Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekologi dan perubahan iklim merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh umat manusia pada saat ini. Para ilmuwan berpendapat bahwa peningkatan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius dapat membawa berbagai malapetaka bagi kelangsungan hidup manusia. Beberapa di antaranya adalah perubahan ekstrem pada cuaca, kekeringan, peningkatan tinggi permukaan air laut, dan dampak-dampak terhadap lingkungan lainnya yang dapat merugikan manusia dalam skala global.
Melalui Konferensi Tingkat Tinggi yang membahas mengenai masalah perubahan iklim sejak tahun 1995, para pemimpin dunia merumuskan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah memburuknya dampak krisis ekologi dan perubahan iklim.
Forum Conference of Parties (COP) ke-26 yang dilakukan pada tahun lalu memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah untuk mengendalikan emisi karbon dan menjaga peningkatan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat Celsius. Tujuan ini dapat dilakukan melalui upaya-upaya seperti menghentikan laju deforestasi, mengurangi penggunaan energi batu bara, hingga mempercepat peralihan menuju energi terbarukan.
Untuk Indonesia sendiri, pada forum COP26, Presiden Joko Widodo berjanji untuk mencapai “zero deforestation” atau penghentian deforestasi pada tahun 2030. Ironisnya, janji untuk menghentikan laju penggundulan hutan ini bertepatan dengan agenda pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Bila kita melihat pembangunan sebagai agenda yang tidak kalah penting, maka dapat dikatakan bahwa penggundulan hutan akan tetap berjalan karena resolusi penghentian deforestasi pada Forum COP26 menghambat agenda pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Draf Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara menyatakan bahwa pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur akan dimulai pada semester pertama tahun 2024. Tentu pemindahan IKN memerlukan upaya serta sumber daya yang masif, mengingat kawasan pengembangan IKN memerlukan lahan sebesar kurang lebih 199.961 hektar.
Pemindahan ibu kota ini tidak dilakukan tanpa alasan, bagian penjelasan draf RUU IKN yang berisi kajian pemerintah menunjukkan bahwa DKI Jakarta sudah tidak dapat mengemban perannya sebagai ibu kota negara lagi dalam beberapa waktu ke depan.
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang sudah tidak terkendali, penurunan kondisi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Ironisnya, penurunan kondisi lingkungan dan tingkat kenyamanan hidup ini diprediksi akan diperparah oleh perubahan iklim yang merupakan isu primer yang dibahas pada KTT iklim PBB.
Pernyataan halt and reverse forest loss dan zero deforestation yang terkandung di resolusi Indonesia pada COP 26 pun menimbulkan polemik. Pasalnya, Menteri Negara untuk Pasifik dan Lingkungan Hidup Inggris, Zac Goldsmith melontarkan pernyataan bahwa COP26 telah menghasilkan deklarasi dari lebih dari 100 negara untuk menghentikan deforestasi pada tahun 2030.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar pun menyatakan dalam unggahannya di Twitter bahwa pembangunan tidak boleh berhenti atas nama deforestasi dan istilah “deforestasi” yang digunakan pada forum COP26 tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia.
Di lain sisi, KTT Iklim PBB yang telah diadakan sejak tahun 1995 hingga saat ini belum memiliki solusi konkret dalam mengatasi masalah perihal perubahan iklim dan krisis ekologi. Hal ini terbukti bahwa belum ada dobrakan baru pada solusi-solusi yang ditawarkan.
Sebagai contoh, upaya terkait penghentian emisi karbon dari negara-negara besar baru sampai pada keputusan phasing down coal yang berarti penggunaan batu bara baru akan dikurangi secara bertahap. Ketidakpraktisan upaya ini terlihat pula pada Amerika Serikat yang pada tahun ini kerap melantangkan retorika net zero emission, tetapi belum memberanikan diri untuk mengurangi tingkat konsumsi energi batu bara.
Ketiadaan solusi nyata ini mengesankan bahwa KTT Iklim PBB hanya sebatas ajang pemanis bibir bagi para pemimpin dunia yang diselingi jargon-jargon seperti net zero emission, phase out coal, dan zero deforestation tanpa adanya langkah tegas untuk merealisasikan resolusi-resolusi yang telah disepakati.
Forum COP26 memang menuai beragam kritikan, mulai dari resolusi yang dinilai tidak efektif, hingga ketidakjelasan definisi dari terminologi seperti halt and reverse forest loss dan zero deforestation yang menimbulkan kebingungan. Selebihnya, resolusi yang dihasilkan pun tampaknya tidak berimbang, dalam artian bahwa negara-negara berkembang memiliki beban yang sama dengan negara-negara maju dalam berurusan dengan perubahan iklim.
Oleh karena itu, perlu pertimbangan lebih lanjut lagi dalam memutuskan resolusi COP26, khususnya penghentian deforestasi terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia yang masih sangat membutuhkan pengelolaan kekayaan alamnya untuk pembangunan.
Di samping itu, kejelasan istilah-istilah dan terminologi yang terkandung pada resolusi forum KTT Iklim PBB menjadi hal yang krusial agar tidak menimbulkan kebingungan. Dari sini, yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana pembangunan yang sedang digencarkan bisa memiliki daya dukung lingkungan yang baik.