Setiap jiwa adalah dunianya sendiri; bagi setiap jiwa, maka setiap jiwa lain adalah sebuah dunia nanti. ~ Zarathustra
Seorang kawan mengajak saya mendiskusikan buku ini empat atau lima tahun yang lalu, ketika kami masih mahasiswa baru. Diskusi itu nyatanya hanyalah monolog, sebab saya hanya melongo. Entah teman saya itu tampak begitu keren, intelek, pada saat itu, ataukah memang karena saya tidak mengerti pembicaraan kawan saya itu.
Zarathustra karya Friedrich Nietzsche diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh H.B Jassin dkk dan diterbitkan oleh penerbit Narasi dengan panjang 438 halaman. Membaca Zarathustra butuh waktu separuh bulan. Dan hasilnya? Seperti filsafat Nietzsche - Nihilisme, NIHIL!
Pada bagian sampul buku ini, tertera bahwa buku ini adalah karya Nietzsche yang paling terkenal, paling banyak dibaca, tapi paling jarang dipahami. Dan sepertinya saya baru saja menambah daftar panjang orang-orang yang tidak paham akan buku ini. Yes!
Baiklah! Mari berbincang sedikit tentang isi buku. Tokoh sentral dalam buku ini bernama Zarathustra, yang konon katanya terinspirasi dari sosok Zoroaster - seorang pemikir Persia tujuh abad sebelum Masehi.
Buku ini menceritakan tentang petualangan Zarathustra naik-turun gunung, berbicara tentang binatang-binatang, manusia-manusia, termasuk dirinya sendiri, mempertanyakan kehidupan, memaknai bumi, mencaci maki masyarakat, membunuh Tuhan, menjalani kesunyian, kesendirian, dan tentu juga kejombloan.
Sejujurnya, tekad saya terhadap buku ini hanya agar bisa membacanya hingga tuntas. Jadi, saya bisa bilang kalau saya pernah membaca Zarathustra. Pencitraan, memang.
Nietzsche adalah sosok yang kontroversial. Dalam banyak tulisannya (saya baru baca dua), ia mengobrak-abrik nilai-nilai Kristianitas yang kental dianut di Eropa. Dalam buku Zarathustra inilah terdapat tulisan Nietzsche yang secara terang dan jelas mengatakan, “Tuhan telah mati!”
Tapi, tidak bijak rasanya jika menelan bulat-bulat atau menolak mentah-mentah apa yang dikatakan pria yang pada akhir hidupnya divonis gila itu.
Satu kesimpulan sederhana dari saya setelah membaca buku ini, saya justru menemukan Nietzsche sebagai sosok religius yang paling tidak beragama. Dalam ketidakberagamaannya itu, justru saya menemukan sisi religiositas yang unik dan khas.
Ketika orang-orang memperdebatkan tentang eksistensi Tuhan, Nietzsche hadir dan justru mengatakan bahwa “Tuhan telah mati!” Saya sendiri mengambil kutipan yang lain sebagai kutipan pembuka dalam ulasan ini.
Buku ini menyajikan pandangan-pandangan filosofis Nietzsche tentang kehidupan dan ketuhanan. Buku ini sendiri dibagi ke dalam empat bagian bab. Kutipan pertama yang saya catat secara khusus berbunyi: “Sang Pencipta ingin berpaling dari dirinya sendiri, maka ia ciptakan dunia.”
Bukankah Anda juga berpikiran serupa? Mungkin, suatu waktu Tuhan hanya tengah bosan, lalu Dia menciptakan dunia dan manusia sebagai penghiburan. Atau mungkin Anda tidak pernah berpikiran seperti itu?
Benar juga! Nietzsche adalah sosok yang menuliskan apa yang mungkin Anda dan saya, bahkan tidak berani untuk pikirkan.
Masih berbicara tentang Tuhan. Pada dialog yang memuat “Tuhan telah mati”, sebenarnya adalah dialog antara Zarathustra dengan setan. Kutipan lengkapnya: Dan aku kemudian mendengar dia (maksudnya setan) mengucapkan kata-kata ini, “Tuhan telah mati; Tuhan mati karena belas kasihnya kepada umat manusia”. Kita telah membunuh Tuhan!
Tidakkah Anda merasa bahwa adalah umat manusia itu sendiri yang telah membunuh Tuhan? Tuhan mati karena belas kasihnya kepada umat manusia, katanya. Apakah Tuhan bunuh diri? Sebab ia sendiri terus mengasihi manusia-manusia yang pada akhirnya membunuhnya?
Bukankah melupakan Tuhan berarti membunuh Tuhan? Manusia-manusia yang hidupnya penuh dengan limpahan kasih sayang Tuhan - yang hidupnya penuh dengan kenikmatan, atau mungkin juga kesengsaraan - yang pada akhirnya melupakan Tuhan, bukankah mereka-mereka itu yang sejatinya telah membunuh Tuhan?
Tidak jarang bahwa kebahagiaan membuat manusia lupa pada Tuhan dan kesengsaraan membuat manusia membenci Tuhan. Dua keadaan yang membuat Tuhan tidak lagi dihadirkan dalam kehidupan.
Bukankah belas kasih Tuhan - “nikmat” hidup dan kehidupan pada manusia itu yang pada akhirnya juga membunuh Tuhan?
Masih ada kutipan-kutipan tentang Tuhan untuk kita renungkan bersama, di antaranya: “Bisakah kalian ciptakan Tuhan? Jadi, jangan katakan apa-apa lagi tentang tuhan-tuhan! Tetapi sudah pasti kalian bisa ciptakan Manusia-Unggul.”
“… Inilah berketuhanan itu, bahwa terdapat tuhan-tuhan tetapi tidak ada Tuhan”. Tidak ada Tuhan! Tidak ada tuhan sebagai kekuatan tunggal, tetapi banyak hal yang bisa dipertuhankan.
Mari kita lupakan sejenak Tuhan dan mari kita ciptakan Manusia-Unggul, solusi akhir yang Nietzsche tawarkan. “Dan ketika aku berseru: “Terkutuklah semua setan pengecut dalam diri kalian yang suka merengek dan mengatupkan tangan-tangan mereka dan menyembah.” Kemudian mereka berteriak, “Zarathustra tidak bertuhan.”
Manusia seperti apakah Manusia-Unggul itu? Bertolak belakang dengan kutipan tersebut, saya melihat Manusia-Unggul sebagai sosok yang menantang dunia, yang memiliki otoritas atas dirinya sendiri, yang tidak mengatupkan tangan-tangan dan menyembah karena dirasuki setan.
Mungkin Anda masih tidak mengerti. Ketika manusia merasakan takut, ia mencari perlindungan kepada zat di luar dirinya yang menurutnya lebih kuasa, ialah Tuhan atau apapun yang ia pertuhankan. Di saat itulah manusia berdoa. Ya, kerasukan setan-setan pengecut, kata Nietzsche.
Menurut Nietzsche, hidup seharusnya dihadapi begitu saja. Jika tidak percaya pada Tuhan ataupun tuhan-tuhan yang lain, maka yang tersisa hanyalah diri sendiri, diri si manusia itu. Hanya si manusia itu yang mampu menggembleng dirinya sendiri dan menjadi Manusia-Unggul. Superman!
Percaya atau tidak kepada adanya Tuhan, bukankah manusia memiliki tekad untuk membentuk dirinya menjadi sebaik-sebaiknya, sekuat-kuatnya manusia?
Dalam buku Beyond Good and Evil, Nietzsche menulis bahwa insting alami makhluk hidup bukanlah untuk bertahan hidup (mendapatkan makanan), melainkan untuk berkuasa.
“Di mana aku temukan makhluk hidup, di situ aku temukan kehendak untuk kuasa; dan bahkan dalam kehendak abdi aku temukan kehendak tuan.” Itu kutipan dalam buku Zarathustra. Saya juga melihat bahwa Manusia-Unggul itu ada kaitannya dengan kehendak untuk berkuasa.
Manusia harus terus hidup dan maju untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Usahlah melihat bahwa “kehendak untuk kuasa” itu sesuatu yang buruk. Kenyatannya, setiap dari kita bersaing secara kasar maupun halus, langsung maupun tidak langsung, dengan satu sama lain.
Bahkan, jika bukan untuk mengalahkan orang lain, kehendak untuk kuasa- pencapaian kepentingan, adalah untuk kebahagiaan diri sendiri.
Takdir kehidupan itu sebuah misteri. Jika percaya Tuhan, kita meyakini bahwa takdir hidup telah Tuhan gariskan. Sayangnya, diutak-atik bagaimanapun, takdir itu tetap tak teraba, tak terbaca.
Adalah manusia itu sendiri yang harus tetap hidup untuk mencari tahu seperti apa sebenarnya takdirnya. Ketika saya mengatakan bahwa Nietzsche memiliki religiositas yang khas, saya melihat bahwa yang Nietzsche inginkan sebenarnya adalah bahwa manusia-manusia harus berusaha untuk mencapai puncak (keduniawian) tertinggi selama hidupnya. Puncak yang tak seorangpun tahu.
Manusia harus banyak-banyak berusaha, bukannya malah merengek mengatupkan tangan-tangan karena kerasukan setan pengecut. Atau mungkin hanya tidak ingin berusaha. Di satu sisi, berdoa saja memang tidak menyelesaikan masalah.
Ya! Saya tahu, jika Anda percaya Tuhan, Anda akan mengatakan bahwa doa dan usaha itu beriringan. Jika Anda membaca buku ini, Anda bisa menabung banyak quotes untuk persiapan masa depan.
Sebagai penutup, sebuah kutipan yang sangat menohok berbunyi “Dia yang tidak bisa memberkati akan belajar memaki!” Nietzsche punya alasannya sendiri ketika mengeklaim Tuhan telah mati. Cukuplah hanya baginya kematian Tuhan dan tuhan-tuhan.
Bagi saya, ‘Tuhan telah mati”-nya Nietzsche bukan sekadar membunuh Tuhan. Ia lebih dalam, dalam hakikat manusia bertuhan dan berketuhanan. Apakah kita akan memaki Nietzsche karena kita tak mampu memberkati?
Bisa menyelesaikan membaca buku ini telah merupakan sebuah kesyukuran. Mampu memahaminya adalah sebuah keajaiban. Sayangnya, saya tidak cukup ajaib.