Hampir tiga puluh tahun lamanya aku sudah tidak lagi melihat keceriaannya yang dulu pernah ada. Rasanya baru saja aku pergi bersamanya, bercanda dan tertawa dengannya. Ocehan dan jeritannya yang tak pernah bisa ku lupa.
Kakakku sayang, begitu cepat kau tinggalkan dunia ini. Bersyukur aku, ia pernah dilahirkan oleh Ibu walau waktunya hanya sebentar saja. Ia juga salah satu anugerah terindah yang dirasakan Ibu dan Ayah. Karena engkau anak sulung yang mereka harapkan. Tetapi, takdir sudah mencatatnya, dan ia pun harus mendahului kami.
Dalam guritan kertas ingin ku untai cerita indah saat-saat bersamanya waktu itu, untuk dapat melepas rasa rinduku saat ini. Beberapa lembar kertas pun ku robek untuk ku jadikan catatan indah itu sebagai kenangan dalam buku harianku, bahwa aku pernah mempunyai seorang kakak yang sangat aku sayang.
Tak pernah aku menyangka, dan menduga sama sekali, kakakku tercinta merasakan sakit yang cukup lama. Hampir dua tahun lamanya, tubuhnya direnggut oleh penyakit kanker, dan tipus yang disebut dengan penyakit komplikasi.
Ayah, Ibu, dan semua keluarga kesana-kemari mencoba berbagai alternatif yang ada, agar penyakitnya dapat segera disembuhkan. Namun aku sempat mendengar, bahwa penyakit komplikasi itu belum pernah ada penyembuhnya.
Didalam doaku, tak pernah sekalipun aku tinggalkan untuk mendo’akan akan kesembuhannya. Selalu ku teteskan air mata ini dihadap Nya, untuk memohon dengan sangat agar DIA melindungi kakakku tersayang. Aku juga tidak sanggup melihat wajah ayah dan Ibu yang harus menghadapi kenyataan itu.
Mereka pun tetap bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin demi kesembuhan puteri tercinta mereka. Sudah tak bisa ku bayangkan lagi, seberapa besar uang yang mereka keluarkan untuk membiayai perawatan kakakku. Berpindah-pindah rumah sakit pun harus ia rasakan. Hanya bisa tidur dan berbaring saja ditemani dengan suntikan imfus. Semakin hari pun tubuhnya semakin habis dan tampak terlihat kurus. Hanya perutnya saja yang terlihat gembung karna adanya air imfus. Aku pun sudah tidak sanggup lagi melihatnya.
Aku hanya mampu berdo’a kepada Tuhan. Karna Tuhan juga sudah merencanakan segala sesuatunya dalam cobaan yang kami hadapi. Disaat itulah kami semua harus belajar Ikhlas menerima dengan lapang dada. Dan aku sangat yakin Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kesanggupan manusia.
Penantian panjang setelah ayah dan ibuku menikah lahirlah seorang puteri yang cantik, itulah yang sangat diharapkan oleh Ayah dan Ibu. Tepat pada tanggal 31 Juni 1977, Ia lahir dengan suara jeritannya yang sangat membanggakan orang yang mendengarnya.
Ayah dan ibuku pun senang sekali mempunyai seorang puteri yang nantinya membawa nama panggilan ayah dan ibuku. Dan semua itu sudah aku bayangkan, kelak Ia dewasa akan membantu Ayah bekerja, Namun, kami harus menerima kenyataan. Tuhan berkata “ tidak”. Dia hanya menitipkan kakakku dua puluh tahun saja.
Umurnya yang masih muda, 22 tahun harus menghadapi penyakit komplikasi. Dan akhirnya Tuhan kembali menguji keluarga kami. 19 Agustus 1999, Kakakku tercinta menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Ibu.
Ketika itu Ibu sedang menemani kakakku dirumah . Tak pernah dirasakan Ibu, bahwa malam itu adalah hari terakhir ia memeluk puteri tercintanya. Dengan nyanyian kasih sayang seorang Ibu, kakakku pun tertidur pulas untuk selama-lamanya.
Hingga tiba waktu Subuh, Ibu sama sekali tidak percaya, bahwa semua itu kenyataan. Ibu merasakan kedekatan yang begitu hangat saat ia mendongeng dalam tidurnya. Dan ternyata senyuman kakak itu tanda dan salam perpisahan terakhir untuk Ibu.
Ya Tuhan, begitu beratkah cobaan ini. Tak sanggup aku melihat hati kedua orang tuaku hancur. Anak yang mereka dambakan dan mereka harapkan harus pergi secepat itu. Dikala usianya yang masih muda mengharuskan untuk melajutkan pendidikan dan masa depannya, tetapi Takdir Mu sudah berkata tidak. Apa lagi yang harus aku bantah. Semua ini akan aku Ikhlaskan dan mencoba tuk tetap tegar serta mengembalikan semangat kedua orang tuaku.
Terkejut sekali keluarga dirumah yang menunggu pada waktu itu. Pagi itu juga rumah pun ramai dikunjungi banyak orang. Tak setetes air mata pun berhenti pada wajah ibu. Air mata pun terus membanjiri. Ia sangat, sangat merasakan kehilangan. Belum sempat rasanya melihat dia melajutkan pendidikannya sampai kepada pernikahan Engkau telah memanggilnya.
Ketika aku harus mencium serta memeluknya. Tetap ku coba tuk tegar menghadapi kenyataan pahit ini. Inilah saatnya aku menghantarkan jasad kakakku tercinta ditempat terakhir yang akan menemaninya dengan penuh senyuman. Walau sebenarnya hati ini sudah menangis dan sakit.
Namun ku coba untuk tetap bangkit membawa kedua orang tuaku tersenyum kembali serta mengajarkan kepada mereka tentang Ilmu KeIkhlasan. Agar kakak pun kan pergi dengan tenang dan wajah yang manis. Semoga Allah menempatkannya ditempat yang sebaik-baiknya.
Sampai detik ini juga, aku merasakan rindu yang sangat dalam. Ketika aku harus menyendiri, diam membisu, ku ukir kata-kata indah untuknya disana. Sempat aku menangis didalam kerinduan ini. Tak bisa ku hindari rasa rindu yang terus menghantui ini, aku butuh kembali ocehan dan canda tawanya saat ini. Kakakku yang nomor satu.
Aku hanya ingin dia menjadi yang terbaik dalam keluarga. Tetapi Tuhan sudah mengambilnya kembali. Aku ambil segala hikmah dengan semua cobaan yang kuterima. Bahwa kita semua manusia yang lemah. Kita diciptakan oleh Nya, dan semua akan kembali kepada Nya jua.