Saya, sebagai perempuan agak bergembira dan cukup bangga dengan hadirnya kelompok perempuan yang turut meramaikan politik hari ini. Jargonnya cukup menantang: menyuarakan kepentingan kaum perempuan, pembela hak perempuan, perempuan menjadi terdepan, dan bla bla bla..
Paling tidak saya menaruh harapan pada mereka untuk benar-benar bisa menjadi affirmative action, dimana selama ini perempuan menjadi kaum yang melulu taken for granted pada apa-apa keputusan elite, dan menjadi kaum marginal dalam pertarungan politik kita (baca: patriarkal).
Bahkan, feminis Perancis Simone de Beavoiur dengan sinis “men-cap” perempuan sebagai the second sex dimana mereka konon tidak memiliki kapasitas di ranah publik (red: politik) dan sekedar diberi ‘jatah’ di ranah domestik. Lantas, jangan heran jika banyak perempuan yang terjebak dalam homo videns cyrcle, dalam istilah Giovanni Sartoni sebagai manusia “penonton”.
Sejak lama, perempuan memang tak punya akses ke ruang politik. Maka, tidak berlebihan jika saya turut bergembira dengan hadirnya para politisi perempuan yang konon menyuarakan hak-hak perempuan. Mengingat jauh di abad sebelumnya, beberapa nama seperti Elizabeth Cady Stanton, Susan B. Anthony dan Marry Wollstonecraft bersusah payah melakukan aksi long march dan demonstrasi untuk mendobrak perubahan sistem sosial agar perempuan diperbolehkan ikut serta memilih dalam pemilu. Ini gila! Bahkan dalam memilih pun perempuan tak punya andil.
Bergembiralah perempuan hari ini. Kita memang patut merayakan kemenangan karena bukan saja menjadi pemilih dalam pemilu, tapi juga dapat berpartisipasi dalam politik praktis. Ini yang kemudian menjadi semangat munculnya group representation dalam lembaga perwakilan.
Gagasan representasi yang pertama kali dikenalkan oleh Irish Marion Young sebagai jalan untuk mengakomodai kepentingan kelompok-kelompok yang selama ini belum tersalurkan. Bahwa a democratic public should provide mechanisms for the effective recognition and representation of the distinct voices and perspectives of those of its constituent groups that are oppressed or disadvantaged.”
Konteks ini, representasi perempuan dalam kancah politik kiranya bisa memberi peluang bargaining power untuk mengakomodasi kepentingannya. Perempuan yang terlibat dalam kancah politik kiranya mampu menyelesaillan persoalan perempuan yang belum selesai. Dan isu mengenai permasalah perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, hak-hak reproduksi, double burden, dan stereotype harus menjadi agenda yang krusial.
Mari rayakanlah kemenangan perempuan hari ini. Sebab, politik hari ini sudah memberi “jatah” pada perempuan. Munculnya kebijakan mengenai partisipasi perempuan dengan jatah kuota 30%. Ya, paling tidak munculnya kuota 30% bagi calon legislative perempuan merupakan suatu intervensi berupa kebijakan agar perempuan masuk dalam jajaran politik.
Dengan menempuh jalan yang panjang affirmative action ini kemudian disahkan dalam UU Pemilu, pasal 65 ayat 1 tahun 2003. Walaupun pada prakteknya beberapa partai dapat memenuhi ketentuan ini, tapi tampak seperti sekedar formalitas saja, dan mereka (politisi perempuan) berada pada nomor urut sepatu.
Secara kualitatif, partipasi dan akses perempuan pada politik di Indonesia masih rendah, tercatat di pemilu tahun 2004 hanya berkisar 8% kemudian meningkat menjadi 18% di pemilu 2009 hingga meningkat beberapa persen saja di pemilu 2014. Ini memang masih tertinggal jauh dengan Swedia yang sudah mencapai 43% partipasi perempuan dalam kancah politik atau di Belanda yang mencapai 36%.
Tapi, siapakah yang tidak muak dengan kamuflase yang disodorkan oleh angka-angka. Silahkan saja debat sampai ubanan menyoal berapa angka partisipasi perempuan dalam politik. Ya, anggap saja kuota 30% itu menjadi harapan baru, jalan menuju cita-cita yang selama ini berserakan di baliho dan layar televisi kita.
Politik hari ini memberi “jatah” pada perempuan, itu benar. Tapi, kemunculan mereka belum tentu sebagai group representation dalam konsep ideal Young. Diam-diam saya tengah menaruh harapan sekaligus kecemasan pada mereka perempuan di dewan-dewan.
Tak perlu gumun, toh sudah jadi rahasia umum bahwa arena partai politik dan parlemen ini bukanlah tempat yang bisa dimasuki secara gratis oleh siapapun -apalagi, perempuan!- karena banyak dibalut oleh berbagai konflik kepentingan dan perilaku diskriminatif antarpolitisi.
Juga, angka partisipasi yang rendah ini akibat dari kebijakan parpol sangat minim menggunggulkan kader perempuan untuk maju dalam calon legislative. Ini juga yang terjadi baru-baru di Pilkada Cirebon dimana salah satu politisi perempuan tidak dapat restu dari parpolnya untuk maju dalam calon pemilihan bupati. Ini hanya satu contoh.
Perempuan yang terlibat dalam kancah politik kiranya mmapu menyelesaillan persolan perempuan yang belum selesai. Perempuan dalam politik mestinya membawa keputusan dan tindakan yang melindungi ketertindasan perempuan. Maka, idealnya isu mengenai permasalah perempuan harus dijadikan agenda yang krusial.
Tapi, tunggu dulu. Harapan dan kegembiraan saya pada politisi perempuan seketika menjadi redup saat menghadapi realitas kongkret figure politisi perempuan Indonesia.
Sebagai contoh, Megawati yang dinobatkan sebagai Presiden perempuan pertama di Indonesia, sepanjang karir politiknya tidak mempunyai sikap yang jelas dalam menangani sektor buruh perempuan (soal perlindungan buruh perempuan domestik atau migran) atau soal lemahnya posisi perempuan dalam hukum dan politik Indonesia.
Lebih dari itu, jalan panjang yang di tempuh untuk mendapatkan akses politik bagi kaum perempuan justru menjadi kotor oleh ulah mereka sendiri. Ini seperti mencederasi perjuangan kaum perempuan yang 'ngotot' menyoal partisipasi politik perempuan.
Yang tercatat saja, beberapa kasus politisi perempuan seperti Sri Mulyani, Siti Hartati Murdaya, Miranda Goeltom, Nunun Nurbaeti, Wa Ode Nurhayati, Angelina Sondakh hingga Ratu Atut. Alih-alih menjadi perwakilan bagi suara perempuan, kebanyakan dari mereka justru terseret kasus korupsi dan tidak kredibilitas dalam menjalankan amanat rakyat.
Dari kesemuanya, saya tetiba pesimis dan tidak menaruh banyak harapan lagi pada politisi perempuan. Ini menjadi jauh menyakitkan jika saya tengok lagi ke belakang bagaimana proses panjang affirmative action dan group representation yang menjadi impian bagi kaum perempuan.
Baiklah, anggap saja beberapa nama yang disebutkan hanya oknum politisi yang kebetulan perempuan. Sisanya bagaimana? Tentu saja kita masih boleh menaruh harapan sekaligus kecemasan. Para politisi perempuan kita boleh terlihat sibuk dengan banyak urusan yang entah.
Tapi, permasalahan seperti KDRT, woman trafficking, perkosaan, hak-hak reproduksi, dan sederet kasus kekerasan perempuan harus menjadi pembahasan serius. Bukan sekadar jargon! Sebab, betapa sialnya jika partisipasi politik perempuan yang telah ditempuh dengan susah payah sekedar menjadi ritual politik—yang tidak lebih dari perayaan musiman tanpa kemenangan.
Mari kita renungkan dan bertanya: apakah benar gerakan perempuan kita sebagai suatu keharusan ataukah hanya membuang-buang tenaga dan waktu kolektif kita?
#LombaEsaiPolitk