Tentu kita sering melihat berita-berita dadakan yang dibagikan di grup keluarga via aplikasi Whatsapp. Umumnya, berita-berita ini adalah berita bohong yang entah tidak sengaja karena ketidak tahuan sang penyebar, ataupun dengan sengaja disebarkan dengan tendensi politik tertentu.
Umumnya, para penyebar berita bohong didalam lingkungan keluarga adalah orang tua kita sendiri, baik itu ayah, ibu, nenek ataupun kakek. Dalam prakteknya, tidak bisa dipungkiri bahwa orang tua punya andil besar dalam persebaran hoaks di lingkup terkecil seperti keluarga.
Seringkali, hoaks diciptakan dalam corak tertentu, tergantung kekhususan mengenai konflik historis yang terjadi di suatu wilayah tertentu. Namun, bagaimana apabila penyebar berita bohong ini adalah orang-orang yang secara tidak sadar diperalat oleh kepentingan politik?
Walaupun kita bisa mendiskusikan lebih lanjut mengenai terma "politik", namun disini penulis akan jabarkan sekilas mengenai konteks politik yang akan menjadi pembahasan disini. Politik disini memiliki konteks yang cukup sederhana, yaitu kepentingan.
Kepentingan politik merupakan cara-cara yang ditempuh dalam mencapai tujuan dari si pembuat berita bohong. Sekalipun ia menggunakan orang-orang "polos" alias tidak berdosa bahkan tidak tahu apa-apa, Si pembuat tentu menyasar kepentingan yang sama secara "identitas" dengan orang-orang yang akan menyebarkan berita bohong. Yaitu politik identitas berupa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA).
Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas bagaimana keterkaitan antara usia dengan jumlah persebaran hoaks yang terjadi di Indonesia.
Hoax dan Akses Informasi yang Timpang
Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) pernah mengatakan bahwa orang-orang yang berumur 40 tahun ke atas adalah digital immigrant. Mereka dikategorikan sebagai generasi X, atau generasi yang lahir pada awal atau pertengahan 1960-an hingga awal 1980-an.
Artinya, generasi X ini merupakan orang-orang yang tumbuh disaat media masih cetak, dengan informasi yang tidak bebas persebarannya. Berbeda dengan generasi Z yang tumbuh ketika zaman media sedang berjaya di industri berbasis digital, sehingga mereka dapat dengan mudah untuk beradaptasi dengan informasi-informasi yang masuk.
Hal ini diafirmasi oleh riset yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL). Dalam risetnya, MASTEL mengungkapkan sosial media merupakan lahan yang paling subur dalam perkembangan hoaks.
Sosial media menjadi ladang produksi dan reproduksi hoaks kepada khalayak luas. Dalam hal ini, pengguna sosial media yang paling rentan dan paling banyak mereproduksi hoaks adalah pengguna yang telah berumur lebih dari 40 tahun.
Perbedaan umur tentu membuat beberapa hal menjadi berbeda. Sebut saja orang tua yang mengejar ketertinggalan akan kecanggihan teknologi, akan bersusah payah dalam mencapai tingkat kepahaman yang sama dengan apa yang telah anaknya dapatkan.
Tentunya, beberapa dari mereka akan membenci jargon "teknologi memudahkan hidup" disaat hidup mereka terlalu disibukkan dalam mengejar ketertinggalan tersebut agar lebih "mudah menjalani hidup".
Dalam salah satu faktor, orang-orang yang hidup di era sebelum refomasi, pemuda Indonesia saat itu dihadapkan pada rezim otoritarian Soeharto. Dengan segala kekuasaannya, ia menggunakan alat-alat pemerintahan untuk mencapai apa yang diinginkan.
Salah satunya adalah menggunakan aparatur militer dalam menciptakan serta mengusahakan stabilitas nasional. Dalam agendanya untuk mencapai stabilitas nasional, ternyata penguasaan media tidak luput sebagai corong propaganda tunggal.
Sehingga, narasi yang diajukan oleh Negara -dalam rezim Soeharto- adalah satu-satunya sumber informasi yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah kebenaran.
Jika melihat lebih jauh, hal ini merupakan salah satu faktor pemicu hoaks menjadi sesuatu yang saat ini lazim digunakan. Terutama di tingkatan keluarga. Jika mengacu pada sebuah Logical Fallacy yang umum terjadi, yaitu Appeal to Authority.
Appeal to Authority adalah penerimaan segala informasi dari orang-orang yang dianggap cukup tua atau berpengalaman pada suatu hal. Dalam hal ini, Soeharto menjelma menjadi seorang "Bapak" yang tahu akan segala-galanya. Ia dengan tegas mempertunjukkan kepada siapapun bahwa ia akan menindak siapapun yang menentang bahkan untuk sekedar menanyakan sekalipun.
Ini merupakan bentuk yang jelas terhadap doktrinisasi yang dilakukan oleh Soeharto terhadap afirmasi kesesatan logika Appeal to Authority. Ketika kebiasaan ini diwajarkan, maka yang terjadi adalah hilangnya kritisisme anak-anak muda saat ini karena ditekan oleh doktrin "yang tua selalu benar".
jika melihat pada budaya Indonesia yang masih berpegang teguh pada hal ini, maka tak heran, hoaks akan terus bereproduksi dalam melahirkan wacana-wacana sesat dalam tujuannya menjaga nilai-nilai yang telah lama dianut, agar terus bertahan.
Sebagai Generasi Pemuda, Apa yang Perlu Kita Lakukan?
Tentunya, generasi pemuda saat ini tidak terlepas dari efek globalisasi dan digitalisasi. Hal ini membuat golongan pemuda lebih terbiasa dengan kehadiran teknologi dalam menjawab seluruh persoalan yang terjadi.
Seiring dengan terbukanya akses informasi di dunia maya, kita dapat membuat gerakan tentang pentingnya membedah informasi dan menyebarkan pesan-pesan damai kepada masyarakat luas. Sebagai contoh sederhana, kita dapat membuat video di kanal youtube berisi tentang ulasan teoritis mengenai suatu kejadian, dan menjadikan itu sebagai referensi atas informasi-informasi yang beredar.
Salah satu kanal youtube yang menyediakan ulasan tentang informasi keliru adalah Adam Ruins Everything. Video-video yang diunggah kanal youtube tersebut memiliki informasi-informasi penting dan bantahan mengenai informasi-informasi yang dianggap tabu, dan menyesatkan.
Video ini berhasil dikooptasi oleh perusahaan besar CollegeHumor dan mendapatkan honor dari monetisasi videonya, sehingga, kita tidak perlu khawatir akan kehabisan uang bulanan -jika video tersebut viral-
Sebagai pemuda, kita juga dapat membuat diskusi-diskusi kecil mengenai isu yang sedang berkembang pada hari ini dengan tujuan mencerdaskan pemuda untuk dapat menyaring informasi dari berbagai macam perspektif yang hadir didalam diskusi.
Dan yang terpenting, untuk mendorong mereka -para peserta diskusi- membuat diskusi-diskusi di lingkup pertemanannya masing-masing. Hal ini merupakan salah satu gerakan alternatif yang dapat dilakukan pemuda, khususnya mahasiswa untuk mengembalikan semangat Peran Fungsi Mahasiswa yang semakin luntur dimakan masa.
Referensi:
- Stephen R. Covey, 1989. “7 Habits of Highly Effective People”, Free Press: USA.
- http://wws.princeton.edu/news-and-events/news/item/fake-news-shared-very-few-those-over-65-more-likely-pass-such-stories-new Diakses pada tanggal 24 Februari 2019, pukul 11:33 WIB