Aku baru saja meletakkan tas dan dokumen-dokumen di meja saat Pauzi, office boy kantor kami masuk ke ruangan. “Pagi, Bu,”sapanya. “Waah, HP baru nih,” lanjutnya ketika melintasi meja-kerjaku. “Hehehe, iya, yang lama makin lemot,” jawabku. “Laah, bukannya itu Samsung,”ujar Pauzi. “Iya, tapi memorinya ngga bisa ditambah,” kataku. “Boleh dong, Bu, HP lama saya beli. Si Zia pengin HP Samsung, kameranya cakep katanya.” Aku tertegun mendengar kalimat panjang Pauzi. Zia, putrinya itu baru duduk di kelas 4 SD, dan Pauzi ingin membelikan anaknya HP?
Adalah wajar jika sebagai orangtua kita selalu berusaha agar dapat memenuhi kebutuhan anak, juga keinginan-keinginannya. Apalagi jika perjalanan hidup kita pernah mengalami masa-masa sulit dan sekarang dalam kondisi yang lebih baik. Maka kita akan berpikir bahwa kalau dulu hidup susah, ingin sesuatu tak bisa terpenuhi karena tidak punya uang, maka sekarang saat punya uang boleh dong wujudkan apa yang sebelumnya hanya jadi angan.
Kepada anak kita juga terbiasa menggunakan cara berpikir yang sama. Dulu di awal bekerja ayah tak mampu beli ponsel, padahal sangat ingin. Sekarang bisa beli. Kalau anaknya minta dibelikan, masa’ ditolak? Bukan ponsel mewah yang harganya menguras dompet, kok! Atau dalam kasus Pauzi, uang yang dimilikinya terbatas, tapi kan yang mau dibeli juga ponsel bekas. Yang penting Zia suka, itu yang ada dalam pikirannya.
Pauzi tak sendirian, ada banyak ayah dan ibu yang akan bersikap sama. Ingin selalu bisa memenuhi keinginan anaknya. Tanpa berpikir bahwa apa yang diinginkan itu belum tentu sesuatu yang betul merupakan kebutuhan si anak. Padahal belajar membedakan apa itu kebutuhan dan apa keinginan adalah hal mendasar yang perlu dipahami anak agar bisa membantunya belajar trampil mengelola keuangan.
Ah, sebegitu perlu kah? Kan nanti kalau punya penghasilan besar pasti bisa mengelolanya, begitu pikir sebagian besar orang. Paling resikonya jika nanti bergaji pas-pasan bakal sulit mengaturnya. Apa yang mau dikelola, lha jumlahnya saja kecil kan? Pemahaman semacam ini banyak dimiliki para orangtua. Sebagian bisa jadi karena berkaca kepada pengalaman yang dimilikinya. Jadi yang penting adalah bagaimana caranya untuk punya penghasilan besar. Sedang bagaimana mengelola penghasilan itu diyakini akan bisa dengan sendirinya.
Pemahaman ini tentu perlu diluruskan. Belajar mengelola keuangan, membiasakan diri agar bisa melakukannya dengan baik perlu dilakukan. Banyak terjadi, bukan jumlah penghasilan namun karena buruknya cara mengelola yang menyebabkan timbulnya masalah. Para pekerja muda terbelit hutang kartu kredit, pinjaman online, bukan cerita yang baru terdengar. Gaji yang ditunggu sebagian besar akan terpakai untuk membayar cicilan hutang, lalu berhutang lagi untuk menutup kebutuhan. Ini menjadi siklus yang terus berulang.
Kita tak ingin hal itu terjadi pada anak-anak kita bukan? Jadi ketrampilan mengelola keuangan memang perlu dilatihkan sehingga anak-anak, kaum muda, bisa melakukannya dengan baik.
Ketrampilan ini memang masih belum dianggap sebagai hal mendasar yang perlu dimiliki setiap orang. Sebagian besar dari kita masih percaya bahwa ada orang-orang yang beruntung memiliki bakat untuk mengelola keuangan dengan baik. Sebagian yang lain pasrah saja karena termasuk orang yang boros, tidak trampil. Padahal ketrampilan ini bisa dipelajari, dilatihkan, sehingga saat trampil akan sangat membantu anak merencanakan dan mewujudkan masa depannya dengan lebih baik.
Mengajarkan ketrampilan ini kepada anak dapat dimulai dengan menjelaskan perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Anak perlu tahu bahwa dia bisa memiliki banyak keinginan, namun tidak semuanya bisa atau perlu untuk dipenuhi. Misalnya, seorang anak SD ingin memiliki ponsel model smartphone sehingga bisa digunakan untuk berselancar di internet. Anak usia SD masih memerlukan pendampingan atau pembatasan saat mencari informasi atau bermain di ruang maya, karenanya ia belum perlu ponsel semacam itu. Keinginan bisa banyak sekali, namun perlu betul-betul dipilah untuk tahu, mana yang betul-betul dibutuhkan. Karena kebutuhan lah yang memang harus dipenuhi.
Anak perlu tahu bahwa kebutuhan tiap orang berbeda-beda. Anak usia TK akan berbeda kebutuhannya dengan anak usia SD, sekolah lanjutan, apalagi mahasiswa. Disini diperlukan kearifan orangtua untuk menjelaskan agar anak paham dan tidak iri satu sama lain. Karena meski kebutuhan dasarnya hampir sama, yaitu untuk makan, baju, transportasi, uang sekolah, namun ada hal-hal yang membedakan karena perbedaan jenjang sekolah.
Selanjutnya anak perlu diajarkan perhitungan sederhana. Saat ini banyak di antara kita yang terlalu tergantung kepada kalkulator untuk melakukan perhitungan. Padahal dalam keseharian, kemampuan menghitung sederhana akan sangat membantu kita, misalnya saat kita berbelanja. Melatih anak agar trampil berhitung dapat dimulai misalnya dengan meminta anak menghitung berapa kilogram beras yang dimasak dalam satu hari, lalu memperkirakan kebutuhan untuk sebulan. Contoh lain misalnya dengan mengamati pemakaian sabun cuci. Jika 1kg sabun habis dalam 10 hari, berapa kebutuhan 1 bulan untuk sabun cuci itu? Kegiatan semacam ini tidak hanya menjadikan anak trampil berhitung, namun juga menjadikannya lebih peka terhadap urusan keluarga.
Anak juga perlu memahami nilai uang. Hal ini bisa dilakukan dengan memberinya tugas membeli barang di warung. Dengan uang Rp50.000 bisa membeli apa saja? Berapa butir telur, berapa liter beras, berapa batang sabun? Bisa jadi anak telah terbiasa mendapatkan uang saku, namun karena jumlah uang itu masih terbatas, ia menggunakannya untuk jajan, transport atau keperluan kecil lainnya. Ia perlu memperluas pemahamannya dengan sesekali berbelanja keperluan rumah-tangga agar ia juga memiliki gambaran tentang kebutuhan hidup keluarga.
Keluarga yang mampu memberikan uang saku relatif besar kepada anak juga tetap perlu memperhatikan pemahaman tentang nilai uang ini. Pelan-pelan beri penjelasan berapa besar uang sakunya itu dibandingkan dengan uang yang didapat pedagang keliling, misalnya. Atau dengan gaji asisten rumah-tangga di keluarga tsb. Dengan demikian diharapkan anak menjadi lebih menghargai apa yang diperolehnya selain juga bisa bersimpati kepada mereka yang dalam kondisi kurang beruntung.
Yang tak kalah pentingnya, anak perlu diajarkan bahwa uang diperoleh dari hasil usaha. Anak perlu tahu bahwa untuk mendapatkan uang kita perlu berusaha. Uang tidak tumbuh begitu saja di halaman, lalu bisa dipetik kapan saja semau kita. Penekanan pada usaha untuk mendapatkan uang sangat perlu diberikan agar anak bisa menghargai kerja keras Ayah dan Ibu dalam mendapatkan penghasilan.
Sebagai tahap awal, anak bisa mulai dikenalkan dengan usaha yang bisa dilakukan untuk memperoleh penghasilan. Misalnya, memelihara beberapa ekor ayam untuk mendapatkan telur. Hasil telur bisa betul-betul dijual kepada orang lain, atau dibeli oleh Ibu. Orangtua juga bisa memberikan upah kepada anak untuk melakukan beberapa pekerjaan rumahtangga. Namun meski demikian anak harus tetap memiliki kewajiban untuk membantu sebagian pekerjaan rumah tangga, agar anak mendapatkan pemahaman bahwa ada pekerjaan yang menjadi tanggungjawab bersama.
Setelah semua hal di atas, satu hal lagi yang perlu dipahami anak adalah berkaitan dengan prioritas kebutuhan. Selain mengajarkan perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, orangtua perlu memberi pemahaman bahwa kebutuhan pun memiliki prioritas atau urutan kepentingan. Misalnya dalam satu saat ada berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, sementara dana yang tersedia tidak mencukupi, maka pemenuhan kebutuhan akan didasarkan pada urutan prioritas. Kebutuhan mana saja yang masih bisa ditunda, dicarikan alternatif penggantinya atau bahkan bisa dihilangkan setelah dipikirkan ulang.
Tentu anak Anda tidak akan serta merta trampil mengelola keuangan setelah mendapat pemahaman tentang kelima hal di atas, namun paling tidak penjelasan dan latihan yang sering dilakukan akan memberi dasar kuat bagi anak untuk mengelola keuangannya sendiri dengan baik, kelak.
Selamat mencoba!