Roman marah tampak pada wajah Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Bone. Ia mengecam Ketua Umum PB PMII yang dinilai lari dari tanggung jawab dalam mengemban amanah organisasi. Pasalnya beberapa Cabang PMII di Sulawesi Selatan tak dikeluarkan Surat Keputusan (SK) seperti PMII Cabang Bone, Cabang Palopo dan PMII Cabang Gowa serta membekukan Cabang Bantaeng.
“Tidak ada alasan kuat yang mendasari keputusan PB PMII tidak mengeluarkan SK, padahal cabang-cabang tersebut telah memenuhi segala persyaratan yang dibutuhkan. Parahnya beberapa cabang, salah satunya adalah Cabang Bone dikembalikan ke Cabang persiapan tanpa argumentasi yang jelas” ungkap Sudri, Ketua Cabang PMII Bone.
PB PMII mengeluarkan keputusan hasil rapat pleno dengan tiba-tiba. Keputusan pleno tersebut menyatakan mengembalikan statuta PMII Cabang Bone, Palopo dan Gowa ke cabang persiapan. Tindakan ini tentu menciderai marwah organisasi dan membunuh produktivitas kaderisasi PMII di Sulawesi Selatan.
Langkah politik yang diambil oleh PB PMII tentu memunculkan pertanyaan yang menggelitik. Betapa tidak, PMII dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan mendelegasikan kader-kader terbaiknya ke PB PMII, salah satunya adalah Syarif Hidayatullah atau kerap disapa Chali yang hari ini juga maju sebagai Calon Ketua Umum PB PMII pada helatan kongres mendatang.
Apa alasan yang mendasari Chali tidak melindungi dan memperjuangkan cabang-cabang PMII di Sulawesi Selatan yang belum mendapatkan SK? Padahal hari ini, Chali seyogyanya tampil sebagai sosok yang mengayomi agar mendapatkan simpatik dari kader PMII Region Sulawesi Selatan.
Lalu, siapa yang akan menjadi pahlawan dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi oleh PMII Cabang Bone, Palopo, Gowa dan Bantaeng ini?
Jika kita tarik pada latar sejarahnya, agaknya cerita ini mirip dengan hikayat Arung Palakka yang berada di antara gelar pahlawan dan pengkhianatan. Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas bak merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker.
Pada 24 November 1666 armada besar bertolak dari pesisir utara Batavia menuju Celebes, terdiri dari 21 kapal perang yang mengangkut 1.000 prajurit.
Pasukan Arung Palakka dibantu dengan Kapiten Jonker atau kerap disapa Ahmad Sangaji semakin percaya diri untuk merebut kekuasaan dan memulihkan harga diri yang telah lama tercabik-cabik oleh Kesultanan Gowa. Mereka berangkat dengan satu tujuan: mengalahkan Gowa yang saat itu dipimpin seorang raja perkasa berjuluk Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
Dan terjadilah pertempuran legendaris itu. Singkatnya, Gowa pada akhirnya menyerah, dan tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai kemenangan Kapiten Jonker dan Arung Palakka walaupun selama beberapa tahun berikutnya serpihan pasukan Gowa masih melakukan perlawanan hingga saat ini.
Siapa ‘Pahlawan’ Dalam Polemik SK PMII di Sulsel?
Siri’Na Pacce. Demikian falsafah hidup yang dipegang teguh oleh etnis Bugis. Siri berarti rasa malu atau harga diri, sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Kita melihat bagaimana rakyat Bugis selalu mengedepankan harga diri dalam segala aspek kehidupannya. Ini adalah hasil dari sejarah masa lalu dimana Arung Palakka, Sultan Hasanudin dan Kapiten Jonker adalah pahlawan yang berhasil membela harga diri orang Bugis masa itu.
Hikayat Arung Palakka tersebut tentu relevan jika kita hubungkan dengan polemik SK dan pergantian status persiapan secara sepihak oleh PB PMII. Kasus ini tentu saling kait-berkelindan dengan persoalan martabat dan marwah PMII Cabang Bone, Gowa, Palopo dan Bantaeng yang tercabik-cabik oleh polemik ini. Siapa kah generasi penerus Arung Palakka dan Sultan Hasanudin yang tampil menjadi pahlawan untuk melindungi harkat dan martabat PMII Sulawesi Selatan?
Muhammad Syarif Hidayatullah atau kerap disapa Chali sebagai representasi PMII Sulawesi Selatan di PB PMII ternyata tak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan persoalan ini. Terang dan tegas bahwa hari ini generasi Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin sedang dikebiri oleh Chali.
Sebetulnya, persoalan SK dan status persiapan ini dapat selesai jika Chali berusaha untuk mengambil langkah politik di tingkat PB PMII. Namun sangat disayangkan hal tersebut tidak terjadi. PMII Cabang Bone, Gowa, Palopo dan Bantaeng harus menghadapi imbasnya dari ketidakmampuan Chali mewakili kepentingan regionalnya.
Akankah permasalahan ini terjadi karena disebabkan oleh ketidakmampuan Chali memperjuangkan kepentingan PMII Cabang Bone, Gowa, Palopo dan Bantaeng di PB PMII atau sebaliknya hal ini adalah kesengajaan Chali untuk tidak memperjuangkan kepentingan SK tersebut karena terdapat kepentingan pribadi yang jauh lebih besar daripada kepentingan organisasi?
Terlepas dari segala pertanyaan spekulatif tersebut, dalam kasus ini perlu ada ‘pahlawan’ yang muncul dan tampil untuk menyelesaikan polemik SK PMII yang tak kunjung diberikan. Sebab, polemik ini tak hanya sekedar persoalan administratif, melainkan juga berkaitan dengan martabat dan marwah organisasi yang dilecehkan sedemikian rupa atas nama kepentingan pribadi.
Haruskan pasukan Ambon yang dipimpin oleh Kapiten Jonker di masa lalu kembali mengirimkan generasinya kini untuk turut menyatukan PMII Cabang Bone dan Gowa? Terlepas dari pada itu, sejarah Sulawesi Selatan adalah sejarah perlawanan. Kita harus bangkit dan berpendirian kokoh untuk berjuang melindungi harga diri serta merawat kedaulatan. Siapakah pahlawan selanjutnya?