Feminis tidak selamanya adalah perempuan. Jiwa feminis bisa tumbuh di siapa pun, termasuk kaum laki-laki. Feminis adalah seseorang yang dengan gigih dan serius ikut andil dalam pembelaan dan perjuangan terhadap tegaknya nilai-nilai keadilan dan kesetaraan bagi kaum perempuan.
Adalah Prof. Yunahar Ilyas, seorang doktor dalam bidang Ilmu Agama Islam jebolan IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakart 2004. Ia mendapatkan gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufasir Indonesia Modern (Hamka dan Hasbi ash-Shiddiqqy)” di bawah bimbingan Prof. Said Agil Husain al-Munawwar dan Dr. Alef Theria Wasim, dan diuji oleh Prof. M. Amin Abdullah (Ketua), Prof. Nashruddin Baidan, Dr. Irwan Abdullah, serta Dr. Syamsul Anwar.
Secara umum, disertasi ini berusaha untuk mengeksplorasi dua pemikir besar mufasir di Indonesia dengan memusatkan kajiannya pada kitab tafsirnya, yakni Hamka dengan Tafsir al-Azhar-nya dan Hasbi ash-Shiddiqqy dengan Tafsir an-Nuur-nya. Prof. Yunahar Ilyas secara elaboratif berusaha menggali pemikiran feminisme Islam kedua tokoh tersebut dan berusaha melakukan rekonstruksi paradigma penafsiran sekaligus diskursus kajian feminisme yang khas bagi konteks keindonesiaan.
Disertasi ini memiliki ketebalan 427 halaman dengan referensi kepustakaan berjumlah 114 buah, terdiri dari berbagai literatur jurnal dan buku berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia. Menurutnya, disertasinya ini dimaksudkan sebagai kerja intelektual yang serius terhadap upaya penggalian paradigma pemikiran tentang basis penafsiran Alquran Hamka dan ash-Shiddiqqy terhadap ayat-ayat yang secara literal terkesan diskriminatif.
Tema-tema Kajian Feminisme
Prof. Yunahar Ilyas berusaha menggali akar tradisi pemikiran feminisme Islam dari khazanah keindonesiaan. Pasalnya, selama ini, kajian feminisme, baik dalam konteks ilmu-ilmu sosial maupun studi Islam, justru didominasi oleh keilmuan dan pengalaman Barat dan juga Timur Tengah. Ini menyebabkan kajian feminisme Islam di Indonesia terasa kurang menyentuh konteks permasalahan.
Problem mengambangnya diskursus feminisme ini, oleh Prof. Yunahar Ilyas, berusaha dijembatani dan dibumikan melalui upaya-upaya serius dalam merumuskan paradigma dan pendekatan interdisipliner terhadap kajian feminisme Islam di Indonesia.
Secara mendalam, Prof. Yunahar Ilyas memusatkan kajiannya pada tema-tema sensitif dalam diskursus kajian feminis Muslim yang dinilai diskriminatif terhadap posisi perempuan, baik pada wilayah publik maupun domestik. Isu-isu seputar kesetaraan dalam penciptaan, kesetaraan dalam hak kenabian, kesetaraan dalam perkawinan (seperti: perwalian, perceraian, poligami, perkawinan beda agama, dan kepemimpinan keluarga), kesetaraan dalam kewarisan, dan kesetaraan dalam peran publik.
Sebagaimana dituliskan pada disertasinya, upaya penggalian ini memanfaatkan perangkat metodologis yang cukup kompleks, yakni menggabungkan pendekatan tafsir-hermeneutis dan teologis-filosofis yang dipadukan dengan logika berpikir deduktif, induktif, dan komparatif. Perangkat-perangkat ini digunakan sebagai basis unit analisis untuk membaca pemikiran kedua mufasir tersebut dan menemukan penjelasan yang rasional-progresif terhadap beberapa penafsiran ayat-ayat yang terkesan diskriminatif.
Secara lebih argumentatif, Yunahar Ilyas melakukan studi komparatif kedua pemikiran tersebut dengan para mufasir klasik dan pemikir feminis Muslim lainnya. Pekerjaan ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan upaya penemuan perbedaan dan kesatuan pandang dalam mengkonstruksi dunia realitas perempuan melalui produk penafsiran.
Pola ini menjadi sangat penting dalam kerangka mengungkap basis epistemologis kedua mufasir tersebut. Melalui upaya perbandingan, bukan pertandingan, Prof. Yunahar Ilyas melihat bahwa ada semacam pergeseran paradigma yang cukup signifikan di mana hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur masyarakat.
Pemetaan Diskursus Feminisme
Melalui analisis kritis terhadap pemikiran Hamka dan ash-Shiddiqy, Prof. Yunahar Ilyas menyimpulkan bahwa, baik Hamka maupun ash-Shiddiqqy, saat menafsirkan ayat-ayat tentang perempuan, keduanya sama-sama memiliki kesatuan cara pandang yang jernih, bebas dari pandangan diskriminatif dan misoginis terhadap perempuan.
Kendati demikian, Prof. Yunahar Ilyas menggarisbawahi bahwa keduanya pun terkadang masih terjebak pada argumentasi apologis dalam membela perempuan sehingga tidak semua pandangan mereka tentang perempuan memiliki basis argumentasi rasional dan progresif.
Prof. Yunahar Ilyas kemudian membuat klasifikasi penting dalam pengembangan diskursus feminisme Islam melalui pemetaan terhadap isu-isu keperempuanan. Misalnya, ia menjelaskan bahwa Hamka dan ash-Shiddiqqy sama-sama memiliki posisi yang mengambang bahkan terkesan tidak memiliki cukup basis argumentasi rasional dalam menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan penciptaan perempuan dan perwalian.
Bahkan keduanya juga melewatkan penjelasan yang komprehensif dan progresif ketika menafsirkan ayat-ayat tentang talak. Ini berbeda ketika keduanya menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema kenabian, poligami, perkawinan beda agama, kepemimpinan dalam keluarga dan kewarisan.
Sekalipun demikian, Prof. Yunahar Ilyas menilai bahwa Hamka dan ash-Shiddiqqy cukup apresiatif terhadap diskursus feminisme meskipun pandangan-pandangannya masih relatif terbatas.
Keterbatasan ini misalnya bisa dilihat melalui pola argumentasi yang dibangun oleh Hamka dan ash-Shiddiqqy masih cenderung berorientasi pada penekanan hikmah di balik doktrin yang terdapat dalam ayat, mereka belum sampai pada upaya rekonstruksi pemahaman yang lebih progresif terhadap pembelaan kesetaraan gender.
Menurut Prof. Yunahar Ilyas, ini disebabkan oleh arus pemikiran kesetaraan gender pada waktu itu belum berkembang di Indonesia saat mereka menuliskan tafsirnya.
Temuan ini memberikan gambaran embrionik bahwa sebenarnya para pemikir Muslim Indonesia telah cukup elaboratif dan apresiatif terhadap problem-problem kultur maupun struktur perempuan di Indonesia.
Basis epistemologi yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim Indonesia senantiasa berangkat dari realitas keindonesiaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan penekanan dan pola argumentasi terhadap tema-tema tertentu daripada tema lainnya.
Akhirnya, kita bisa memosisikan sosok Prof. Yunahar Ilyas sebagai seorang feminis sejati yang cukup serius membidani masalah-masalah keperempuanan dalam kajian feminisme Islam kontemporer. Sikapnya yang egaliter dan sederhana serta ketertarikannya pada diskursus feminisme telah menghantarkan dirinya menjadi salah satu rujukan penting dalam menyelesaikan permasalahan gender di Indonesia.