BUNUH DIRI

TITIK DASAR jurang depresi sudah dicapainya. Sulit baginya mencari-cari alasan untuk bertahan hidup. Untuk apa? Untuk memperlama perihnya luka? Buat apa? Bukankah lebih baik kalau diam-diam hilang ditelan malam, mengurangi sampah dunia? Mati, lebih realistis baginya. Bukan sebagai ajal yang tak bisa ditolak, tetapi pilihan.

Kisahnya mengapa ia ingin mati saja tak lain karena bencana nasib yang menderanya tak putus-putus. Mula-mula karena isterinya selingkuh, kemudian mereka bercerai, dan ia kehilangan anak yang otomatis ikut ibunya. Terjadi pula kelalaian kerja, karirnya hancur, dipecat. Hutangnya menumpuk. Rumahnya ini akan disita bank sebentar lagi, karena sering menunggak cicilan. Listrik PLN mungkin akan segera diputus; bayaran tagihan semakin sempit. Teman-temannya hilang menjauh semua, menghindar dimintai tolong. Saudara-saudaranya sejak lama tak perduli. Ia tak punya alasan apa-apa lagi.

Ia pun sudah mempelajari cara-cara untuk mati. Inspirasi mudah didapat dari internet sekarang ini. Ia bisa menyilet nadinya, lebih cepat. Atau menabrakkan diri ke bis kota yang melaju. Gantung diri di pintu rumah pun bisa. Atau terjun ke danau. Ia toh tak pandai berenang. Ia tak punya pistol untuk menembak kepalanya seperti dalam film-film Hollywood. Apakah harakiri dengan belati saja? Seperti mitalyur, pertanyaan-pertanyaan masih terus beruntun ketika ia meninggalkan laptopnya, mencari-cari ending mengejutkan untuk cerpennya itu. Teringat Chairil, sang pengarang ingin hidup seribu tahun lagi.

***

GOMBAL

MARNI, PEREMPUAN di awal 40an itu, suka tanaman, hobi memelihara bunga. Apalagi sejak pagebluk Covid-19, ketika tren berkebun di halaman disukai orang, ia semakin giat mengurus bunga-bunganya. Sesekali dipajangnya di akun media sosial, banyak yang suka. Bunga koleksinya cukup beragam, memang. Ada mawar, anggrek, jenis-jenis adenium, aglonema, caladium, sampai puring dan myana yang kaya warna. Rumahnya jadi semarak, enak dipandang.

Marni sebetulnya ingin sekali suaminya mau berpartisipasi. Bertaman bukan semata hobinya perempuan. Apalagi mengurus tanaman merupakan suatu cara meditasi, seperti diyakini masyarakat Jepang. Sayangnya, suaminya yang berprofesi dosen itu tak ambil perduli, kalau bukan dibilang alergi. Suaminya juga enggan kalau diminta mengantar ke lapak kembang di pinggiran kota. Paling disuruh nyetir sendiri atau bersama anaknya. Menjengkelkan. Jangan-jangan suaminya cuma suka bunga kampus?

Duduk-duduk sore di teras dengan kopi dan penganan, Marni mencolek sang suami, halus menyinggung-nyinggung keindahan taman mereka. Sebetulnya, ia ingin memancing sepercik pujian untuk membayarkan jerih-payahnya bergelut tanah selama ini. Tetapi, suaminya sekedar mengangguk-angguk kecil, tetap fokus menilik-nilik gawainya. Karena didiamkan terus, akhirnya keluarlah repeten kesal dari mulutnya, menggugat ketidakperdulian suaminya, ini itu, anu anu, semua tersangkut-sangkut. Anehnya, alih-alih prihatin, sang suami malah tertawa enteng. Apa tak tambah dongkol? "Mengurus bunga itu urusanmu," ucapnya. "Urusanku ya kamu, bunganya bunga!" sambungnya, sambil mencuri kecupan gombal. Marni meleleh juga.  

***

ONE STRANGE DAY

KETIKA MATANYA terbuka, yang dilihat Maskur hanya hal-hal biasa, sebuah pagi yang normal. Di depannya, terpajang rumah tetangga yang belum lama dipasangi CCTV. Kanan kirinya pun wajar-wajar saja--- rumah-rumah berpagar besi dan jalan perumahan berbahan paving block. Saat berbalik pandang, rumahnya pun tampak seperti biasa. Yang Maskur tidak ingat hanyalah alasan kenapa tiba-tiba berdiri di luar pagar rumahnya sendiri. Ia juga heran kenapa tetangga yang melintas dengan sepeda motor hampir jatuh mendadak begitu melihatnya. Padahal, biasanya ramah.

Ketika diamatinya lagi rumahnya, rasa-rasanya ada dorongan pikiran aneh agar ia memanjat pohon mangga itu, naik ke atap garasi, melompati pagar teras lantai dua, dan masuk dari pintu yang terbuka. Belum sempat terpikirkan ketika semuanya spontan dilakukannya lincah sekali. Setelah masuk, puterinya masih nyenyak tertidur di kamarnya. Ah, Sabtu, pikirnya, tidur ekstra. Maskur pun menghempaskan tubuh di sofa dekat rak buku, berusaha menenangkan diri. Kepalanya  mendongak menyandar dengan mata menilik noda bekas tetesan genteng di langit-langit. Sementara otaknya berputar keras mengusut apa yang sebetulnya terjadi, tetapi tak diingatnya lagi.

Sebentar kemudian, didengarnya suara-suara kecil puterinya turun dari ranjang; membuka pintu. Begitu puterinya muncul, Maskur segera menyapa, "Sudah bangun, Sayang?" Tetapi, anehnya, sapaannya ternyata membuat puterinya itu terperanjat membantingkan pintu, riuh berteriak-teriak. "Ayaaah, tolooong, ada gorillaaa....!" Kebingungan Maskur tambah menggila. 

***

TAHI LALAT

SETIAP KALI terlihat, rasanya ingin kuambil obeng minus untuk mencungkil tahi lalat hitam sebesar biji jeruk itu. Atau menariknya dengan tang; atau menyayatnya dengan silet. Pokoknya agar tak terlihat lagi. Tahi lalat yang bertengger di sisi kiri atas mulutnya, yang menyempurnakan raut mata kesombongan pada wajahnya. Serupa llama, unta Amarika Selatan itu, tegak tinggi kepalanya, yang bisa tiba-tiba menyemburkan ludah angkuh ke wajahmu.

Banyak perempuan yang punya tahi lalat besar di wajahnya. Tetapi, belum pernah kulihat yang konsisten mengumumkan kesombongannya. Jujur, aku tak tahu apakah betul ia perempuan sombong dan apa pula yang disombongkannya. Wajahnya tak cantik, sudah menua pula. Kalau ditilik-tilik, bukanlah orang kaya raya. Tak terlihat jejak yang membuktikan keterpandangan. Kesombongannya hanya langsung terpampang dalam kehadirannya. Ia bisa muncul di tengah warga, menatap tinggi seperti llama, dengan tahi lalatnya itu, dan tak mau tahu sekitarnya. Ia memang bisa bersikap ramah sedikit basa-basi kalau ada yang menyapa. Tetapi, jangan harap ia akan menyapa duluan.

Hanya saja, karena bersangka buruk bukan sikap terpuji, maka tahanlah dulu penghakimanmu. Ia mungkin hanya orang penyegan yang secara genetik kurang beruntung diturunkan wajah seperti itu. Bagaimanapun, ia terlihat perduli kepada anak-anaknya. Tunggulah sampai terbukti ia menyemburkan ludah dengan angkuh di hadapanmu. Seekor llama yang gatal kau cungkil tahi lalat keangkuhannya.  

***

TUDUHAN

AKU SELALU dekat dengannya, menempel, tak mau jauh. Sudah takdirku begitu. Ia bagiku penting, tetapi aku baginya sangat tergantung keadaan. Ia hanya menganggapku sahabat kalau aku punya uang saja. Ia perhatian denganku asal uang masih ada. Semakin banyak kupunyai, semakin besar perhatiannya. Ia bahkan sering menepuk-nepukku tanpa sadar kalau uangku sedang meruah. Bahagia rasanya. Aku merasa menjadi BFF-nya. Tetapi, saat uangku tak ada, keadaan berubah total.

Tak jelas persahabatan jenis apa yang seperti ini. Baik buruknya bergantung pada uang. Tak ada loyalitas. Tiap kali lembar-lembar kertas berharga itu ludes terpakai, aku langsung jadi si tertuduh. Aku dibilang tak bersahabat. Ia enteng saja bersedih-sedih menyiarkan tuduhan itu kepada dunia, siapa saja. Di media sosial yang teman-temannya tak betul-betul dikenalnya pun, tak dirahasiakan.

Memang aneh kelakuannya. Padahal, kalau aku banyak uang pun, kurelakan dia yang pakai. Dia yang membelanjakannya. Bahkan, dia yang menghabiskannya. Kalau dia bersenang-senang dengan uangku, dipamer- pamerkannya pula kesenangan itu kepada dunia. Apa kau kira namaku akan disebutkan?  Diberi ucapan terima kasih? Tidak! Tak pernah! Aku baru disebut-sebut kalau uangku habis dipakainya. Itulah yang disiarkannya kepada dunia. Seolah-olah aku menghianatinya. Seperti sekarang, saat ia memperbarui status media sosialnya, dengan entengnya tuduhan keji beremoji itu dilontarkan. "Kocek sedang tidak bersahabat! :'( ."  Tega-teganya!

***

*) Lihat juga 5 cerpen tiga paragraf (pentigraf) AJ Anwar lainnya di Qureta.