Kebangkitan kelompok konservatif belakangan ini bukan merupakan hal yang mengejutkan. Secara pribadi saya menganggap apa yang dilakukan beberapa kelompok konservatif, seperti yang terjadi dalam Aksi Bela Islam 2 Desember lalu merupakan hal yang wajar.

Dunia saat ini bergerak cepat, bertumbuh, dan berkembang bersama seisi kehidupan kemanusiaan menuju suatu tahap peradaban baru dalam sejarah kita. Wajar saja dalam perkembangan ini kita melihat ada mereka yang takut akan perubahan, takut akan kemajuan yang sebelumnya tidak terbayang.

Globalisasi membawa bangsa kita dalam keterbukaan yang luar biasa akan pemikiran dan pandangan hidup yang selama ini asing bagi kita. Meski begitu, secara sejarah kita tidak pernah lepas dari apa yang namanya pengaruh-pengaruh asing.

Peradaban Hindu-Buddha itu bukan asli dari kita, peradaban Islam itu juga bukan asli tumbuh dari kita, dan peradaban Barat itu tumbuh dari penjajahan bangsa Eropa yang mencengkeram kita di masa lalu. Tidak ada yang pribumi dari kehidupan kita, semua terlahir dan tercipta dari luar.

Seperti halnya kita yang dulu menerima Hindu-Buddha dari India atau Islam dari Jazirah Arab melalui perdagangan internasional, kita kini menerima berbagai cara berpikir modern melalui globalisasi. Sudah ada orang-orang yang berani memperjuangkan hak LGBT, ada pula yang bercerita masalah transhumanisme, serta ada juga yang mulai tidak takut mentafsirkan pemikiran keagamaan secara liberal lepas dari otoritas-otoritas yang ada.

Ini bukanlah akhir peradaban kita, ini adalah sebuah proses sejarah yang sudah kita lalui sebelum-sebelumnya. Kemajuan ini wajar dan seharusnya secara wajar pula kita tidak perlu takut atasnya.

Secara dialektika Hegelian, mustahil bagi suatu tesis untuk hadir tanpa adanya suatu antitesis. Kelompok konservatif menghadirkan dirinya sebagai antitesis terhadap berkembangnya pemikiran baru di Nusantara saat ini. Kehadiran mereka sama wajarnya dengan masuknya pemikiran luar ke peradaban dan kebudayaan kita kini.

Kelompok-kelompok progresif sepatutnya tidak perlu terlalu gelisah atau takut akan kehadiran kelompok-kelompok antitesa tersebut. Toh, mereka cuma hanya ampas dari suatu dunia lama yang kedepannya akan dikuliti perlahan-lahan oleh kemajuan zaman.

Anak-anak muda kita saat ini, baik yang ‘melek politik’, yang ‘melek filsafat’, yang ‘melek sejarah’, yang ‘melek sosial’, yang ’melek merem’ masalah dunia atau yang cuma ‘merem-merem hedon’ memiliki kapasitas luar biasa dalam mengantarkan bangsa ini untuk memeluk kemajuan zamannya. Mendiang Prof. Sarlito Sarwono pernah menulis tentang hal tersebut dalam “Generasi Merdeka”, sebulan sebelum beliau berpulang ke rahmatullah.

Ada beberapa ulasan Prof. Sarlito yang cukup menarik karena memberi saya yang merupakan seorang anak generasi Y (kelahiran 1990an) terhadap cara berpikir adik-adik saya yang saat ini masih ‘unyu-unyu’.

Menurut Prof. Sarlito, mereka yang lahir pada akhir dekade 1990an dan awal 2000an merupakan suatu generasi baru yang disebut sebagai “generasi Z”. Generasi ini dipandang sebagai generasi yang tidak lagi terbelenggu keinginan, tradisi dan stereotipe lama milik orang tua mereka. Mereka ini adalah generasi global, yang tidak menginduk pada pemikiran lama kakek nenek mereka dan mandiri dalam berpikir.

Orientasi mereka tidak hanya kota asal mereka, kampung asal mereka atau negara mereka saat ini. Orientasi generasi Z adalah dunia secara keseluruhan dan mereka dapat menerima secara bebas semua (catat: “semua”) informasi yang ada di dunia ini melalui perkembangan teknologi kini.

Kita memasuki sebuah zaman dimana anak muda kita adalah sebuah generasi yang liberal dalam pikiran dan perbuatan. Hal itu adalah kewajaran karena setiap generasi akan selalu melepaskan kekolotan yang dimiliki pendahulunya dan memeluk kebaharuan yang dunia tawarkan saat ini.

Mereka membangun kebudayaannya sendiri, pola kehidupannya sendiri dan cara berpikirnya sendiri. FPI tidak mungkin membendung kehadiran generasi ini, terserah lewat demo, sweeping atau indoktrinasi ke dalam lembaga.

Semakin cepatnya Indonesia masuk ke dalam perkembangan dunia disertai dengan lahirnya suatu generasi yang bebas dan merdeka dari pengaruh kolot orang tuanya adalah anak zaman yang tak terelakkan. Kemajuan cara berpikir anak muda kita yang lebih liberal dan humanis tentu lebih melampaui pemikiran primitif dan primordial kaum konservatif.

Anak-anak muda kita suatu hari akan belajar untuk tidak menghamba kepada kepentingan kelompoknya atau daerahnya saja, melainkan membaktikan dirinya terhadap pemikiran yang lebih tinggi, yakni pemikiran kemanusiaan.

Dalam dunia yang berkembang pesat ini, tentulah bangsa kita akan terus dihadapkan dengan isu seperti liberalisme, feminisme, pembebasan seksual, hak LGBT, keadilan sosial dan lain-lain. Anak-anak muda kita pada akhirnya akan siap untuk menerima semua itu terlepas dari gunjang ganjing kaum konservatif saat ini.

Hanya mereka yang membaktikan pada perkembangan kemanusiaan yang memiliki tempat di dunia saat ini. Sementara, bagi mereka yang masih gelisah dan awut-awutan pikirannya karena ketakutan akan perubahan hanya memiliki satu tempat. Tempat yang pantas bagi mereka tersebut adalah tempat sampah sejarah.