Hampir setiap minggu kita mendapatkan berita tentang penangkapan kepala daerah atau pejabat pemerintah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan sumberdaya yang terbatas saja, KPK begitu sering membongkar kasus korupsi, apalagi jika mereka memiliki sumberdaya lebih besar. Mungkin setiap hari kita akan disuguhkan berita penangkapan para koruptor.
Begitu seringnya KPK menangkapi para pejabat yang korup, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, sampai khawatir jika KPK meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah para pejabat, suatu saat nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri ini, karena semuanya telah tertangkap KPK.
Pertanyaannya: apakah banyaknya kasus-kasus korupsi itu karena ada KPK? Artinya kalau tidak ada KPK yang beroperasi negeri kita aman-aman saja, tidak ada korupsi? Ini adalah pertanyaan keliru dari logika yang sesat. Ia sama dengan pertanyaan ini: mengapa banyak orang sakit gigi? karena banyak dokter dan klinik gigi. Jika tak ada dokter gigi, tak akan ada orang yang sakit gigi.
Menarik mencermati bagaimana masyarakat kita menyikapi korupsi. Pada satu sisi, ada orang-orang yang menganggap korupsi suatu hal yang biasa dan bukan sebuah kejahatan besar. Bahkan ada yang menganggap bahwa korupsi untuk tujuan tertentu, misalnya demi syiar agama (korupsi syar’i atau suap syar’i) dibolehkan, seperti belum lama ini disuarakan seorang ustad.
Alih-alih mengecam, agama digunakan untuk melegitimasi tindakan kejahatan. Tapi, sesungguhnya, ini bukan pertama kali agama dipakai untuk melakukan kejahatan. Sudah seringkali agama dipakai untuk menyakiti orang, menipu, menyerang, memukul, merampas, membunuh, hingga meneror. Agama adalah alat paling efektif untuk menutupi kejahatan.
Pada sisi lain, ada masyarakat yang memang betul-betul muak dalam melihat begitu maraknya korupsi di negeri kita. Mereka berharap KPK terus konsisten melakukan operasinya. Mereka tahu bahwa pemberantasan korupsi tidak mudah. KPK bukan hanya berhadapan dengan para koruptor, tapi juga harus berhadapan dengan sebagian masyarakat yang tak mengerti betapa jahatnya korupsi.
Anas Urbaningrum. Foto: Antara
Kualitas Pemilih. Mengapa demokrasi kita melahirkan begitu banyak pemimpin yang korup? Mengapa Pemilu dan Pilkada yang prosesnya diselenggarakan dengan cukup fair dan terbuka berujung pada pemilihan orang-orang yang tidak kompeten? Apa yang salah?
Pertanyaan itu sesungguhnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Para pemerhati demokrasi di dunia belakangan mempertanyakan kualitas demokrasi yang melahirkan pemimpin yang tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi. Contoh terbaru adalah Rusia yang Pemilunya baru-baru ini memenangkan Vladimir Putin untuk keempat kalinya sebagai presiden. Meski UU Rusia hanya membolehkan orang menjadi presiden selama dua periode, lewat manuver politiknya, Putin bisa berkuasa empat periode dengan diselingi koleganya, Dmitry Medvedev pada 2008-2012.
Sebelumnya, Pemilu Amerika Serikat 2016, dipertanyakan banyak orang karena melahirkan politisi yang paling tidak diunggulkan dan sebelumnya dianggap mustahil untuk menjadi presiden: Donald Trump. Sampai sekarang, banyak rakyat Amerika yang masih belum percaya bagaimana mungkin demokrasi mereka melahirkan seorang presiden seperti Trump?
Di Indonesia, demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang tidak kompeten, tapi juga menghasilkan banyak kepala daerah yang korup dan intoleran. Kita sudah menyelenggarakan empat kali Pemilu dan ratusan Pilkada di berbagai daerah, tapi kualitas wakil dan pemimpinnya tidak mengalami perbaikan. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah.
Lalu, haruskah kita menyalahkan demokrasi? Haruskan kita meninjau ulang sistem pemilihan yang kita lakukan?
Para sarjana sudah cukup lama memperdebatkan hal ini. Demokrasi punya cacat bawaan yang sampai kini sulit diperbaiki. Sejak zaman filsuf Yunani kuno, cacat bawaan itu sudah dideteksi. Realitas masyarakat yang terfragmentasi dalam kaya-miskin, pandai-bodoh, kuat-lemah, menjadi pangkal kelemahan demokrasi. Menurut Plato, demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar dan kuat, untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh dan lemah.
Dari zaman ke zaman, realitas masyarakat itu tidak banyak berubah. Kalaupun ada perubahan dalam hal peningkatan jumlah masyarakat yang terdidik, prosentase masyarakat yang sadar politik dan yang tidak, jumlahnya kurang lebih sama dengan fragmentasi yang dihadapi Plato dulu.
Jason Brennan, seorang pengajar Ilmu Politik di Universitas Georgetown, AS, mengkonversi kelas-kelas sosial yang dihadapi Plato itu menjadi “masyarakat melek politik” dan “masyarakat buta politik.” Dalam bukunya, Against Democracy, Brennan menjelaskan, jumlah masyarakat yang melek politik sangat kecil. Sebagain besar masyarakat yang datang ke bilik-bilik suara adalah mereka yang sesungguhnya buta politik.
Kalaupun mereka tahu politik, lanjut Brennan, mereka hanya tahu sedikit-sedikit saja. Informasi mereka tentang calon pemimpin, wakil rakyat, dan program kerja partai, hampir nol. Mereka yang antusias berpolitik umumnya seperti holigan yang mendukung satu klub bola semata-mata karena fanatisme buta, bukan karena kualitas klubnya.
Luthfi Hasan Ishaaq. Foto: Antara
Sumber Masalah. Di situlah letak persoalannya. Pemilu dan Pilkada tidak menyediakan mekanisme yang adil untuk menilai dan memilih calon-calon terbaik. Sebagian besar yang datang ke bilik-bilik suara adalah orang-orang yang secara pengetahuan politik tidak layak. Merekalah yang akan menentukan nasib suatu bangsa atau suatu pemerintahan di daerah. Jika kualitas pemilihnya buruk, maka bersiap-siaplah mendapatkan hasil pemimpin yang buruk.
Selama ini, satu-satunya cara untuk menangani cacat bawaan demokrasi itu dengan membuat program-program yang biasa dikenal dengan “pendidikan pemilih” (voters education). Pemerintah dan NGO berlomba-lomba menciptakan berbagai program agar pemilih menjadi cerdas dan melek politik.
Tapi, Ilya Somin, guru besar di George Mason University, meragukan efektifitas program-program semacam itu. Terlalu besar jumlah kaum ignorant dalam demokrasi. Pemerintah tak akan mampu memberdayakan jumlah masyarakat yang sangat besar. Dalam bukunya, Democracy and Political Ignorance, Somin menjelaskan, salah satu pangkal masalah mengapa masyarakat menjadi “bodoh” dalam politik karena terlalu banyak yang mereka pikirkan.
Demokrasi menjadi tidak efektif karena masyarakat menghadapi begitu banyak pilihan. Seperti orang yang bingung berbelanja di supermarket, perlu waktu berpikir dan merenung barang mana yang terbaik yang harus diprioritaskan. Jika tidak berpikir, seseorang akan salah mengambil barang, atau akan mengambil barang dengan kualitas yang buruk.
Menurut Somin, demokrasi yang kita miliki seperti sebuah supermarket yang menyediakan begitu banyak item. Kita tidak punya cukup waktu untuk menyeleksi mana calon yang bagus dan mana calon yang buruk. Dengan segala keterbatasan itu, kita dipaksa untuk menentukan pilihan. Jangan heran kalau kita mendapatkan hasil yang jelek.
Sumber masalah dari banyaknya pilihan itu adalah pemerintahan yang gemuk. Terlalu banyak posisi publik yang diperebutkan, belum lagi jumlah wakil rakyat. Semakin gemuk sebuah pemerintahan, semakin besar masyarakat menjadi ignorant dalam demokrasi. Solusinya, menurut Somin, adalah merampingkan pemerintahan. Seperti kita pergi ke minimarket, kita tahu barang apa yang akan kita beli.
Usulan Somin sangat masuk akal, tapi mungkin akan sulit dilaksanakan, terutama di Indonesia. Pemerintahan yang gemuk bukan (hanya) terkait dengan banyaknya persoalan yang mesti diurus, tapi terkait dengan bagi-bagi jabatan dan posisi. Banyaknya partai yang ikut bergabung dalam pemerintahan (baik di pusat dan di daerah) menuntut jumlah posisi dan jabatan publik yang harus diisi. Setiap orang harus memiliki bagian.
Jangan-jangan persoalan korupsi di Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para pemilih. Setiap kepala daerah yang terpilih merasa berhutang pada partai yang mendukungnya. Ketika berkuasa, dia sekuat tenaga akan “membayar hutang” kepada para pendukungnya, dengan memberi jabatan atau memberi insentif lain, yang berpotensi mengandung korupsi.
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan di harian Media Indonesia, 23 Maret 2018.