Perpisahan adalah kenyataan yang menakutkan. Sebagian besar orang merasa khawatir karena ia akan terpaut dengan jarak, di mana waktu “sekarang” akan terganti dengan “masa lalu”.

Masa lalu berelevansi dengan masa kini meskipun ia tak tak dapat kembali. Ia akan menjadi bayang-bayang yang akan terus menghantui hingga kini, bahkan di masa mendatang.

Melepaskan bayangan itu adalah persoalan pelik. Meski melupa, kita tak pernah tahu sejauh apa bayangan itu merepresi alam bawah sadar kita. Perlahan, ia akan mengendap dan menetap sekeras apapun kita berusaha membuang ingatan itu.

Ia adalah perangkap berisi kenangan, seperangkat rasa sedih, takut, dan sepi. Perangkap itu awalnya memang gejala yang berasal dari luar, tapi jika terpendam di dalam ingatan ia akan muncul sebagai sosok menakutkan.

Tidak ada perpisahan yang menyenangkan. Sekalipun akhir perjalanan ditandai suka cita, perpisahan tetaplah perpisahan. Momen bersama akan tergantikan dengan kenangan yang menjadi rindu di masa mendatang.

Slavoj Zizek, dalam buku berjudul Pandemic! menguraikan kehidupan manusia di tengah pandemi yang mengalami banyak perubahan gaya hidup. Kita seakan dipaksa untuk memikirkan kembali makna kemanusiaan, interaksi sosial, dan cinta.

Di tengah badai virus Covid-19, kita terpaksa harus berjauhan dengan orang-orang yang kita sayang, bahkan tidak bertatap muka sama sekali dalam kurun waktu yang lama.

Virus ini merongrong fondasi terdasar kehidupan kita, ungkap Zizek, menimbulkan penderitaan pada setiap subjek individu yang terbiasa berelasi sosial. Akhirnya kita mau tidak mau harus merenungkan kembali, makna keber-Ada-an kita di dunia.

Meski Zizek pesimis bahwa kehidupan akan normal seperti semula, namun ia cukup optimis bahwa manusia dalam arti makhluk sosial yang berinteraksi bebas di ruang publik tidak akan tereduksi pemaknaannya karena jarak (social distancing). Ia mengutip Hegel:

The human being is this night, this empty nothing, that contains everything in its simplicity—an unending wealth of many representations, images, of which none belongs to him—or which are not present. One catches sight of this night when one looks human beings in the eye.

Pandemi memang berisi segudang cerita akibat berkurangnya kedekatan fisik. Manusia yang tidak sanggup menghadapi kesepian akan memutuskan untuk berpisah. Covid-19 memang malapetaka. Ia membawa dua jenis wabah, ialah wabah penyakit dan kesepian.

Dilansir dari Cnnindonesia.com menurut data dari Dating.com, survey dari 2 ribu pengguna mengungkapkan bahwa 67 persen diantara pengguna tersebut mengalami putus cinta tahun 2020. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 35 persen saja.

Terlepas dari pandemi yang berimplikasi pada banyaknya fenomena “putus cinta”, lagi-lagi saya mengatakan bahwa perpisahan tetaplah perpisahan. Saya masih percaya bahwa setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan.

Jika memang ada pertemuan yang tidak berakhir perpisahan, suatu saat kematian tetap akan datang dan memaksa untuk mengakhir kisah singkat perjalanan fenomenologis kita dengan dunia dan sesama.

Perpisahan, dalam perspektif berbeda tidaklah seburuk itu. Perpisahan justru merupakan kebaikan yang diinginkan sebagian orang. Mereka, demi menjadi otentik, membutuhkan ruang eksistensial, lingkungan yang membuat kita merasa tidak menjadi orang asing di dalamnya.

Sejauh hidup itu singkat, bertemu orang hebat sebanyak mungkin tidaklah salah. Mungkin saja perpisahan merupakan langkah yang akan mempertemukan kita dengan dunia baru. Dunia yang penuh tanda tanya dan patut dijelajahi.

Perpisahan adalah tentang ikhlas untuk melepaskan. Tidak sedikit yang berhasil melewati masa-masa sulit di tengah kesepian. Ada sebagian yang melupakan dalam waktu singkat, ada juga yang terjebak di dalam kenangan dalam waktu yang lama.

Mengharapkan seseorang untuk kembali tidak semudah berkenalan dengan orang-orang baru. Setiap orang yang pernah kita temui memiliki pengalaman historis dan fenomenologis bersama kita. Pengalaman yang tidak terlupakan.

Pengalaman itu yang membuat sebuah pertemuan, sesingkat apapun, menjadi waktu yang bernilai eksistensial. Kita mewaktu dan mengalami makna-makna baru , yang tidak akan terulang lagi dalam pertemuan-pertemuan dengan orang lain.

Setiap pertemuan dengan seseorang menyisakan makna. Dari sekian banyaknya pertemuan dengan banyak orang, pasti ada momen yang menurut kita adalah yang paling menarik.

Entah dengan siapa dan momen apa saja. Yang jelas peristiwa itu yang akan membuat kita merasa terhubung dengan suasana di masa lalu yang akan terngiang hingga masa mendatang.

Karena kita menghadirkan makna bersama, setiap subjek itu bermakna semata-mata karena kita dianugerahi kemampuan yang sama dalam mengada. Meskipun kepentingan pribadi mendahului kebersamaan, tetap, kita tidak bisa menganggap subjek di depan kita sebagai sarana saja.

Mereka, kita, adalah subjek yang pantas saling menghargai. Menghargai manusia yang bebas, mendukung mereka untuk melahirkan suka cita bagi dunia mereka sendiri, meski itu akhirnya harus dibayar dengan perpisahan.