Pendidikan menjadi hal yang sangat fundamental di dalam aspek kehidupan, karena pendidikan sendiri memiliki peran yang begitu besar dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik.
Perkembangan teknologi dan masuknya globalisasi ke Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, yang mana pendidikan harus mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan segala perubahan dunia yang begitu dinamis.
Adapun dalam menghadapi berbagai tantangan dan upaya untuk mewujudkan generasi berkualitas yang mampu bersaing secara global, maka dibutuhkan adanya gebrakan baru di dalam sistem pendidikan Indonesia, yang mana dapat diwujudkan melalui pemberlakuan kurikulum yang tepat.
Kurikulum sekolah penggerak atau istilah lainnya yaitu kurikulum prototipe dicanangkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan “Nadiem Makarim” pada tanggal 1 Februari 2021 silam.
Kurikulum sekolah penggerak sendiri merupakan produk dari program merdeka belajar yang kerap kali digadang-gadang oleh menteri Nadiem sebagai kurikulum baru yang mengangkat tema “Profil Pelajar Pancasila”, yang mana fokus utama dari kurikulum sekolah penggerak ini yaitu mengenai hasil yang dicapai oleh peserta didik.
Sebagai kurikulum baru di dalam dunia pendidikan Indonesia, tentu harapannya kurikulum sekolah penggerak ini dapat menyempurnakan kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum 2013. Namun, alih-alih menjadi solusi atas kekurangan pada kurikulum sebelumnya, kurikulum protototipe malah memunculkan pro kontra di kalangan masyarakat dan juga guru.
Berikut adalah catatan kritis mengenai satu tahun keberjalanan dari kurikulum sekolah penggerak di Indonesia :
Pertama, kurikulum sekolah penggerak dinilai bersifat prematur dan eksklusif. Dilansir dalam tempo.co anggota komisi pendidikan DPR dari fraksi Gerindra, Bapak Djohar Arifin Husin, menyatakan bahwasannya kurikulum sekolah penggerak yang dibuat oleh menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut tidak melibatkan wakil rakyat dalam proses pembahasan penyusunan kurikulum tersebut.
Kebijakan kurikulum sekolah penggerak yang dirancang oleh Mendikbud sudah seharusnya melibatkan banyak elemen, seperti: para ahli di bidang pendidikan, akademisi, wakil rakyat, dan juga berbagai aspirasi para guru di Indonesia. dengan adanya berbagai pihak yang turut berpartisipasi, maka akan memberikan keterbukaan bagi semua elemen untuk berpendapat.
Pembuatan kebijakan kurikulum yang dilakukan secara tergesa-gesa dan sangat singkat tanpa melibatkan banyak pihak maka akan berpotensi menghasilkan produk kebijakan yang cacat, prematur, dan bersifat eksklusif.
Dikutip dalam CNN, terdapat seorang guru yang mengkritik kurikulum sekolah penggerak ini karena bersifat eksklusif, yang mana kurikulum sekolah penggerak ini hanya diikuti oleh beberapa sekolah saja, adapun sekolah yang dapat mengikuti program sekolah penggerak ini adalah kepala sekolah yang lolos dalam seleksi PSP.
Kedua, dengan adanya kurikulum sekolah penggerak yang bersifat eksklusif ini tentu akan menimbulkan kasta-kasta di dalam pendidikan. Bagaimana tidak, sekolah yang lolos dalam seleksi PSP adalah rata-rata dari sekolah yang unggul, sedangkan sekolah-sekolah yang tidak lolos seleksi tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menerapkan kurikulum sekolah penggerak.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang munculnya kasta-kasta di dalam pendidikan, tentu dengan adanya kasta-kasta tersebut akan bertentangan dengan tema yang diangkat yaitu profil pelajar Pancasila.
Bagaimana profil pelajar Pancasila tersebut bisa terlaksana dengan baik, sedangkan dalam proses pengimplementasiannya saja tidak adil dan merata kepada seluruh sekolah yang ada di negeri ini.
Potensi munculnya kasta-kasta di dalam pendidikan ini juga akan menimbulkan adanya ketimpangan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya. Ketimpangan yang terjadi juga akan memunculkan berbagai polemik atau masalah baru, yang nantinya dapat berpengaruh terhadap menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Ketiga, sekolah yang berhasil lolos seleksi PSP, maka guru yang bersangkutan akan diadakan sebuah pelatihan mengenai konsep dari kurikulum sekolah penggerak tersebut.
Beralih dari kurikulum sebelumnya menuju kurikulum yang baru tentu membutuhkan sebuah proses yang tidak mudah dan dibutuhkan adanya pelatihan serta persiapan yang matang baik oleh sekolah dan juga keterampilan guru.
Namun, pelatihan dari kurikulum sekolah penggerak ini cukup singkat dan juga masih minimnya sosialisasi dari pemerintah kepada para guru. Padahal, pelatihan ini akan sangat menentukan bagaimana keberjalanan dari kurikulum ini dapat tercapai dengan baik dan efektif diterapkan kepada siswa.
Pelatihan yang mepet dan minimnya sosialisasi ini akan berpengaruh terhadap kesiapan guru dalam mengajar, guru akan merasa kebingungan dan kompetensi yang dimiliki juga kurang maksimal.
Ketiga, pada kurikulum sekolah penggerak ini guru dibebankan dengan tugas baru yaitu pembuatan modul ajar yang berisi 22 lembar. Sedangkan tugas seorang guru bukanlah hanya mengajar siswa di kelas, akan tetapi guru juga memiliki berbagai tugas yang lain seperti: membuat silabus, modul, dan beban administrasi lainnya yang dibilang cukup kompleks dan rumit.
Di sini guru penggerak juga dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan yang sesuai dengan perkembangan zaman seperti penguasaan teknologi dan lain sebagainya. Dalam implementasi pelaksanaannya guru penggerak juga harus mampu berperan meningkatkan kualitas pembelajaran, membentuk karakter sesuai dengan nilai Pancasila, mengelola lingkungan pembelajaran yang menarik, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kurikulum sekolah penggerak ini masih diperlukan adanya beberapa perbaikan. Aspirasi dari para guru juga menjadi hal yang sangat penting sebagai bahan evaluasi dari keberjalanan kurikulum sekolah penggerak ini, karena di sini guru berperan sebagai aktor utama dalam proses pelaksanaan kurikulum sekolah penggerak di sekolah.
Selain itu, Pemerintah juga harus mematangkan kembali konsep yang sudah dirancang sebelumnya, dengan harapan kurikulum sekolah penggerak ini dapat memberikan output yang baik kepada kualitas peserta didik, sekaligus dapat menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi berbagai tantangan yang begitu kompleks.
Referensi :