Agama dan materialis merupakan dua variable yang—menurut kebanyakan orang—tidak bisa digandengkan. Agama yang dipahami sebagai dogma tidak akan pernah menggunakan materialis sebagai kendaraan berpikirnya jika tak ingin dicap sebagai kaum nakal liberalis.
Materialis yang saya maksud di sini adalah metode berpikir yang mendasarkan segala sesuatu pada materi, bukan mamak-mamak sosialita yang hobi shopping. Namun pada tulisan kali ini, saya akan mencoba menguraikan beberapa argumen bahwa agama dapat diarungi dengan kendaraan berpikir materialis untuk menemukan Tuhan.
Manusia—menurut kalangan agamis—terdiri dari dua unsur; rohani dan jasmani. Keduanya saling melengkapi. Rohani atau ruh tidak ada artinya tanpa jasad—yang berupa materi—untuk ditempati bersemayam. Ia hanya akan gentayangan tanpa bisa melakukan interaksi dengan dunia yang serba-materi ini.
Demikian pula sebaliknya, jasad tak akan hidup dan bergerak melakukan aktivitas jika tidak ada ruh yang menjadi penggeraknya. Sehingga penentu bergerak atau diam, hidup atau matinya seseorang, bergantung pada ruh yang bersemayam di tubuhnya. Selama ruh itu ada, maka ia masih bisa bergerak dan hidup.
Sedangkan menurut kaum materialis (mereka yang mendasarkan pemikirannya pada materi), sudah pasti tubuh ini sepenuhnya materi. Artinya, materilah yang menggerakkannya, bukan rohani yang non-materi. Begitu banyak materi dalam tubuh ini yang saling berinteraksi sehingga ia dapat berfungsi dan melakukan aktivitas.
Darah harus dipompa oleh jantung kemudian melewati pembuluh darah arteri untuk bisa tersebar ke seluruh tubuh, lalu kembali lagi ke jantung melalui pembuluh darah vena, sehingga tubuh ini bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Jika salah satu dari materi ini berhenti, maka tubuh ini akan mengalami penurunan fungsi. Bahkan akan mati jika yang gagal itu materi, utamanya jantung.
Jadi penyebab matinya seseorang menurut kaum materialis bukan hilangnya ruh seperti yang diyakini kaum agamis, tetapi berhentinya satu materi melakukan fungsinya, dalam hal ini jantung, lantas di manakah peran Tuhan dalam hidup-matinya seseorang jika kesemuanya ditentukan oleh materi?
Inilah yang sering membuat kaum agamis anti dengan kata materialis—bahkan sebelum mereka mempelajarinya—karena kesannya mengesampingkan Tuhan. Padahal sebenarnya menemukan Tuhan dapat ditempuh dengan jalan pikir materialis. Bagaimana caranya?
Salah satu aliran dalam paham materialis adalah aliran materialis mekanis, aliran yang berpaham bahwa segala materi yang ada di alam ini memiliki gerak mekaniknya masing-masing, atau gerak tunggal. Hawking mengistilahkannya dengan hukum tunggal atau hukum tetap atau hukum alam.
Hukum alam itu seperti sebuah apel yang dilempar ke atas oleh Newton pasti akan jatuh ke bawah, atau sebuah kardus dari atas truk akan meluncur turun ke lantai melalui bidang miring. Hukum ini tidak akan berubah seperti apel yang dilempar ke atas tidak akan pernah tidak jatuh ke bawah ataupun kardus yang mendaki dari lantai ke atas truk, karena itu akan menentang hukum alam. Terus korelasinya dengan Tuhan mana? Wait!
Sehingga, orang yang berpikir materialis berkesimpulan bahwa segala yang terjadi di alam ini telah diatur oleh sebuah hukum, yaitu hukum alam. Berhentilah Hawking pada kesimpulan ini lalu berstatement bahwa Tuhan tidak memiliki peran dalam penciptaan semesta karena keberadaan semesta ini akibat dari sebuah hukum alam yang pasti terjadi dan tidak dapat diubah, seperti apel Newton yang pasti akan jatuh ke bawah jika dilempar ke atas.
Jika saja Hawking melanjutkan pengamatannya dan mencoba bertanya siapa yang menciptakan hukum alam ini, tentulah ia akan bersiap mengucap syahadat (ini hanya asumsi penulis). Tetapi Hawking menganggap kesimpulannya sebagai kesimpulan final dan tak mau—mungkin tak berani—melanjutkan pengamatannya. Oleh karenanya, mari kita coba teruskan.
Dalam logika, kita dikenalkan dengan hukum kausalitas, hukum sebab-akibat. Keberadaan sesuatu karena sebuah sebab. Sesuatu tidak akan ada dengan sendirinya tanpa diawali oleh suatu sebab. Pohon bisa tumbuh dan berbuah sebab ia ditanam. Ia tidak akan tumbuh apalagi berbuah jika tak pernah ditanam.
Dalam logika, kita juga dikenalkan dengan hukum keteraturan, setiap yang teratur pasti ada yang mengatur. Jika alam ini teratur, maka—kita asumsikan—yang mengaturnya adalah hukum alam. Dan jika hukum alam ini ada, pasti ia ada karena sebuah sebab dan sebabnya tak lain dan tak bukan adalah perbuatan Tuhan.
Mengapa perbuatan Tuhan? Karena untuk membuat sebuah hukum tunggal yang mengatur semesta ini sedemikian rupa sehingga tidak mengalami kecelakaan, membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari semesta ini, maka tidak ada jawaban yang diperoleh selain jawaban Tuhan sebagai sosok yang diyakini oleh manusia mahabesar dari segala sesuatu.
Tuhanlah menciptakan sebuah hukum untuk mengatur alam ini, yang kita sebut sekarang sebagai hukum tunggal atau hukum alam.