Terlalu banyak framing dalam kehidupan sosial yang secara terus menerus dibranding oleh berbagai media. Seolah menjadi manusia sukses haruslah memenuhi prasyarat A, B, C, dan seterusnya. Kemudian berbagai prasyarat tersebut terus bereskalasi tanpa batas. Seolah menjadi manusia ideal itu tak ada habisnya, tuntutan setinggi langit, yang tak pernah ada akhir.

Dan yang terparah diri ini sering kali turut tenggelam dalam berbagai framing-framing idealis tadi. Sehingga membuat diri semakin ciut dan merasa kecil tatkala tidak sesuai dengan standar-standar yang ada. Bukan Cuma itu, inner circle kita, seperti keluarga-pun sering kali terjebak dengan berbagai bias framing tadi. Seolah menjadi diri sendiri tak pernah cukup. Betapapun diri pribadi sudah merelakan dan menerima diri apa adanya, namun sering kali inner circle kita tidak bisa berlapang dada dengan kondisi kita.

Yah, banyak hal. Lulus kuliah, belum kerja bisa menjadi sebab dipandang rendah orang lain. Menjadi perempuan yang mencapai usia sekian dan belum pula berkeluarga, sering dianggap aib oleh orang tua. Pun sudah bekerja, tidak punya apa-apa, terus dicibir oleh sesama. Pun sudah berkeluarga belum memiliki keturunan menjadi bulan-bulanan kenalan sekalian. Rasa-rasanya standar sosial tak pernah usai bereskalasi.

Menapis seluruh framing sosial saja sudah berat, terkadang ditambah dengan circle yang semestinya mendukung dan menerima kitapun kian mendorong pada jurang insecurity. Contohnya saja tuntutan orang tua, yang ingin anaknya harus A, B, dan C. Bukan tidak berbakti, tapi sering kali tuntutan tersebut justru menjadi beban tersendiri dan menambah kelam hati. Alih-alih semakin cinta, citra diri yang tak sesuai dengan keinginan orang tua malah menjadi pemicu rasa benci.

Siapa sih yang juga tidak sedih saat tidak memiliki pekerjaan? Siapa sih yang tidak kesiapan saat belum menemukan tambatan hati? Ya diri kita sendiri aslinya sudah remuk, sedih, down. Namun ditambah tuntutan -let’s say- orang tua, jadi semakin menjadi-jadi. Rasanya pingin kabur saja. Pernah nggak kalian ngalamin kondisi demikian?

Kalo dipikir buat apa sih mengejar seluruh standar sosial yang nggak ada habisnya? Yes, semua rasa-rasanya demi gengsi, demi dapat penghargaan dan pujian dari orang lain. Padahal bukan itu tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah Tuhan menciptakan manusia untuk menebar kebaikan? Dan bukankah Tuhan sama sekali tidak pernah memandang manusia berdasarkan segala status sosialnya, melainkan dari ketakwaannya?

Lalu mengapa sekedar menjadi orang baik terasa sangat tidak cukup dalam kehidupan kita sehari-hari? Karena ego kita terhadap gengsi begitu tinggi. Satu-satunya agar bisa hidup tenang dan nyaman adalah dengan melepas gengsi kita di mata dunia.

  • Sadari tujuan penciptaan manusia

Ingat kembali, untuk apa manusia diciptakan. Ingat kembali tujuan hidup kita sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Allah SWT berfirman dalam surah Ad Dzariat ayat ke 56 yang berbunyi “Tidaklah manusia dan jin diciptakan melainkan untuk beribadah kepadaNya….”. 

Maka sejatinya kehidupan kita itu ya untuk ibadah. Ibadah kepada Yang Maha Esa. Bukan untuk mengejar gengsi, berharap puja puji, meminta respect dan tepuk tangan sesama. Bukan bukan!  Karena itulah, apapun yang kita lakukan dalam hidup niatkan segalanya untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Belajar, sekolah, mencari ilmu, niatkan untuk ibadah. Niatkah Lillah, tulus untuk mengharap kecintaan Allah SWT agar turun dalam hidup kita. 

Bukan yang lainnya. Pun dalam hal mencari pekerjaan. Nothing wrong with the profession selama itu halal. Berjualan seadanya dengan adab jujur dan niat ibadah juga sama mulianya di mata Tuhan Yang Maha Esa, walau tanpa seragam mentereng. Maka hilangkanlah gengsi dunia dengan banyak-banyak mengingat bahwa tujuan hidup kita ini adalah untuk ibadah semata.

  • Bersyukur dan bersabar

Menghempas gengsi juga harus dioptimalkan dengan mempertebal rasa syukur di hati. Apapun yang ada dalam hidup kita, kondisi itu pasti masih beribu kali lipat lebih baik dibanding orang yang jauh kurang beruntung dari kita. 

Bersyukur, banyak banyak mengucap syukur. Fokus pada rasa syukur dalam hidup. Segala sesuatu dalam hidup yang kita peroleh, syukuri syukuri dan terus syukuri. Jika hati kita sudah tebal dengan iman bahwa segala kejadian dalam hidup adalah berkah dari Tuhan. Maka inshaAllah apapun yang kita punya dalam hidup akan terasa lebih nikmat. Pun jika dirundung sesuatu yang hati kita tidak sukai, bersabarlah. 

Sering kali kita ingin segala sesuatunya cepat, dalam hitungan hari dan bulan. Padahal hidup ini cukup panjang. Sabar dalam kurun waktu menahun terasa sangat menyiksa, karena itu sabar dan syukur harus selalu disandingkan.

Apapun yang kita miliki, syukuri sepenuh hati. Setiap pagi hari bangunlah sembari mengingat ingat berbagai nikmat yang masih melekat dalam hidup kita. Masih bisa bangun, masih bisa  bergerak, masih bisa bercerita dan berkata, masih mampu meraih sesuatu walau kecil. Tak mengapa, dan bersabarlah dengan hidup. InshaAllah syukur dan sabar menjadi obat dalam setiap masalah. Semakin lapang hati kita bersyukur, semakin dalam hati kita bersabar, maka gengsi sosial perlahan akan bis akita hempaskan.

  • Stop Comparing, Keep Upgrading

Melepas gengsi tak berarti berhenti bergerak dan berusaha. Bertekadlah untuk mengupayakan ikhtiar tanpa batas tanpa perlu membandingkan diri. Sekolah yang dirasa tak usai, maka ikhtiarkan lah dengan belajar, bertanya, mendekatkan diri kepada orang-orang alim dan berilmu, agar kitab isa segera menuntaskan tanggungjawab sekolah yang diemban. Pun saat dirundung masalah urusan rejeki, tak kunjung mendapat pekerjaan yang diinginkan. 

Maka jangan berhenti di situ, teruslah berusaha, ikhitiarkan segala yang kita mampu secara halal dan baik. Hilangkan gengsi dengan menutup mata kita terhadap pencapaian orang lain. Fokus pada diri sendiri. Lakukan yang bisa kita lakukan. Selama pekerjaannya halal dan baik, maka terus saja berusaha. Jangan pernah putus asa.

Mulailah menyusun rencana apa yang bisa kita lakukan. Ketrampilan apa yang bisa kita upayakan untuk meningkatkan kapasitas diri. Jangan menganggap remeh setiap hal kecil yang bisa kita lakukan. Jika bingung memulai dari mana, bisa dicoba dengan meningkatkan intensitas ibadah kita. Itu yang paling sederhana.  

Setelah itu, mencari informasi, saat ini banyak tersedia kursus atau pelatihan gratis yang bisa kita ikuti. Cobalah beberapa sesuai dengan minat kita. Dan geluti agar ketrampilan dan kemampuan kita bertambah. Tidak sekedar bermodalkan ijazah semata.

Ingat kembali, bahwa dunia ini hanyalah sementara. Manusia hidup bisa rata-rata dibawah 100 tahun saja. Waktu yang pendek dan terlalu percuma jika hanya diisikan dengan mengikuti ambisi dunia. Kini saatnya rehat dari segala tuntutan sosial yang ada. Membebaskan diri dari berbagai framing dan standar dunia yang tak ada habisnya. 

Hidup kita bisa saja terlihat biasa, tapi jangan ijinkan hati kita untuk mengecil karena perkara dunia. Ingatlah bahwa kita hidup untuk Tuhan Pencipta Semesta yang Maha Tinggi bukan untuk mengejar apresiasi fana belaka yang tak ada habisnya.