup yang indah, ia harus dan dapat memampukan diri untuk mewujud-nyatakannya.

Di sisi lain, mitologi Psikhe juga menunjukkan bahwa manusia dalam kemandiriannya sebagai diri tetap membutuhkan bantuan dan dukungan orang lain, dan hendaknya ia menyambut pertolongan ini dengan rendah hati dan rasa syukur, bukan dengan rendah diri dan rasa malu. 

Berfokus pada poin kedua ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa psikologi tidak hanya sebagai kumpulan metode-metode empiris untuk menggali pikiran, aspek mental, perilaku, dan apa pun itu (dapat disebutkan sendiri), tetapi bahwa semua yang kita kaji ini dalam psikologi memang berguna untuk kehidupan individu dan kelompok (komunitas dan masyarakat yang lebih luas). 

Kesimpulan ini memang tidak orisinal, sudah banyak yang mengatakan hal sama sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Tetapi menyadarinya sebagai hasil dari proses pengolahan informasi dalam diri sendiri memang menghasilkan dampak yang berbeda pada diri sendiri, merasakannya sebagai yang lebih penting dan bermakna (duh, sok gaya nih penulisnya ^.^) 

Ketiga, mitologi Psikhe berdasarkan interpretasi di atas memiliki implikasi personal bagi saya pribadi sebagai psikolog. 

Dalam sebuah seri televisi berjudul In Treatment, pada satu titik, tokoh utamanya, Paul Weston, yang diperankan dengan sangat baik oleh Gabriel Byrne, meragukan kemampuan dirinya sebagai terapis. Ia meragukan efektivitas dari sesi-sesi yang ia berikan pada klien-kliennya. Ia meragukan ilmu yang ia pelajari, bidang yang telah ia geluti selama lebih dari 20 tahun. 

Adegan ini menyentuh saya karena saya sempat merasakan hal yang sama. Saya merasa tidak efektif membantu orang lain. Semua percakapan dan sharing sepertinya hanya sia-sia.

Namun, merujuk pada mitologi Psikhe, saya tersadar bahwa psikolog/konselor/terapis, atau apa pun kita mau menamakannya, memang tidak dapat mengubah hidup orang lain. Tetapi ia dapat mendampingi, membantu, dan menguatkan orang lain untuk mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. 

Saya kira psikolog dapat dan perlu membantu psikhe-psikhe yang putus asa dan kehilangan arah untuk kembali menemukan kekuatan diri. Dan psikolog ataupun bukan, kita dapat menerapkannya untuk diri kita sendiri. 

Kita dapat menciptakan hidup yang indah sekelam apa pun masa lalu kita, sepahit apa pun peristiwa yang pernah kita alami, seberat apa pun persoalan hidup yang sedang kita jalani, dan apa pun tantangan hidup yang menanti kita. 

Kitalah penanggung jawab atas hidup kita sendiri. Di tangan kita terletak pilihan itu. Selama manusia hidup, kita tentu tidak dapat melepaskan diri dari masalah. Tetapi masalah tidak akan menghambat kita untuk mewujudkan hidup yang indah. Kita hanya perlu belajar menyelesaikan masalah-masalah tersebut. 

Yakinlah, seperti yang ditunjukkan dalam mitologi Psikhe, kita sebenarnya sudah punya kekuatan dalam diri kita sendiri untuk itu. Tentu tanpa mengabaikan dukungan dan bantuan dari keluarga, pasangan, teman-teman, dan sumber kekuatan yang Di Atas jika rekan-rekan memiliki dan meyakiniNya.