“Jika sudah mulai ada bedah buku di PB HMI, itu tanda-tanda akan dilaksanakan kongres”
Ini menjadi komentar warganet terkait dengan budaya diskusi, mengkaji, dan meneliti di Himpunan Mahasiswa Islam. Terutama dalam tataran pengurus secara nasional.
Jangan sampai, mengkaji buku hanya sebagai sebuah pencitraan calon atau kandidat ketua umum yang akan berlaga di kongres. Sementara itu, kesemarakan kongres juga tidak dibarengi dengan diskusi dan juga wacana keilmuan. Termasuk tidak ada rekomendasi yang didasari pada aktivitas riset. Jangan sampai butir-butir rekomendasi hanya berada pada tataran asumsi dan semata-mata daftar harapan.
Padahal dalam pandangan Minhaji (2013) tradisi akademik di perguruan tinggi ditopang dengan aktivitas meneliti, menulis, dan membaca.
Sementara kader HMI, sebagai mahasiswa sudah pasti perlu terbiasa dengan tradisi ini. Namun, justru sebaliknya ketika turun untuk demonstrasi tidak didasari dengan naskah akademik yang memadai. Sekadar menyuarakan tuntutan, tetapi tidak disertai dengan penjelasan yang memadai.
***
Minggu, 25 Februari 2021 menandai dimulainya kerja bersama Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 2021-2023. Dimana dengan susunan kepengurusan yang telah terbentuk menjadi tanda untuk kesiapan bekerja.
Sebuah tanda dimana intelektual yang menguasai roda organisasi ketika dasar keputusan itu adalah sains yang berpondasikan pada obyektivitas. Adapun keberpihakan, maka itu semata-mata bukan alasan rasional, tetapi juga pada sisi emosional.
Jangan sampai, keputusan organisasi didasarkan pada urusan sedikit atau banyaknya suara yang mengemukakannya. Itu tak lebih ada urusan politik. Keputusan yang didasarkan pada mayoritas suara.
Padahal, urusan kualitatif sekalipun itu seorang diri. Bisajadi itulah kebenaran yang sesungguhnya. Suara seorang pakar menjadi penentu. Sementara dalam pemungutan suara, suara pakar sama saja kuantitasnya dengan siapapun itu.
Kita bisa melihat kerja-kerja sains yang dilaksanakan Einsten, dan juga ilmuwan lainnya. Justru sepi dan berada di jalan yang sunyi. Ataukah ini menjadi ketidaktertarikan publik pada jalan pengabdian sains. Di samping sunyi, tidak bergelimang materi. Berbanding dengan dunia selebritas yang justru dibaluti dengan kemewahan.
Termasuk dalam urusan kekinian, penanggulangan wabah. Itu juga bukan pada aspek suara, tetapi justru pada dasar pembuktian yang dikumpulkan dari lapangan. Alquran menyebutnya kauniyah. Berdasar pada pembuktian lapangan.
Hanya saja, sebuah kebenaran sains senantiasa terbuka untuk dikoreksi. Berbeda dengan kebenaran wahyu yang selamanya benar. Belum lagi, dalam sebuah wahyu akan terjadi perbedaan tafsir. Semata-mata ini karena keterbatasan manusia dalam memahami kandungan ayat.
Tantangannya, bagaimana antara wahyu dan sains kemudian diintegrasikan menjadi aktivitas praktis. Dialektika itu sudah menjadi diskursus tersendiri. Dimana, Islam dipandang sejalan dengan sains.
Tetapi tidak bisa berhenti sampai disitu. Formulasi untuk menerjemahkan pesan-pesan wahyu yang selanjutnya menjadi aspek teknis diterjemahkan melalui metode yang beragam.
Tantangannya, dimana narasumber, instruktur, dan perangkat latihan kader lainnya tidak melengkapi diri dengan pembobotan bacaan. Sehingga kadang yang disampaikan tak lebih retorika belaka.
Atau bahkan hanya narasi yang didengarkan dari waktu ke waktu melalui pelbagai kesempatan. Tidak dilakukan konfirmasi untuk mendapatkan penjelasan lebih luas dan komprehensif. Apalagi kalau hanya setakat mengkaji melalui universitas whatsapp.
Ketika intelektual yang menjadi lingkungan sekaligus sebagai pondasi, maka kemahiran riset harus mulai dibangun. Hanya saja jikalau mengacu kepada PKM (Program Kreativitas Mahasiswa), kehadiran kader HMI dalam kegiatan tersebut tidaklah signifikan.
Ini bolehjadi diartikan bahwa dalam aktivitas akademik, kader HMI tidaklah antusias. Bahkan adanya PKM sepi dari perhatian kader-kader HMI.
Mengacu kepada komentar warganet tadi, sejatinya intelektualisme HMI jangan sampai hanya karena kehadiran kongres semata. Sementara usai kongres, justru semangat menerbitkan dan diskusi buku juga ambyar seiring dengan formulasi strutktur kepengurusan yang ada.
Satu hal lagi, bagaimana kondisi intelektualisme di kalangan kader HMI?. Ini menjadi satu persoalan tersendiri. Dimana Cak Nur dan cendekiawan sezamannya meletakkan standar yang tinggi. Sehingga paling tidak, kita yang ada pada generasi setelahnya perlu menyamakan. Bersyukur kalau bisa melampau.
Namun, jangan sampai harapan itu justru melambung jauh berbanding dengan realitas yang terjadi. Dimana Sitompul (2008) justru mengemukakan 44 tanda kemunduran HMI dalam kurun waktu 50 tahun pertama.
Ini sejatinya adalah koreksi dan juga kritik internal bagi kita sehingga dapat kembali berada dalam rel dimana HMI seharusnya berada.
Belum lagi dalam rentang duapuluh satu terakhir, sejak usai kongres Balikpapan justru perpecahan demi perpecahan yang terus terjadi. Hingga untuk mencapai dan membentuk ekosistem intelektual akan menemukan tantangan tersendiri.
Terkait dengan semangat intelektualisme, kita semua lebih paham kondisi yang ada. sehingga tidaklah diperlukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. kita semua sangat paham dengan jawaban bahkan sebelum pertanyaan itu diajukan.
Akhirnya, Islam dan Indonesia yang menjadi jati diri HMI perlu diformulasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi hanya berorientasi pada kekuasaan. Melainkan berada dalam rel intelektual dimana itu adalah jalan yang sunyi dan tidak bergelimang kemewahan dan materi.