Dalam tulisannya "Mengapa Liberalisme?", Maman Suratman membuat dua premis utama, yaitu peran pemerintah dan pendidikan liberal dalam kerangka liberalisme. Saya tertarik dengan premis pertama di mana Maman membuat konklusi atas pembatasan pemerintah dalam penegakan hukum, pusat keamanan, dan kehidupan perekonomian. Namun, saya hanya memfokuskan pembahasan mengenai ekonomi. 

Tiga peran pemerintah yang ditulis Maman senada dengan tulisan Adam Smith di Wealth of Nation, yaitu: (1) tugas melindungi masyarakat dari serbuan negara lain, (2) tugas melindungi sejauh mungkin setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan dan opresi yang dilakukan warga lain, (3) tugas mengadakan dan merawat prasarana publik serta berbagai lembaga publik yang ada bukan hanya bagi kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Permasalahannya, tiga tugas krusial di atas tidak membuat peran pemerintah menjadi minim dan terbatas. Sebaliknya, lingkup di atas amat luas dan menyentuh tataran esensial kehidupan bermasyarakat. 

Mengenai ekonomi, kerangka ekonomi Adam Smith sebenarnya diilhami oleh Filsafat Alam, khususnya hukum gravitasi Newton. Tidak mengherankan, mengingat Adam Smith hidup di era Revolusi Industri di mana kerangka pikir ilmuwan dan filosof mulai menjauh dari kerangka pikir Abad Pertengahan yang bercampur-baur dengan takhayul. Di Era ini tumbuh subur Revolusi Intelektual sebagai perlawanan atas kerangka pikir Abad Pertengahan.

Adam Smith mengagumi Newton karena rumusan hukum gravitasinya dapat menjelaskan keteraturan tatanan alam semesta. Ia merujuk hukum gravitasi Newton untuk menemukan hukum gravitasi ekonomi.

Dalam salah satu bagian dalam The Wealth of Nation, ia menemukan dalil bagi keteraturan tatanan sosial, di mana menurutnya usaha alamiah tiap orang untuk memperbaiki kondisinya masing-masing jika dilakukan dalam kebebasan dan rasa aman akan membawa masyarakat menuju kemakmuran. 

Dalam bahasa yang lain, menurutnya kesejahteraan sosial dicapai tanpa kesengajaan. Inilah logika dasar dari Invisible Hand, di mana orang-orang menggunakan modal mereka untuk mengejar kepentingannya sendiri, bukan sebagai rasa solidaritas dan kepedulian terhadap orang lain.

Tidak salah memang, contohnya jika saya membeli sebuah barang di toko A, maka saya secara tidak sengaja akan membuat petugas di toko itu tetap digaji dan bekerja, meski itu bukan tujuan saya.

Namun, hal ini menimbulkan keberatan saya atas posisi moral dalam ekonomi pasar bebas. Saya memiliki contoh lain: seorang pengusaha ingin membuka industri di lahan perkebunan dengan menyuap polisi dan aparat lainnya demi kelancaran bisnis tersebut.

Beberapa waktu kemudian, terjadi kebakaran hutan dan menewaskan penduduk sekitar akibat pengabaian lingkungan, meski itu bukan tujuan saya. Lantas, dasar apa yang menentukan pengambil kebijakan dalam mengeluarkan kebijakannya sehingga lahir masyarakat sejahtera?

Maman, dalam salah satu kalimatnya menuliskan, "Ketika mereka mandiri dalam menentukan kebijakan apa yang baik bagi kehidupan perekonomiannya, maka yang lahir adalah masyarakat sejahtera. Dan kondisi ini tidak akan mungkin bisa terwujud tanpa dengan jalan kebebasan yang meniscayakan adanya kompetisi yang saling mendewasakan."

Kompetisi seperti apakah yang dapat saling mendewasakan? Karena jika ditilik lebih jauh, proses kompetisi ditentukan oleh daya-beli dan daya-jual. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah kekuasaan akan menjadi daya-tawar dalam proses ini. Saya, misalnya, sebagai buruh memiliki daya-tawar lebih rendah dari manajer perusahaan saya bekerja.

Selanjutnya, Maman menulis, "Tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, semua sama dan setara di depan hukum (equality before law)." Realitanya tidak demikian. Orang-orang dengan kapital besar ternyata dapat memanipulasi hukum yang berarti kesetaraan di depan hukum menjadi semu. Ini adalah konsekuensi dari ekonomi pasar bebas yang mendasarkan diri pada Invisible Hand.

Konsep Invisible Hand ini sendiri, maka, tidak terlepas dari persoalan lain. Pengejaran kepentingan-diri dalam sistem ekonomi pasar bebas tidak merumuskan bagaimana jalan menuju kesejahteraan sosial karena Adam Smith percaya hal itu akan otomatis terjadi. 

Mengenai efek-efek negatif sistem teokrasi di Abad Pertengahan---penjajahan atas nama Tuhan dan agama---seperti yang ditulis Maman, saat ini muncul kembali dalam baju berbeda. Atas nama kepentingan kapital dan industri, penjajahan masih saja terjadi, bahkan saat negara dan agama sudah tidak lagi bercampur baur.

Jurgen Habermas, salah satu tokoh yang terkenal kritis, mengatakan bahwa masyarakat industri saat ini terlalu mengagungkan positivisme karena membantu manusia membentuk peradaban yang maju. Pemisahan antara teori dengan praxis yang diajukan positivisme berdampak kepada netralitas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dianggap apabila memiliki kaitan dengan ilmu-ilmu empiris. 

Herbert Marcuse, dalam salah satu karyanya, One-Dimensional Man juga mengambil posisi kritis atas masyarakat industri. Teknologi yang pada mulanya menjadi alat pembantu manusia, justru memperbudak manusia itu sendiri karena sifat 'totalitarian' teknologi merasuk hingga jantung kehidupan manusia.

Pada masyarakat ini pula, orang-orang menemukan 'jiwa' mereka pada otomotif, pakaian, bahkan peralatan dapur, yang, sialnya, preferensi mereka atas barang-barang di atas juga dibentuk oleh industri itu sendiri.

Jika Maman mengatakan, "Hampir tak ada celah yang saya temukan untuk menantangnya [liberalisme]," justru celah itu masih ada di dalamnya.