Epos pemikiran era 80-an, diskurus Islam dikejutkan oleh sebuah wacana Pribumisasi Islam yang dipersembahkan Gus Dur ke khalayak publik. Diskursus ini berupaya memfungsikan kembali Islam sebagai sebuah etika nilai universal yang tidak lagi hanya diperbincangkan dalam nuansa transendental yang kental dengan warna debat teologis.

Trade mark ini kemudian membuahkan beragam upaya regulasi terhadap beberapa sektor penting dalam sendi keberagamaan kaum Muslim khusunya di Indonesia. Rangkain diskusi terus mengalir memberikan otokritik terhadap beberapa pola doktrin keislaman yang terlihat mapan.

Pribumisasi Islam berupaya memperkenalkan Islam sebagai sebuah etika sosial yang dapat menjadi elan vital dalam membangun peradaban Indonesia yang lebih baik dari sektor politik, sosial dan ekonomi.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering “ngeracau” [1] -untuk tidak menggunakan istilah kontemplasi-memikirkan beberapa problem keagamaan yang sedang saya rasakan akhir-akhir ini. Rutinitas formal dalam beragama yang dikerjakan oleh nyaris semua Muslim sepertinya tidak memberikan efek apa pun terhadap perubahan sikap yang dimiliki seseorang –terutama saya sendiri.

Seperti seorang yang yang mengerjakan salat, tidak dapat menghentikan kebiasaannya untuk sekedar tidak menggunjingkan keburukan orang lain. Berpuasa tidak meningkatkan pola beragama yang lebih baik pula, bahkan ada yang terlihat lebih buruk.

Hal ini jika dibaca dengan pendekatan liturgis, bisa jadi rutinitas formalnya tidak terjiwai dengan penuh, hingga usai melaksanakan kewajiban tertentu, tidak ada bias perubahan yang signifikan dalam pola rutinitas kemanusiaan lainnya.

Sebelum terlalu jauh diskusi ini, kita dapat menyaksikan bahwa aktivitas manusia yang percaya pada agama dan Tuhan khususnya, dalam menjalan rutinitas sehari-hari tidak akan pernah terlepas dari dua pola interaksi yang senantiasa dikerjakan.

Pertama, interaksi vertikal. Sebuah pola yang menunjukkan adanya relasi yang prinsipil antara seseorang dengan realitas transenden yakni Tuhan. Pola interaksi dan perwujudan relasi ini bisa dibuktikan dengan dilestarikannya formalitas keagamaan seperti salat, kebaktian dan sebagainya sesuai jenis agama. Kedua, interaksi horizontal. Jenis yang kedua ini adalah sebuah interaksi logis yang dilakukan dalam rangka menunaikan kewajiban seseorang sebagai zoon politicon dan makhluk sosial.

Dua pola interaksi itu menunjukkan bahwa dalam setiap detak waktu yang mana manusia bergerak di dalamnya, tidak akan pernah terlepas dari dua pola relasi yang mengikatnya secara dominan.

Pola interaksi vertikal sebagai sebuah konsekuensi spiritual yang secara fitrah memang dimiliki manusia. Interaksi ini adalah sebuah wujud kepasrahan manusia pada sebuah realitas transenden yang mengatur segalanya. Realitas transenden ini tidak hanya menjadi tempat meletakkan kepasrahan. Dengan segala versinya yang kemudian dikenal dengan Tuhan ini pun menjadi sebuah tempat bergantung, memohon meratap serta mengharap petunjuk untuk menjalani kehidupan.

Setelah aktivitas vertikal ini usai, maka mulailah kehidupan dalam realitas imanen yang mempertemukan manusia dengan segudang pergulatan duniawi. Di sini interaksi horizontal berlangsung.

Dunia dengan segala persaingannya, telah membawa manusia pada arena kesadaran akan kerentanan eksistensinya, dari sinilah letak kebutuhan mereka pada kekuatan supranatural yang ada di luar mereka. Demikian dua bentuk komunikasi di atas saling bergantung satu sama lain.

Interaksi vertikal menjadi sebuah kebutuhan sentral dalam hidup. Dia menjadi penenang, tempat bergantung dan membimbing manusia agar interaksi horizontalnya senantiasa bergerak lebih baik. Demikian, manusia beragama telah menjadikan interaksi vertikal sebagai sebuah tuntunan dalam menjalan kehidupan.

Kegagalan demi kegagalan

Interaksi vertikal sebagaimana dijelaskan di atas, menjadi begitu vital karena seharusnya ia menjadi petunjuk serta pembimbing dalam menjalankan interaksi horizontal. Interaksi vertikal adalah bahasa untuk Tuhan atau agama sedangkan yang kedua adalah untuk kehidupan sehari-hari.

Kali ini kita akan mengukur sejauh mana agama berfungsi dalam kehidupan sehari-hari orang yang “mengaku” beragama. Untuk mengukur ini, kita gunakan parameter implikasi liturgis formal yang dikerjakan atas nama agama terhadap lakon mereka dalam keseharian sebagai makhluk sosial.

Untuk itu kita gunakan satu contoh ritual keseharian yang paling rutin dikerjakan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Salat adalah contoh yang tepat. Ibadah ini adalah inti dari segala ritual yang ada diwajibkan oleh agama Islam. Sebagai sebuah wujud kepasrahan dan kepatuhan total kepada Allah Swt.

Namun demikian, akhir-akhir ini ibadah yang konon disyariatkan ketika Rasulullah mi’raj dan langsung dari Allah Swt seolah kehilangan signifikansinya dalam keseharian. Banyak sekali mereka yang dalam rutinitas kesehariannya selalu mengedepankan waktu salatnya dibanding hal yang lain, tetapi tidak mampu mewujudkan makna substansial dalam kesehariannya.

Secara sederhana, makna aplikatif salat adalah upaya menunjukkan kepasrahan dan kebergantungan diri yang lemah kepada Tuhan yang maha kuat. Inilah alasan kenapa salat diwajibkan di nyaris seluruh putaran waktu selama dua puluh empat jam.

Dalam sela-sela perputara jarum waktu inilah, Tuhan ingin mengajak hamba-Nya agar senantiasa meminta pertolongan dalam tiap jengkal peralihan waktu. Makna substansil seperti inilah yang mampu memberikan makna yang utuh di balik rutinitas salat.

Sekali lagi Membumikan Tuhan

Dalam makna substansial salat yang begitu kuat signifikansinya dalam tiap putaran waktu kehidupan itu, kiranya tidak berlebihan jika Tuhan benar-benar begitu dekat dengan hamba-Nya. Maka benar jika al-Quran jauh-jauh hari memberikan skenario epistemologi kedekatan Tuhan ini dengan sebuah ayat:

Wa idza sa’alaka ibaadi anni faiini qorib. Ujiibu da’watadda’i idza da’ani.

Artinya

Dan jika hamba-Ku bertanya tentang Diriku, maka sesungguhnya Aku sangat dekat. Aku menjawab orang yang memanggil jika dia memanggil-Ku.

Ayat ini mmeberitahu bahwa Tuhan itu begitu sangat dekat dengan hamba-Nya, kedekatan ini begitu mutlak, tidak terbatasi oleh konsekuensi ruang waktu yang imanen.

Jalan menuju kedekatan inilah yang kemudian menjadikan salat sebagai sebuah langkah rasional. Sadar atau tidak, salat menjadi media penghubung kedekatan antara Tuhan dan sang hamba. Dengan demikian, Tuhan sebenarnya tidak pernah mentransformasikan diri-Nya sebagai sebuah Dzat yang transendensinya tidak bisa dicapai.

Justru dengan medium salat inilah menunjukkan bahwa Tuhan dengan sendirinya telah membumi bersama-sama manusia. Tidak ada lagi yang membatasi akses manusia dengan Tuhan kecuali skat yang dibuat sendiri oleh yang bertuhan.

[1] Bahasa Pontianak untuk menggambarkan suasana sejenis trance atau berbicara dalam keadaan mengigau.