Kata spasial sering digunakan untuk menunjukkan suatu tempat dengan segala isinya yang memiliki fungsi tertentu. Tetapi, apakah spasial beda dengan tempat? Jawabannya adalah beda.
Arti spasial dapat dilihat dari semua unsur yang memberikan identitas terhadap keberadaan ruang tersebut. Sebagai contoh ruang tidur; di dalamnya tidak hanya terdapat tempat tidur, tetapi ada lemari, meja, dan kursi belajar mungkin; ada lampu, ada jendela, dan identitas lainnya yang menunjukkan ruang tidur.
Pemahaman tentang spasial tidak terbatas seperti yang dicontohkan. Ruang dapat menjangkau skala yang lebih luas, seperti ruang desa, ruang kota, bahkan lebih luas dari itu, yaitu ruang permukiman bumi.
Menurut istilah geografi umum, spasial adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera tempat hidup tumbuhan, binatang, dan manusia. Sedangkan menurut istilah geografi regional, spasial merupakan suatu wilayah yang mempunyai batasan geografi, yaitu batasan menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya, serta lapisan udara di atasnya.
Kemudian menurut Sumaatmadja, wujud ruang di permukaan bumi berbentuk tiga dimensi. Bentangannya berupa daratan dan perairan, sedangkan ke arah vertikal berupa lapisan udara. Dalam ruang ini berlokasi benda hidup dan benda mati serta gejala-gejala yang satu sama lainnya berinteraksi. Jadi, ruang adalah tempat yang memberikan kita hidup karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang diperlukan untuk kehidupan.
Implementasi spasial dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk mengetahui penyebaran penggunaan ruang yang telah ada, dan penyediaan ruang yang akan digunakan atau dimanfaatkan untuk pelbagai kegunaan yang dirancang. Keruangan tersebut didayagunakan sedemikian rupa untuk kepentingan manusia. Dampak positif dan negatif dari keberadaan ruang seperti itu selalu dikaitkan dengan kepentingan manusia pada saat ini dan akan datang.
Dalam kehidupan ini, literasi spasial membantu kita untuk memiliki struktur berpikir: what, apa yang melatarbelakangi peristiwa; where, di mana peristiwa itu terjadi; where, kapan peristiwa itu terjadi; why, mengapa peristiwa itu bisa terjadi; how, bagaimana proses terjadinya peristiwa itu, dan; who, siapa yang terlibat dalam peristiwa itu.
Tentu struktur berpikir seperti ini dapat menjangkau topik lebih luas. Bergantung kondisi keruangan yang ada.
Sebagai contoh ruang desa konteks pembangunan: a) apa potensi yang ada di desa: SDM dan SDA; b) di mana letak potensi yang ada; c) mengapa potensi yang ada belum memberi dampak positif atau belum termaksimalkan dengan baik; d) bagaimana memanfaatkan potensi yang ada; e) siapa yang bisa memanfaatkan potensi yang ada.
Literasi spasial dalam konteks pembangunan mengedepankan hubungan manusia dan lingkungan (alam). Aktivitas manusia (human activities) menjadi pertanyaan penting, “bagaimana aktivitas/kegiatan manusia di suatu wilayah yang bersangkutan?”
Aktivitas manusia di suatu ruang dan hubungannya dengan lingkungan (alam) dapat menunjukkan jangkauan pemanfaatan ruang: mengelola, merawat untuk digunakan sebagai basis pembangunan. Prinsip literasi spasial adalah memahami semua unsur identitas di suatu ruang atau keberadaan ruang untuk kepentingan manusia pada saat ini dan akan datang.
Jadi, dalam pemanfaatan ruang berorientasi pada pembangunan saat itu untuk keberlanjutan yang akan datang. Meminjam istilah bijak, “Sumber daya yang tersedia di ruang tersebut bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan generasi yang akan datang.”
Pembangunan dengan pendekatan spasial, yaitu memaksimalkan potensi yang tersedia di ruang yang bersangkutan dengan mengedepankan hubungan manusia dan lingkungan (alam). Dengan pendekatan sesuai karakteristik fisik wilayah (kondisi geografis) dan sosial-budaya-ekonomi masyarakat. Berpegang pada potensi yang ada-kebutuhan yang diperlukan. Fenomena pembangunan semacam ini dapat dikatakan sebagai prinsip kemandirian daerah.
Pendekatan pembangunan semacam ini, kita bisa melihat pemanfaatan ruang pertanian di Bali. Prinsip-prinsip kelestarian alam masih dijaga. Masyarakat Bali dalam mengelola perairan sawah menggunakan sistem subak. Ada tata kelola air dengan baik. Ruang lebih luas, kita bisa melihat pembangunan di Kabupaten Kulon Progo.
Kabupaten Kulon Progo masa kepemimpinan Hasto Wardoyo, seorang dokter Alumni Universitas Gadjah Mada, dalam mengambil kebijakan pembangunan sering dianggap tidak populis. Tetapi, dampaknya sangat dirasakan masyarakat dan menginspirasi.
Hasto Wardoyo pernah membuat kebijakan pembangunan ekonomi di daerahnya, salah satunya dengan mengelola potensi batik. Kemudian mewajibkan sekolah-sekolah untuk menjadikannya seragam di hari tertentu. Setidaknya ada 80 ribu siswa di Kulon Progo. Tidak berhenti di sektor batik, Hasto juga menginstruksikan membuat air mineral kemasan di bawah PDAM.
Dari Kulon Progo, kita dapat belajar pembangunan berbasis potensi yang tersedia: SDM dan SDA. Kita bisa membayangkan jika daerah-daerah dalam merencanakan pembangunan berdasarkan keruangan: pemanfaatan potensi yang tersedia.
Pasti akan terjadi pembagian pekerjaan yang berarti menghasilkan spesialisasi (unggulan daerah) dan menghasilkan interdependensi–interaksi antardaerah untuk kepentingan pertukaran barang dan jasa. Dan, tentu penghargaan atau pandangan budaya atas bumi akan berorientasi pada minimalisasi eksploitasi alam.
Pembangunan berbasis pendekatan keruangan mengedepankan sesuai karakteristik fisik wilayah (kondisi geografis) dan sosial-budaya-ekonomi masyarakat. Pemahaman seperti ini, fenomena membuka lahan pertanian di Papua tidak akan dilakukan, karena tidak relevan dengan sosial-budaya masyarakat di sana.
Konsep spasial menghargai dan merawat serta mengelola potensi yang ada sesuai karakteristik. Perbedaan karakteristik antardaerah adalah kekuatan dan kekayaan Indonesia. Tidak perlu menyeragamkan: bahan pokok makanan–semua harus mengonsumsi beras.
Kesadaran literasi spasial membekali setiap orang tentang geocapabilities, yaitu kemampuan geografi/cara berpikir dengan geografis, sebagai sarana ikhtiar membentuk sikap peduli lingkungan sehingga dapat berperan dalam menyelamatkan bumi dari ancaman bencana.
Melalui kesadaran spasial sebagai cara berpikir geografis, kemampuan yang diharapkan tumbuh: kemampuan imajinasi geografi, menumbuhkan sikap etis, berpikir integratif dengan lingkungan, berpikir spasial, dan mengeksplorasi tempat (Walkington et al, 2017).
Kemampuan imajinasi geografi merupakan kemampuan dalam memaknai perbedaan variasi lokasi di permukaan bumi. Sementara itu, menumbuhkan sikap etis tercermin dari sikap peduli terhadap bangsa (nasionalisme) serta mampu menghargai perbedaan budaya setiap wilayah.
Kemudian, kemampuan berpikir integratif dengan lingkungan, memahami interaksi manusia dengan lingkungan (alam). Dalam hal ini, peran manusia sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan (Chang & Pascua, 2016; Mitchell, Borden & Schmidtlein, 2008).
Selanjutnya kemampuan berpikir spasial untuk mendeskripsikan berbagai fenomena alam di permukaan bumi (gersmehl, 2008; Lee dan Bednarz, 2012). Dalam melihat suatu fenomena geosfer yang terjadi di permukaan bumi, pemahaman kita bukan hanya apa dan di mana, melainkan mengapa fenomena tersebut terjadi di wilayah itu (Arild Holt-Jensen, 2003).
Kemudian, kemampuan mengeksplorassi tempat agar kita dapat menganalisis dan memahami karakteristik berbagai tempat di permukaan bumi dengan menggunakan konsep ruang, skala, dan interkoneksi (Uhlenwinkel et al., 2017).