Beberapa waktu lalu, tepatnya seminggu setelah kematian Sapri Pantun, muncul sebuah video dari seorang perempuan bernama Lia Adelia bersama seorang lelaki. Dalam video yang diunggah melalui Instagram itu, Lia Adelia yang juga sahabat Ayu Ting Ting terekam sedang menertawakan kematian sang komedian.

“Cing, elu enggak ikut sama temen lu Sapri Pantun,” tanya Lia Adelia sambil terbahak.

“Ke mana?” balas si lelaki.

“Mati begok dia,” sahutnya masih dengan tertawa ngakak.

“Oh, sudah mati, ya?” timpal si lelaki yang diikuti dengan tawa berderai.

Demikian sedikit petikan percakapan dua orang yang viral di media sosial. Tak ayal perilaku tak elok itu menuai kecaman pedas dari netizen. Berbagai reaksi bernada marah pun memanaskan Instagram, termasuk dari adik kandung Sapri Pantun yang sangat berduka karena kehilangan kakak tercinta.

Tak kuat mendapatkan cercaan dari netizen, Lia Adelia pun meminta maaf atas guyonannya yang tak patut. Dia sampai memohon agar netizen tidak menggiring opini publik untuk menghakiminya karena niatnya sekadar bercanda.

Lia Adelia hanya salah satu kasus manusia yang menertawakan kematian orang lain. Contoh lain begitu banyak tersebar di media sosial. Pesohor Malaysia juga pernah tersandung masalah serupa beberapa tahun yang lalu. Sharifah Sakinah membuat candaan terkait almarhum Jonghyun ‘SHINee’. Setelah mendapat cercaan pedas para penggemar KPop, dia pun meminta maaf lewat unggahan di Instagram story.

Menurut pengakuan Sharifah Sakinah, dia sama sekali tidak berniat menertawakan kematian orang lain, khususnya karena alasan sang penyanyi Korea mengalami depresi. Dia hanya tertawa melihat model rambut Jonghyun. Namun, nyatanya guyonan itu telah menerbitkan kemarahan Shawol, sebutan untuk para penggemar SHINee. Tak cukup melampiaskan kegeraman lewat media sosial, para fan SHINee bahkan melaporkan sang artis pada agensinya.

Bisa dikatakan hingga hari ini selalu ada kesempatan dan momentum orang melemparkan guyonan serupa. Tokoh politik dan para fanboy-nya merupakan pihak yang paling sering dirayakan kematiannya dalam canda hingga sumpah serapah. Polarisasi netizen karena perbedaan pilihan politik sejak tahun 2014 tampaknya belum sembuh lukanya hingga sekarang. Rasanya begitu mudah menemukan pembagian in group – out group meski tidak dilakukan secara tertulis apalagi dengan surat pernyataan resmi bermaterai.

Lihat saja selebrasi kematian Birgaldo Sinaga karena Covid 19 beberapa bulan yang lalu. Semua terpampang begitu nyata di media sosial, baik lewat komentar netizen di portal berita yang menginformasikan kabar tersebut hingga thread khusus yang dibuat untuk mengekspresikan kegembiraan. Bagi yang masih malu-malu, mereka memilih memuntahkannya di grup Facebook tertutup atau di grup Whatsapp. Inti pesannya sama saja. Mereka bergembira karena orang yang selama ini dianggap buzzer telah berpulang.

Hal yang sama terjadi saat kematian Ustad Tengku Zulkarnain. Netizen yang berseberangan kubu dengannya begitu riuh menggemakan kepuasan. Emoticon ngakak hingga komentar melecehkan bertaburan di ruang publik. Begitu mudah terbaca segala ujaran kebencian yang dibalut dalam perasaan senang. Bagi penyoraknya, satu musuh telah sirna untuk selamanya. Tak ada lagi komentar sang ustad yang memerahkan telinga, tak ada lagi kritikan kerasnya pada pihak lawan.

Yang terbaru tentu saja reaksi gembira sebagian orang atas kabar kritisnya Megawati Soekarnoputri yang merajai pemberitaan dan memeriahkan thread di media sosial sejak beberapa minggu yang lalu. Isu yang konon dihembuskan pertama kali oleh seorang dokter ini bergulung sangat cepat bak bola salju. Portal berita tidak kalah sibuk melaporkan perkembangan kabar yang pada akhirnya diketahui sebagai hoax ini.

Tawa, ledekan, hingga sumpah serapah berhamburan di beranda media sosial. Untuk mengantisipasi kabar yang semakin kabur, melalui media daring Megawati Soekarnoputri muncul. Dia mengabarkan dirinya baik-baik saja. Tidak sedang sakit, tidak sedang koma, dan tidak sedang dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Namun, ekspresi senang akan kabar kematian mantan presiden Indonesia itu sudah terekam di media sosial dan meninggalkan jejak digital yang kekal.

Sementara itu di belahan dunia lain, tepatnya di benua Afrika terdapat fenomena yang unik. Tarian kematian atau dancing pallbearers di Ghana, Afrika Barat menjadi viral di media sosial. Ada enam orang pria berkulit hitam yang menari sambal mengangkat peti mati. Mereka menari tanpa ekspresi sedih sehingga kematian seolah dirayakan dengan penuh kegembiraan. Sontak beberapa netizen yang ‘kreatif’ menjadikan ritual tersebut sebagai meme atau bahkan lelucon.

Kematian yang biasanya bernuansa duka, di tangan penari pallbearers berubah meriah. Penemu tarian kematian, Benjamin Aidoo mengatakan orang yang meninggal akan menjalani kehidupan baru di alam kubur. Tak layak jika kerabat dan sahabat melepasnya dengan penuh kesedihan.

Tertawakan saja duka. Lupakan suasana berkabung. Relakan si mayat pergi diiringi tawa bahagia. Tarian kematian yang ceria bahkan menjadi bisnis menguntungkan bagi Benjamin Aidoo. Tak hanya itu, Benjamin bahkan sering membagikan klip lucu tentang variasi gerakan tarian yang membuatnya semakin kondang di media sosial.

Netizen meledak dalam tawa. Netizen bergembira memviralkannya menjadi bentuk meme dan video Tik Tok dengan lagu ceria. Netizen menikmati lelucon yang membuat kematian rasanya sah saja dijadikan bahan bercanda.

Tak ada perasaan tersinggung. Tak ada hujatan pedas bagi orang-orang yang terbahak-bahak secara berjamaah. Tak ada rasanya yang keberatan dengan perayaan ini. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan nasib Lia Adelia dan Sharifah Sakinah yang dikecam netizen hingga ciut nyali. Sungguh berbeda pula dengan guyonan kematian Birgaldo Sinaga, Tengku Zulkarnaen, atau Megawati Soekarnoputri yang berimbas pada semakin pekatnya kebencian di antara dua kubu yang berseberangan.

Sama-sama menertawakan kematian, hasilnya bisa sangat bertolak belakang. Semakin intens netizen menertawakan kematian yang dibawakan penari pallbearers semakin banyak cuan mengalir ke rekening Benjamin Aidoo. Sementara menertawakan meninggalnya selebritas dan tokoh politik, memanen hujatan dan caci maki.

Anonimitas jenazah yang ditarikan oleh para penari Ghana membuat tertawa bukan hal yang tabu. Lagipula objek yang ditertawakan adalah gerakan tarian, meme, dan musik pengiring lucu. Semua tidak ada tendensi menyerang pribadi. Konteks yang melekat pada tawa itu sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh para penari. Bergembiralah melepaskan jenazah pergi.

Sementara menertawakan selebritas dan tokoh yang sudah dikenal dipersepsikan tidak pantas karena menyerang sisi personal orang yang meninggal. Kedekatan hati antara penggemar dan idola membuat orang merasa berhak marah saat sosok yang dikagumi diserang secara pribadi di media. Perasaan memiliki sekaligus kehilangan atas kepergian figur yang diidolakan menimbulkan kemarahan kolektif sebagai tanda tidak terima atas tindakan yang merendahkan nilai penghormatan kepada orang yang sudah meninggal.

Tak ada ritual kegembiraan untuk menghantarkan pemakaman sosok yang ditertawakan. Yang tersisa adalah duka mendalam dari orang-orang yang mencintai sang tokoh. Jika begini, berani menertawakan kematian sama saja dengan bersiap-siap mengundang malapetaka.