Apa yang ada dalam pikiran Anda saat membaca judul di atas ? Apapun pikiran Anda, silakan disimpan dulu, dan mari kita membahas secara santai persoalan pemilu ini tanpa emosional dan tanpa kepentingan, anggap saja kita ngobrol santai.
Tulisan ini bukan hendak membahas perdebatan soal penggunaan material karton/kardus dalam pemilu dan pilkada, biarlah itu menjadi urusan beliau-beliau di atas, yang lebih berwenang dan juga lebih paham. Sekiranya ada pihak yang tidak setuju, itu pun ada alur untuk menyampaikan keberatan secara konstitusional.
Kalau ada yang bertanya, apakah saya pribadi setuju dengan kontak suara dari karton ? Jawaban saya, ya kurang setuju, dengan pertimbangan, kondisi geografis Indonesia. Indonesia secara umum adalah wilayah tropis yang rawan hujan.
Dan belum lagi, di beberapa wilayah, sarana dan prasarana transportasi belum memadai. ini artinya material ini rentan rusak dan kurang mampu melindungi isi di dalamnya. Tapi bukan itu yang hendak saya bahas di sini. Sejumlah informasi, perihal kerusakan surat suara karena cuaca bisa Anda baca di link berikut ini.
Tapi saya ingin membahas, tentang masalah lain yang tidak kalah penting tapi (mungkin) lolos dari perhatian kita. Kita sering terfokus pada "kotak kardus" dan mengaitkan dengan "kecurangan" dalam perolehan suara, baik pemilu maupun Pilkada.
Apakah benar ada kecurangan ? Maaf bukan kapasitas saya untuk menjawab, itu wewenang Bawaslu dan jajarannya. Tapi di sini saya ingin membahas potensi ketidakakuratan, atau bahkan pelanggaran yang terjadi sepanjang tahapan pemilihan (Pemilu/Pilkada).
Dan perlu saya garis bawahi, jangan sampai semua itu luput dari perhatian kita, hanya karena kita terlalu fokus dengan kotak kardus. Sekali lagi, jangan sampai fokus kita teralihkan oleh isu kotak kardus.
Pertama, adalah potensi pelanggaran di "area terbatas". Saya ambil contoh, rentan terjadi, penggiringan untuk memilih atau tidak memilih peserta pemilu tertentu, bisa saja terjadi (misalnya) di lingkungan kerja oleh atasan kepada bawahan. ini bisa juga, terjadi di masyarakat, tapi di ruang-ruang privat, dimana orang yang lebih "berpengaruh" menyampaikan ajakan, tekanan, bahkan intimidasi terhadap orang yang "lebih lemah" di wilayahnya. Hal ini sangat sulit untuk diungkap dan dibuktikan.
Potensi pelanggaran lain, adalah "kampanye terselubung." Saya menggunakan istilah ini, dalam artian, suatu tindakan menjurus kampanye, namun secara regulasi sulit untuk dibuktikan/disebut memenuhi unsur kampanye. Dalam kasus tertentu, masalah ini bisa saja berimpitan dengan penggunaan fasilitas dinas, untuk aktivitas tertentu.
Secara regulasi, belum bisa dianggap kampanye, namun dalam tanda kutip, masyarakat bisa merasakan "aroma" kampanye dalam kegiatan tersebut.
Termasuk pembagian uang atau barang yang dikemas sedemikian rupa, sehingga sulit untuk disebut "money politic" karena memang tidak memenuhi unsur pelanggaran secara regulasi, tapi mengarah ke sana. Hal semacam ini perlu mendapat perhatian serius dari para pakar hukum dan pihak berwenang.
Potensi pelanggaran berikutnya, masih terkait dengan paragraf di atas, yaitu pembelokan informasi. Ini cukup rentan terjadi khususnya terhadap kalangan bawah di wilayah pinggir dan pedesaan. Misalnya, dengan menghembuskan isu, "Kalau Mr. X tidak terpilih, bantuan "bla bla bla" akan dihapuskan," atau kalimat lain yang senada.
Bagi (maaf) kalangan bawah, informasi semacam ini bisa mempengaruhi opini mereka. Ini termasuk yang sering menjadi perdebatan, tentang bantuan pemerintah yang berlabel gambar calon petahana.
Potensi masalah selanjutnya ada di tahapan pungut hitung. Di tahapan ini pelanggaran cukup rentan terjadi. Potensi pelanggaran, baik sengaja atau tidak, misalnya di tahap pembagian surat pemberitahuan pemilih.
Kurangnya sosialisasi, sering membuat pemilih yang kebetulan belum mendapatkan pemberitahuan dan seharusnya tetap memiliki hak pilih di tempa tinggalnya, masuk Daftar Pemilih Khusus, dengan KTP-El (pasal 39 PKPU Nomor 11 Tahun 2019) mengira telah kehilangan hak pilihnya.
Kemudian potensi adanya pengiringan opini, bahkan bisa saja disertai intimidasi terhadap pemilih, bisa saja terjadi di sekitar tps, dilakukan oknum tertentu, inipun peru diwaspadai dan sering lolos dari pantauan. Dan sekali lagi, pembuktian masalah seperti ini cukup sulit, meski sebenarnya termasuk pelanggaran (pasal 531 Undang-Undang 7 Tahun 2017)
Kemudian, terkait dengan perolehan suara. Sebagai mantan penyelenggara pemilu di tingkat lapangan, saya menemukan beberapa persoalan di sini. Diantaranya adalah adanya disinformasi tentang ketentuan suara sah dan tidak sah.
Ini cukup penting dipahami, dan berpotensi menimbulkan hilangnya suara, dikarenakan ketidakpahaman pemilih, sehingga mencoblos dengan cara yang salah. Atau bisa juga ketidakpahaman petugas, sehingga salah mengidentifikasi surat suara sah menjadi tidak sah.
Hal ini diperparah dengan kenyataan masih adanya saksi TPS dengan SDM apa adanya alias pas-pasan. Jika terbukti hal ini dilakukan secara sengaja, sebenarnya sudah diatur dalam pasal 532 Undang-Undang 7 Tahun 2017), namun sering terjadi kalau hal ini lebih merupakan kelalaian daripada kesengajaan.
Tahapan penghitungan di TPS terbilang cukup riskan. Sengaja atau tidak, ketidakcermatan petugas KPPS, kelengahan saksi dan pengawas TPS, bisa berakibat fatal. Ketidakcermatan dalam penulisan Form Rekap hasil penghitungan beserta salinannya, akibatnya tidaklah main-main.
Ketika salinan yang diterima saksi atau diakses masyarakat (misal dengan memotret salinan form) tidak sesuai dengan yang diterima KPU, fatal. Hasil hitung cepat akan meleset jauh dengan hasil hitungan resmi KPU, dan akibatnya, bisa dibayangkan, (atau mungkin juga ini sudah sering terjadi ?).
Tentu saja masih banyak potensi permasalahan yang bisa terjadi di lapangan pada setiap tahapan Pemilu/Pilkada. Namun setidaknya, masalah di atas adalah sebagian kecil persoalan, yang pernah saya temui di lapangan, dan berpotensi secara langsung mempengaruhi hasil perolehan suara., dan bahkan berpotensi sengketa terkait hasil pemilihan.
Solusi masalah ini memang tidak mudah, butuh kerjasama semua pihak yang berkepentingan, dalam hal ini Penyelenggara Pemilu, Lembaga Legislatif, Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, dan juga peserta Pemilu itu sendiri, termasuk di dalamnya masyarakat.
Butuh proses panjang untuk mewujudkan hal ini, karena membutuhkan perbaikan terus menerus kaitannya dengan regulasi. Selain itu, peningkatan SDM di tingkat lapangan mutlak diperlukan. Peningkatan SDM ini meliputi SDM di tingkat KPPS, PTPS, dan Saksi TPS. Saksi dengan sdm memadai dan disiplin tinggi bisa sangat membantu terlaksananya tahapan pungut hitung secara LUBER-JURDIL.
Tulisan ini tentu masih jauh dari sempurna, masih banyak masalah Pemilu/Pilkada yang harus dibenahi, namun saya berharap, tulisan ini bisa menggugah semangat kita bersama. Tanpa kerjasama semua pihak, pemilihan yang LUBER-JURDIL akan sulit terwujud.