Ada satu diskusi menarik di kalangan para teolog terkait sebab utama di balik kebutuhan alam semesta kepada Sang Maha Pencipta. Diskusi tentang hal ini tentu hanya bisa dimulai apabila kita sudah sepakat bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan. Dan yang menciptakan itu adalah Tuhan.
Artinya, sebelum memulai diskusi tentang hal itu, kita harus sepakat terlebih dulu bahwa alam semesta ini butuh kepada Tuhan.
Jika kita sudah bersepakat dengan hal itu, maka dari sana akan muncul satu pertanyaan baru: Apa sesungguhnya yang menjadi sebab utama di balik butuhnya alam semesta kepada Tuhan itu? Dengan pertanyaan yang lebih jelas, Anda berkata bahwa alam semesta itu butuh kepada Tuhan.
Pertanyaannya: yang menjadi sebab kebutuhan itu apa? Setidaknya ada empat jawaban yang dikemukakan oleh para teolog Muslim untuk menjawab pertanyaan ini. Dua dari keempat jawaban tersebut akan penulis terangkan dalam tulisan ini.
Jawaban pertama mengatakan bahwa yang menjadi sebab utama di balik kebutuhan itu ialah kebaruan (al-Hudûts). Apa yang dimaksud dengan kebaruan? Yang dimaksud dengan kebaruan ialah keberadaannya yang didahului oleh ketiadaan, atau keluarnya sesuatu dari ketiadaan. Dia tidak ada, kemudian ada. Dan yang menjadikannya ada itu adalah Tuhan.
Dengan demikian, menurut mazhab ini, alam semesta itu butuh pada pencipta karena keberadaannya didahului oleh ketiadaan. Karena dia ada dari ketiadaan, maka di sana pasti ada yang mengadakan. Dan yang mengadakan itu adalah Tuhan. Pandangan ini dinisbatkan kepada Imam Asy’ari, tokoh sentral dalam mazhab Asyairah, yang kemudian juga diikuti oleh teolog-teolog Muslim yang lain.
Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ahmad Suja’i, pandangan ini sangat lemah (wahin jiddan). Sebab, kalau kita katakan katakan bahwa yang menjadi alasan kebutuhan itu adalah kebaruan—dalam arti keberadaannya didahului oleh ketiadaan—maka konsekuensinya, ketika alam semesta sudah tetap dalam keadaannya, maka dia tidak butuh lagi pada pencipta.
Mengapa? Karena dia sudah “dikeluarkan” dari ketiadaan. Dan sekarang dia sudah ada, dan tetap dalam keadaanya. Seolah-olah, jika kita meyakini pandangan itu, tugas Tuhan sudah selesai dengan menciptakan alam semesta dari ketiadaan. Alam semesta sudah keluar dari ketiadaan. Dan keluarnya dia dari ketiadaan itu menjadi alasan di balik kebutuhannya kepada Tuhan.
Konsekuensinya, ketika dia sudah tetap dalam keadaannya, dia tidak butuh lagi kepada Sang Maha Pencipta. Karena itu, pandangan ini sering dinilai lemah.
Tapi, yang mendukung mazhab pertama ini tentu tak akan tinggal diam. Mereka pasti akan menepis konsekuensi tersebut. Di antara jawaban yang mereka kemukakan ialah. Tetapnya alam semesta, yang sudah ada dari tiada, itu tidak serta menafikan kebutuhannya kepada yang Mahakuasa. Sebab, kata mereka, kita tahu bahwa alam semesta ini terdiri dari substansi (jauhar) dan aksiden (‘aradh).
Tak ada substansi kecuali disertai oleh aksiden. Karena setiap substansi, paling tidak, sudah pasti bertempat. Dan kebertempatan itu sendiri merupakan bagian dari aksiden. Artinya, tetapnya substansi--bukan keberadaannya--itu mensyaratkan keberadaan aksiden. Dan keberadaan aksiden—bukan ketetapannya—sudah pasti bergantung pada keberadaan substansi.
Satu ketentuan yang disepakati oleh para penganut mazhab ini menyatakan bahwa aksiden itu tidak bisa tetap dalam dua waktu yang berbeda (la yabqâ zamânain). Namun, meski begitu, faktanya kita kerap menyaksikan bahwa aksiden itu bisa saja tetap dalam suatu jism (substansi material yang tersusun) dengan tempo yang cukup lama. Katakanlah warna baju, misalnya. Warna baju itu aksiden. Dan bajunya termasuk jism. Karena dia aksiden, maka dia, menurut mazhab ini, tidak tetap dalam dua waktu.
Artinya, warna baju yang Anda lihat sekarang, itu berbeda dengan warna baju yang Anda lihat kemudian. Tetapi fakta yang kita lihat justru menunjukkan bahwa warna baju itu bisa bertahan lama dalam baju hingga bertahun-tahun. Mengapa hal itu bisa terjadi, padahal aksiden itu tidak bisa tetap dalam dua waktu?
Jawabannya, kata mereka, karena di sana Tuhan menciptakan aksiden-aksiden semisal. Aksiden pertama hilang setelah waktu yang pertama. Lalu, setelah itu, Tuhan menciptakan aksiden yang lain, yang semisal dengan yang pertama, di waktu kedua, ketiga, keempat dan dan begitu seterusnya.
Singkat kata, kendatipun tidak tetap dalam dua waktu, aksiden itu senantiasa diperbarui. Dan karena dia diperbarui, maka sudah pasti dia butuh pada sebab. Harap diingat juga bahwa aksiden yang senantiasa diperbarui itu menjadi syarat di balik tetapnya substansi.
Karena itu, konsekuensinya, tetapnya substansi juga pasti bergantung pada adanya sebab, melalui aksiden-aksiden yang senantiasa diperbarui itu. Dan sebab itu adalah Allah. Dengan demikian, kendatipun kita meyakini bahwa yang menjadi sebab kebutuhan itu adalah kebaruan—dalam arti keluar dari ketiadaan—keyakinan tersebut tak berarti bahwa kalau sudah ada, alam semesta tidak butuh pada Sang Maha Pencipta.
Pandangan kedua menyatakan bahwa yang menjadi sebab kebutuhan itu ialah kemungkinan (al-Imkân). Dan inilah pandangan yang banyak diamini oleh banyak teolog. Yang dimaksud dengan kemungkinan ialah: kemungkinan ada dan tiada. Mengapa alam semesta ini butuh pada pencipta?
Jawabannya, menurut mazhab ini, karena dia itu mungkin ada, dan mungkin tidak ada. Ketika dia ada, maka keberadaannya pasti bukan karena dirinya sendiri, melainkan bergantung pada keberadaan sesuatu yang lain, yaitu Allah.
Lalu bagaimana ketika dia tetap dalam keadaannya? Apakah dia juga masih butuh pada pencipta? Jawabannya masih. Mengapa? Karena, menurut mazhab ini, yang menjadi sebab kebutuhan itu bukan hanya karena dia diadakan dari ketiadaan—seperti halnya mazhab pertama—tetapi yang menjadi sebab kebutuhan itu ialah kemungkinan (al-Imkân).
Karena alam itu mumkin—dalam pemaknaan seperti tadi, yakni bisa ada, dan bisa tidak ada—maka ketika dia tetap dalam keadaannyapun dia masih butuh pada sebab. Karena keberadaannya bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena keberadaan sesuatu yang lain.
Dengan demikian, menurut mazhab ini, baik alam ini ada atau tiada, keberadaan dan ketiadaannya akan senantiasa membutuhkan sebab. Karena sebab itu yang memberinya dampak. Dan yang menjadi sebab itu adalah Allah.
Pandangan selanjutnya menyatakan bahwa yang menjadi sebab itu adalah kebaruan dengan syarat kemungkinan (al-Hudûts bisyarth al-Imkân). Yang lain mengatakan sebaliknya, yaitu kemungkinan dengan syarat kebaruan (al-Imkân bisyarth al-Huduts). Selain keempat pandangan tersebut, ada satu pandangan dari Syekh Mahmud Abu Daqiqah yang berusaha untuk menggabungkan dua pandangan pertama tadi.
Pandangan terakhir ini menyatakan bahwa yang menjadi sebab pengetahuan kita akan butuhnya alam semesta ini kepada pencipta ialah karena dia ada dari ketiadaan (al-Hudûts). Sedangkan pada kenyataannya (filwâqi’ wa nafsil amr), yang menjadi sebab kebutuhan itu ialah kemungkinan (al-Imkân).
Barangkali inilah pandangan yang lebih tepat, yang bisa menggabungkan kedua pandangan di atas. Demikian, wallahu ‘alam bisshawâb.