Barangkali sudah merupakan budaya dominan masa kini untuk menyebut bahwa radikalisme adalah sesuatu yang menyimpang untuk diterapkan pada kenyataan. Seperti pada kampus-kampus pada umumnya, yang secara radikal menugaskan ‘curut-curut baru’ untuk membuat tulisan bahwa radikalisme tidak pantas untuk ‘disembah’.
Tentu pengetahuan ‘curut-curut baru’ tentang radikalisme tidak lepas dari arus media mainstream. Sehingga, mereka akan langsung menulis bahwa.“kita harus bersikap anti radikalisme, kita harus melawan radikalisme” dan lain sebagainya. Bila begitu, bukankah itu berarti sikap ‘radikal terhadap radikalisme’?
Mari kita bersama-sama mengheningkan cipta sejenak, mengenang jasa pahlawan yang dengan keradikalannya berhasil membuahkan apa yang kita anggap sebagai kemerdekaan. Mari kita bersama-sama mengheningkan cipta sejenak, untuk mencoba merekonstruksi ulang pikiran kita mengenai apa yang patut kita anggap sebagai radikal, apa yang patut kita anggap sebagai ugal-ugalan, apa yang tepat kita anggap sebagai kekerasan.
Mari kita bersama-sama mengheningkan cipta sejenak, untuk merenung secara radikal, berpikir secara radikal, menemukan makna secara radikal, sehingga kita tidak terombang-ambing arus mainstream mengenai radikal.
Barangkali dalam lingkup yang lebih sempit tentang radikalisme, dalam lingkup radikalisme yang dipersamakan dengan terorisme, kita pun dapat mempelajari seluk-beluknya. Seperti, misal, bahwa sebenarnya radikalisme yang mereka lakukan adalah sebagai akibat dari radikalisme kapitalis yang mengawu-awu di bumi manusia. Mereka termarginalkan, mereka tertindas, lalu secara reflek mereka menyambut injakan penjajah itu dengan sambit-sambit yang dilemparkan.
Entah itu hasilnya ‘masuk pak eko’ atau ‘gagal pak eko’, yang pasti, mereka secara nurani berhak untuk membalas karena mereka punya harga diri. Dan itu hanya satu contoh dari beragam kenyataan yang terjadi.
Yang dilakukan Diponegoro pada saat itu, barangkali, bila kita hidup di masa itu, kita akan temukan selebaran-selebaran yang menyatakan bahwa Diponegoro adalah sosok yang radikal. Atau Tuanku Imam Bonjol, bukan tidak mungkin ia akan dicap sebagai radikal oleh kolonialis saat itu. Atau Tan Malaka, atau Soekarno, atau Minke.
Maka kita perlu mempertanyakan, apakah tugas yang diberikan kampus itu valid secara intelektual, hehehe, gadeng, bercanda. Meski, bercanda sejak dulu adalah ekspresi radikal yang hanya bisa dilakukan saat dinding-dinding kebekuan terlalu sistematis untuk dilawan. Bahkan, salah satu lembaga negara kita pun membuat kompetisi untuk ‘menganjing-anjingi’ lembaga itu sendiri. Lucu?
Mari berdansa di ruang pikir kita, menari-nari dengan pertanyaan-pertanyaan, memimpikan kehidupan yang kita keluhkan, lalu ungkapkanlah dengan kata, dengan rasa, dengan nada yang tak bisa ditafsirkan, dengan gerak yang tak bisa diperkirakan. Mungkin, hanya dengan itu kita bisa bermain dengan radikal, bermain dengan keradikalan, atau bersikap radikal untuk membuatmu senang. Kamu. Iya, kamu.