Fenomena feminisme di Indonesia kembali lagi muncul ke permukaan. Kaum feminis ini sedang gencar-gencarnya mendeklarasikan wacana kesetaraan gender.
Feminisme membela hak-hak perempuan untuk disederajatkan dengan hak-hak laki-laki. Konsep ini bertujuan untuk mengkritik struktur masyarakat yang patriarkal dan berusaha mengadakan reformasi menuju struktur masyarakat yang lebih seimbang dan adil.
Fenomena feminisme sendiri berasal dari Eropa, yang mengemukakan pemikiran-pemikiran kritis tentang posisi perempuan dan melahirkan pejuang hak-hak perempuan.
Sedangkan di Indonesia, feminisme masuk pada saat masa penjajahan Belanda. Saat Pemerintah Belanda membuka sekolah-sekolah untuk elite pribumi dan para ningrat. Namun tak semuanya bisa masuk ke sekolah ini; hanya pemuda-pemuda bangsawan saja yang bisa diperbolehkan.
Kartini sebagai perempuan muda saat itu memiliki semangat yang menyala-nyala dan keinginan yang kuat untuk dapat belajar dengan bebas. Namun sayangnya, ia hanya boleh mengenyam pendidikan sampai usia 12,5 tahun. Sedangkan saudara laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.
Ia hanya dapat membaca buku dan surat kabar. Dengan bahasa Belanda yang telah dikuasainya, Kartini menyalurkan gairah, energi, dan kekecewaannya lewat surat-surat yang ditulisnya.
Pada masa ini, memang belum ada kesadaran mengenai kesetaraan gender. Namun, Kartini telah menulis surat-suratnya yang berisi untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik rakyat jelata maupun golongan atas.
Ia juga menolak poligami yang dianggap merendahkan derajat perempuan serta memperjuangkan monogami. Lebih jauh, Kartini merupakan seorang feminis yang anti-kolonialisme dan anti-feodalisme.
Dilansir dari Nalarpolitik.com, di Indonesia, gerakan feminisme ini sudah terdengar sejak tahun 60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini dibagi dalam tiga tahapan.
Yang pertama adalah antara tahun 1975-1985. Pada masa ini, hampir semua LSM tidak menganggap masalah gender sebagai masalah penting. Justru banyak yang melakukan pelecehan.
Mereka tidak menggunakan analisa gender sehingga reaksi terhadap masalah tersebut sering menimbulkan konflik antaraktivis perempuan dan lainnya.
Bentuk perlawanan yang muncul terhadap gerakan feminisme adalah dengan mengemukakan alasan demi kelancaran proyek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan.
Selanjutnya, pada periode 1985-1995, dimulailah tahapan pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan.
Pada tahap kedua ini, kegiatan pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan terhadap isu gender sebenarnya. Pelatihan ini membantu menjelaskan pengertian dan isu gender sebenarnya. Berbagai LSM mulai menggunakan analisis gender dalam mengembangkan program-programnya.
Dan yang terakhir, 1995 hingga saat ini. Untuk mempertahankan apa yang telah dibangun pada dua tahapan sebelumnya, maka pada tahapan ini diterapkan dua strategi, yakni mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan strategi advokasi.
Untuk strategi yang pertama, diperlukan suatu tindakan yang diarahkan menuju terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif gender bagi setiap organisasi.
Sementara untuk strategi yang kedua, diperlukan suatu pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidakadilan gender di negara dan masyarakat.
Gerakan feminisme di Indonesia adalah gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antarmanusia yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil.
Namun, banyak juga feminis yang menyalahartikan gerakan tersebut. Banyak feminis melakukan gerakan ini untuk kepentingan pribadi dan pengakuan diri. Banyak di antara mereka hanya ingin agar tidak direndahkan lagi oleh laki-laki, tetapi tanpa sadar juga telah merendahkan kaumnya sendiri.
Para feminis menyerukan hak-hak perempuan demi menegakkan kesetaraan di bidang sosial, agama, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan kata lain, para feminis memiliki kecemburuan terhadap kaum laki-laki.
Ingin mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dibidang apa pun wajar saja. Tetapi, bila mereka hanya membandingkan kesataraan mereka dengan laki-laki, tetapi mengabaikan kesetaraan antarperempuan, ini yang kacau.
Banyak kaum perempuan yang berkoar-koar minta diberi keadilan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka memandang sebelah mata dengan keadilan sesama perempuan. Banyak perempuan yang ingin memiliki hak menggunakan pakaian apa pun yang ingin dipakainya tanpa mau diganggu oleh kaum laki-laki di mana pun mereka berada.
Tetapi mereka tidak sadar ketika mereka mencemooh dan mengganggu perempuan lain dengan penampilannya.
Kaum feminis juga menentang dan melawan adanya intimidasi dari laki-laki terhadap perempuan. Namun sayangnya, banyak perempuan di luar sana tanpa sadar mengintimidasi sesama kaumnya.
Mereka sama-sama berjuang untuk mendapatkan kebebasan kaum perempuan dalam mengekspresikan diri sebagai orang yang berani, kompetitif, profesional, dan kredibel. Namun miris, terkadang kaum perempuan sendirilah yang mematahkan hal-hal tersebut kepada kaumnya sendiri.
Feminisme menolak fakta bahwa kaum perempuan tidak mempunyai peluang yang sama dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, dan penghasilan.
Bukankah sudah lewat masa-masa perempuan dikekang atas hal-hal seperti itu? Toh, sudah banyak kok perempuan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari laki-laki. Banyak juga perempuan yang memiliki jenjang karier setara bahkan lebih tinggi dari laki-laki.
Lantas, untuk apa berkoar-koar ingin hal ini lagi? Perempuan sekarang rasanya sudah lebih bebas dalam memilih hal tersebut. Ini semua sudah tergantung dari pribadi diri sendiri dan keluarganya, bukan?
Sudah banyak juga perempuan hebat di Indonesia, seperti Sri Mulyani Indrawati yang menjabat sebagai Menteri Keuangan RI; ada juga Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Lalu ada Maudy Ayunda, sosok wanita muda berbakat yang kini tengah dibingungkan dengan pilihan antara Harvard University atau Stanford University; ada juga Tri Rismaharini yang menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, dan masih banyak lagi perempuan hebat di Indonesia.
Sekarang ini, bukan lagi permasalahan apa gendernya, tetapi sudah memasuki permasalahan siapa yang berkuasa dan siapa yang ditakuti.
Perempuan menginginkan hak yang sama dengan laki-laki, tetapi banyak juga perempuan yang mengambil hak perempuan lainnya dengan kekuasaan yang ada.
Intinya, bukan dari gender yang ada, tetapi bagaimana cara bersikap dengan sesamanya terlepas itu laki-laki ataupun perempuan. Kita memiliki hak yang sama sebagai manusia, tergantung bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada.
Untuk apa berkoar-koar menuntut hak-hak dan sebagainya kalau kita tidak bisa melindungi hak-hak yang sudah ada antarsesama?
Untuk itu, sebelum menuntut ini dan itu, ada baiknya untuk berpikir terlebih dahulu apakah kita sudah memberikan sikap yang baik antarsesama, terlepas itu gender yang ada.