Ribuan demonstran berkumpul di depan gedung parlemen. Mereka berharap hukum dibentuk dengan asumsi keadilan dapat ditegakkan. Namun para wakil rakyat masih kikuk dalam merumuskan hukum. Entah dikarenakan kedangkalan informasi atau ada keinginan lain yang harus diperjuangkan.
Sejarah mencatat bahwa negara demokrasi adalah idealnya suatu bangsa. Bangsa-bangsa yang dibangun atas diskusi panjang dan dengan pertikaian argumentasi tingkat tinggi memberi harapan agar utopia negeri impian terwujud. Semua dibangun atas dorongan besar sebuah harapan.
Tapi, apakah tepat landasan pikiran yang digunakan dalam merumuskan segala hukum yang dibanggakan tersebut? Jika hasil yang diciptakan selalu saja memiliki permasalahan, tentu saja ada landasan berpikir yang salah pijak. Terpengaruh doktrin lalu berdiri di atas gumpalan asap kelabu.
Kebebasan adalah kunci dari semua hukum. Sejatinya hukum harus dibangun dengan dasar kebebasan yang jelas. Jika kebebasan yang dipahami saat ini tidak sesuai, maka hasil yang diperoleh tidak tepat pada makna yang seharusnya.
Kebebasan bukanlah tanpa batas, melayang mengambang sekehendak subjek. Namun, kebebasan akan benar pada posisinya jika ada batasan yang dibangun untuk memungkinkan kebebasan itu hidup.
Kebebasan bukanlah produk eksistensi manusia. Namun kebebasan itu adalah bias dari keberadaan manusia itu sendiri, seperti ruang dan waktu yang menjadi bias dari adanya semesta. Ruang dan waktu berkerja dengan prinsip-prinsip dasar yang niscaya. Begitu juga kebebasan, bekerja dengan prinsip-prinsip keniscayaan yang dimilikinya.
Selama ini, kebebasan itu tidak dipandang sebagaimana halnya ruang dan waktu yang tanpa pernah mengganggu gugat aktivitas keduanya. Selalu menjadikan keduanya sebagai objek untuk dipahami kegiatannya.
Kebebasan seharusnya dipahami seperti itu. Kebebasan dipelajari mekanisme alamiahnya agar mampu memahami sehingga dapat mengambil manfaat ilmiah darinya. Memanfaatkan kebebasan seperti selama ini bagaimana ruang dan waktu dimanfaatkan, untuk membantu kehidupan manusia agar tumbuh dan berkembang.
Memandang kebebasan memang tidak terlalu jelas pada kehidupan ini, tidak sejelas bagaimana ruang memberikan wadah bagi jasad. Tidak sejelas waktu meninggalkan kesan pada kisah. Tapi kebebasan memberikan rasa pada yang bernapas. Menimbulkan sebab bagi yang mati. Semua suara yang terdengar adalah bukti dari kebebasan.
Kehadiran kebebasan lebih besar pengaruhnya terhadap yang berpikir. Bukan sekadar menunjukkan kapan harus bangun seperti yang waktu tunjukkan akan manfaat. Atau seberapa lebar kasur yang digelar seperti ruang tengah hadirkan bagi jiwa yang lelah.
Kebebasan mampu memberikan napas bagi yang terjajah. Kebebasan juga mampu menunjukkan siapa yang jahat dalam sejarah. Kebebasan hadir untuk menunjukkan siapakah diri sebenarnya.
Memanfaatkan kebebasan bukan berarti menggunakan kebebasan itu dengan sebebas-bebasnya. Memanfaatkan kebebasan harus memahami karakteristik dari kebebasan itu sendiri. Seperti halnya memahami waktu dengan menentukan gerak benda sebagai satuan hitung. Waktu yang digunakan tanpa alasan adalah sia-sia dan kebebasan yang digunakan tanpa pemahaman adalah binatang.
Kebebasan harus dipahami sebagai sebuah variabel. Perbedaan antara kebebasan satu dan lainnya sangatlah jelas. Misalnya, seseorang bebas berbicara, baik dengan lantang atau sekeras-kerasnya. Namun, di lain sisi, ada manusia yang bebas untuk menikmati kesunyian.
Jika mereka berdua bersama dalam ruang dan waktu yang bersamaan, maka kebebasan yang mereka miliki akan saling bersinggungan. Kebebasan yang bersinggungan adalah kebebasan yang hilang akan esensi kebebasan sesungguhnya. Tidak ada kebebasan jika masih ada kebebasan lain.
Contoh lain seperti halnya suatu negeri dengan setumpuk aturan pemerintah dengan dalih mengorganisasi rakyatnya. Dalih mengorganisasi pun sudah lepas dari menghargai akan kebebasan manusia. Bukannya menimbulkan sebuah aturan yang sesuai dengan kemanusiaan, melainkan merenggut kebebasan manusia itu sendiri. Akhirnya, pelanggaran HAM menjadi momok yang menakutkan tanpa pernah tahu kapan usainya.
Lalu bagaimana untuk menyikapi kebebasan yang telah direnggut oleh kebebasan lain dan mengembalikan kebebasan tersebut agar kebebasan itu dapat berjalan dengan semestinya?
Sebagai makhluk hidup sosial dan memiliki akal pikiran, tentu manusia mempunyai instrumen dan perangkat pikiran yang digunakan untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Penggunaan instrumen yang tepat akan menghasilkan produk yang memiliki manfaat bagi kehidupan.
Ibarat sebuah bangun datar yang digambar di atas bidang kertas, bangun datar tersebut memiliki ruang yang bebas untuk diisi di dalamnya. Jika dua bangun datar itu saling bertumpuk, maka seharusnya irisan muncul untuk mempertegas identitas bangun tersebut. Jika kedua bangun itu dipaksa untuk memiliki isi yang sama, maka yang terjadi bukanlah dua bangun datar yang berbeda, melainkan hanya satu bangun datar yang baru.
Asumsi tersebut menggambarkan jika suatu negeri yang memiliki banyak identitas dan semua identitas itu saling bertumpuk, maka hukum harus mampu memunculkan irisan di antara identitas tersebut. Agar jelas bahwa identitas tersebut masih merupakan suatu identitas , bukan suatu kesatuan dari keseluruhan identitas.
Ketika hukum berupaya menyatukan identitas untuk menjadi suatu kesatuan, hukum itu telah merampas kebebasan dengan menghilangkan identitas. Hukum itu telah cacat dan hilang fungsi. Kebebasan yang sejatinya adalah anugerah diabaikan begitu saja dengan atas nama keteraturan.
Kebebasan sebagai sebuah anugerah bukanlah klaim semata. Jika peradaban manusia saat ini salah memahami kebebasan yang diberikan atau mengabaikan kebebasan itu, tidak berguna semua fungsi dari pengetahuan yang dikembangkan. Pengetahuan itu hanya akan menjadi milik sekelompok orang yang tidak akan menghargai bagaimana sebuah napas pada tubuh manusia.
Bisa dilihat dari perjalanan peradaban yang dimulai dengan kekuasaan, penindasan, perbudakan, pemberontakan, dan peperangan. Semuanya mengandung risalah memilukan dalam histori tumbuh kembang umat manusia. Menganggap membawa keberkahan untuk kehidupan dengan mengorbankan kehidupan lain adalah suatu kenaifan pola pikir.
Sosial, ekonomi, bahkan agama menjadi latar belakang pertikaian dan tumpah darah. Apakah masyarakat modern masih berjuang dengan senjata untuk mendapatkan kebebasan jika kebebasan itu sebagai anugerah kehidupan?