Setiap tahun Pemerintah melaksanakan lomba desa. Mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, Regional bahkan Nasional. Lomba desa merupakan instrument untuk mengevaluasi efektifitas pembangunan dan tingkat perkembangan desa dengan berbagai macam kategori penilaian.

Saya kurang mengerti seperti apa regulasi dan standar penilainnya, namun yang lazim terjadi, jika sebuah desa sudah ditetapkan menjadi peserta lomba, maka semua aspek segera dibenahi dan diperelok tampilannya. Baik dari sisi administrasi, tata kelolah pemerintahan, penataan lingkungan, serta aspek - aspek lainnya.

Hal yang terlihat paling mencolok jika suatu desa ikut lomba, adalah munculnya aksi massif dari sisi penataan lingkungan dan keindahan desa. Warga desa mendadak sibuk bersih-bersih, beres-beres. Pagar rumah diperbaharui. Warna cat berikut modelnya dibuat seragam mulai dari pintu gerbang sampai ujung kampung. Gapura desa dibuat cetar membahana. Jalan utama dan lorong-lorong desa didandani seperti mau menyambut kedatangan Bapak Presiden.

Bukan hanya itu. Fasilitas-fasilitas desa dirapikan. Warnanya diupayakan jreng dan semencolok mungkin. Rumah Kepala Desa beserta seluruh aparatnya dipasangi papan nama. Taman dan kebun desa diadakan mendadak. Dan segala bentuk kreativitas untuk mempercantik desa dimunculkan.

Menjelang kedatangan yang mulia tuan dan nyonya tim penilai, spanduk ucapan selamat datang ukuran jumbo nampang di gapura desa. Sepanjang jalan dikibarkan umbul-umbul, tenda penyambutan mewah didirikan di tengah lapangan, plus jamuan istimewah dihidangkan. Semua sisi desa dibuat terlihat hidup, fresh dan jreng. Rombongan tim penilai disambut bak punggawa.

Sesungguhnya, membenahi kekurangan yang ada di desa, merapikan administrasi, melengkapi infrastruktur desa, menata lingkungan dan memperindah wajah desa merupakan langkah mulia yang perlu didukung serta patut diapresiasi. Namun semua itu menjadi tidak elegan jika diupayakan hanya untuk menjuarai lomba Desa.

Peningkatan kualitas supra dan infrastruktur desa hendaknya dimaksudkan lebih dari itu. Yakni benar-benar untuk kemajuan Desa, untuk peningkatan kualitas  pelayanan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Maka menilai desa dengan diumumkan terlebih dahulu, dan memberi kesempatan kepada desa untuk berbenah jauh hari sebelum masa penilaian, menurut saya bukan cara tepat untuk memperoleh penilaian yang obyektif.

Semua desa sudah diberi anggaran pembangunan yang nilainya cukup fantastis. Satu eman/Desa. Sehingga lomba desa sebaiknya diarahkan untuk menilai realisasi pembangunan. Apa yang sudah dibuat Pemerintah Desa selama ini dengan jumlah anggaran sebesar itu?

Kalau pembangunan infrastruktur, fisiknya seperti apa ? Fiktif atau real ? Jika anggaran itu diserap untuk pemberdayaan masyarakat, maka lomba desa diarahkan untuk mengecek semua itu.

Dan kalau penilaian itu hanya dengan model menggali informasi pembangunan dari Kepala Desa, aparat dan kalangan pendukung, tanpa langsung meninjau ke titik lokasi dan sasaran program, terlebih lagi jika tidak melibatkan lawan politik kepala desa, niscaya informasi yang diperoleh dipastikan hanya yang baik-baik saja. Masih jauh lebih objektif jika penilaian itu bersifat diam-diam atau inspeksi mendadak

Lomba desa yang dilaksanakan selama ini hanya memacu semangat Pemerintah dan warga desa untuk menjuarai lomba dengan cara mendandani desa. Bukan menggenjot semangat pemerintah desa untuk benar-benar meningkatkan kualitas  kinerja aparat, kualitas pelayanan, kualitas kesejahteraan warga dan sarana desa. Pasca lomba semangat membangun desa kembali kendur, apalagi kalau tidak juara. Akibatnya wajah desa perlahan-lahan kembali suram sebagaimana aslinya.

Jika tujuan lomba untuk mengukur efektifitas pembangunan dan kemajuan suatu desa, maka cara terbaik bukan dengan model penilaian ala lomba desa yang selama ini terjadi. Perlu inovasi yang lebih efektif yang hasilnya lebih obyektif. Yang melihat kondisi desa dalam keadaan normal, seperti pemandangan se hari-hari.

Bagaimana administrasi dikelolah, seperti apa pelayanan aparatnya, bagaimana pembangunan direncanakan dan dilaksanakan, bagaimana dampak pembangunan terhadap kesejahteraan warga, dan lain-lain. Sehingga celah kelemahan desa tidak di tutup-tutupi, level kemajuannya murni terlihat, dan solusi untuk mempercepat pembangunannya lebih mudah ditemukan.

Desa Ponggo di Jawa Tengah yang viral di media sosial bisa dijadikan patron. Salah satu potret desa yang bersolek bukan karena ada lomba. Tapi itu adalah capaian kemajuan yang levelnya sudah sangat tinggi. Wajah Ponggo saat ini sudah jadi pemandangan sehari-hari bukan untuk menyambut kedatangan tim penilai lomba desa.

Semangat pembangunannya benar-benar untuk kesejahteraan bersama. Menjadi unggul karena kapasitas dan sumber daya pemerintahnya memang di atas rata-rata. Anggaran desa benar-benar dikelolah maksimal untuk kemajuan desa. Bukan untuk lomba. Mau ada lomba atau tidak mereka selalu bersolek.

Menilai desa dalam keadaan sudah terpoles karena ikut lomba, sama halnya melihat pengantin perempuan duduk di pelaminan. Mungkin terlihat lebih cantik, tetapi ketahuilah yang terlihat itu sebetulnya topeng. Wajah asli ada di balik make up tebalnya.

Bukankah kecantikan asli perempuan tertutupi kala berdandan, justru nampak saat baru bangun tidur. Nah, bolehkah keadaan desa dinilai seperti itu. Saat semuanya belum dibenahi mendadak. Asli Loh ?