Pendidikan konservasi adalah salah satu materi pembelajaran terpenting yang sampai saat ini masih saja terlupakan dalam sistem pendidikan kita di Indonesia. Menjadi terlupakan karena negara tampaknya masih menganggap bahwa pendidikan konservasi belum begitu darurat untuk diajarkan pada siswa. Dalam kurikulum pendidikan nasional kita, materi tersebut tidak pernah menjadi agenda penting untuk dimasukan sebagai daftar prioritas bahan ajar.
Padahal, masalah yang terkait dengan krisis sumber daya alam dan kehancuran ekologi yang masif adalah problem yang juga sangat kronis yang di derita oleh bangsa ini, sementara pengetahuan untuk mencegahnya belum juga tersedia secara memadai.
Andaikata ada sekolah yang memuat pembelajaran tersebut, maka dipastikan kehadirannya pun masih bergantung pada inisiatif guru atau sekolah tertentu saja. Menyadari bahwa sampai saat ini, pendidikan konservasi tidak mendapatkan tempat yang baik di sekolah-sekolah kita, maka institusi keluarga sedapat-dapatnya mesti mengambil peran dalam mengajarkan nilai-nilai, sikap, dan jiwa konservasi pada anak sedini mungkin.
Lantas, mengapa pendidikan konservasi begitu penting? Saya ingin mengingatkan kembali kepada para pembaca bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini bukanlah proses yang ujug-ujug langsung terjadi, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama serta dilakukan oleh manusia dari generasi ke generasi. Manusia, dengan segala perilaku dan pemikirannya, merupakan salah satu faktor utama yang memacu laju kerusakan lingkungan.
Hal ini terjadi bukan karena manusia tidak berpendidikan, tetapi mental, kedewasaan, serta kesadarannya terhadap lingkungan sekitarnya inilah yang cacat dan miskin. Oleh karena itu, menyiapkan generasi berjiwa konservasi harus sedari awal dipikirkan sebagai upaya sistemik yang sebisa mungkin diawali dari pendidikan konservasi terhadap lapisan demografi penduduk yang paling belia. Tujuan besarnya adalah untuk memberikan dasar-dasar pemahaman kepada generasi hari ini agar pembangunan yang dikerjakan di masa sekarang tidak meninggalkan beban ekologis yang terlalu berat bagi generasi berikutnya di masa depan.
Pendidikan konservasi tidak hanya semata-mata berbicara soal ekologi dan dampak kerusakannya terhadap kehidupan manusia, tetapi juga membahas tentang krisis moral manusia yang makin destruktif yang ikut melatarbelakangi terjadinya kehancuran alam. Menguatnya eco-vandalism berwajah industri ekspansif, terjadinya ledakan penduduk atau over-population, perilaku menyampah dan konsumtif yang makin tak terkendali, serta kurangnya kesadaran menjaga lingkungan merupakan refleksi atas fenomena rusaknya moral manusia yang seolah-olah merasa dirinya berdiri sendiri dan terpisah dari alam.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, kerusakan lingkungan memiliki sifat yang linier terhadap menurunnya moral manusia yang hidup di atasnya. Semakin rusak moral manusia, semakin besar peluang kehancuran lingkungan yang ditimbulkannya.
Oleh karena itu, resolusi atas kerusakan lingkungan tidak melulu hanya bersifat “mengobati” dalam bentuk program rehabilitasi dan restorasi fisik lingkungan saja, tetapi juga harus di awali dengan perbaikan moral pada tahap awal perkembangan manusia (sebagai aktor utama perusak lingkungan) melalui pendidikan konservasi yang tepat.
Pendidikan konservasi pada kehidupan anak merupakan starting point dalam membentuk generasi pecinta lingkungan di masa depan. Anak-anak yang merupakan “bibit” generasi penerus perlu mendapat bimbingan sejak masa belia, sehingga nantinya jiwa-jiwa konservasinya mampu mengilhami setiap langkah dan pemikiran mereka ketika beranjak dewasa. Dalam hal ini, keluarga yang merupakan sel terkecil dari sebuah populasi manusia, seharusnya mengambil peran yang besar dalam membentuk sikap dan jiwa konservasi pada anak.
Sejak sekolah-sekolah formal belum sempat mengakomodir pendidikan konservasi ini, maka lingkungan keluarga harus menjadi “sekolah” pertama dalam usaha mendidik jiwa konservasi pada anak. Orang tua yang merupakan ujung tombak keluarga akhirnya harus bersedia memikul tanggung jawab pendidikan konservasi ini, dan menjadi parameter moral serta teladan pertama bagi anak dalam upaya pembiasaan sikap dan jiwa konservasi.
Peran Keluarga dan Clean Culture Strategy
Untuk menjadikan anak secara alami terbiasa dengan sikap konservasi, maka ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua. Yang paling umum adalah dengan membiasakan anak membuang sampah pada tempatnya. Sederhana memang, tetapi karena terlihat simple inilah kemudian orang-orang menjadi cenderung menggampangkannya.
Kebiasaaan membuang sampah pada tempatnya adalah contoh tradisi sederhana yang harus dibiasakan pada anak sejak dini. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya tidak hanya akan mengajarkan anak tentang kebersihan lingkungan, tetapi juga tentang bagaimana merawat lingkungan agar selalu tampak asri dan nyaman serta bebas sampah.
Yang kedua adalah dengan mengajari anak hidup hemat dan sederhana. Karena kerusakan lingkungan ini juga sangat berjalin kelindan dengan moral manusia, maka masalah perilaku juga perlu mendapat perhatian dari orang tua. Anak perlu dibiasakan dengan pola hidup yang sederhana dan tidak berlebihan-lebihan. Perilaku yang super-konsumtif selain tidak baik bagi mental anak, juga akan sangat merugikan seluruh keluarga.
Pada tingkat populasi yang lebih tinggi, perilaku boros dan cenderung tidak puas akan mendesak tingginya permintaan terhadap barang baru, yang artinya akan menguras sumber daya yang lebih banyak lagi. Jika sebuah populasi negara bahkan dunia memiliki tingkat konsumsi keluarga yang melebihi ambang batas yang bisa disediakan oleh alam, maka berapa total kehancuran sumber daya yang akan terjadi?
Oleh karena itu, dengan menyadari bahwa sifat boros ini memang sangat merugikan, maka setiap keluarga mesti menyadari hal ini dengan membentengi keluarga dan anak-anak dari perilaku hidup boros dengan mulai membiasakan hidup hemat dan sederhana. Pembiasaan gaya hidup yang sederhana (eco-lifestyle) di lingkungan keluarga diharapkan mampu menjadi solusi budaya guna mengantisipasi kerusakan lingkungan secara kultural.
Selain pembiasaan hidup bersih dan sederhana, sebenarnya masih banyak metode yang bisa ditempuh untuk membiasakan anak mencintai lingkungan, tergantung kreativitas dan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua. Camping di alam terbuka, melakukan eco-tour, menanam pohon, merawat mangrove, dan sebagainya merupakan cara-cara yang populer yang bisa dilakukan orang tua bersama anak. Namun hal yang paling utama adalah bahwa setiap proses pembiasaan tersebut sedapat-dapatnya memuat tujuan konservasi itu sendiri.
Kerusakan lingkungan terjadi seiring dengan meningkatnya pengetahuan manusia terhadap manfaat yang mampu disediakan oleh alam. Semakin manusia menikmati manfaat yang diberikan alam, maka semakin tinggi pula kerusakan alam yang ditimbulkannya. Kita sebagai manusia memang tidak bisa menghindari terjadinya kerusakan lingkungan, tetapi kita mampu meminimalisirnya, mengontrolnya, sekaligus memulihkannya kembali.
Perbaikan lingkungan seharusnya kita mulai dengan cara-cara yang lebih komprehensif, yang bisa dimulai dengan pendidikan konservasi dan perbaikan moral terhadap anak dan remaja pada lingkup yang paling akrab, yaitu keluarga. Sebab, sekali lagi, masalah kerusakan lingkungan bukan hanya soal fisik lingkungan itu sendiri, melainkan juga soal moral hazard manusia yang akan berpotensi menghancurkan lingkungan.