Dalam minggu ini, setidaknya tercacat ada empat lembaga survei politik yang mengumumkan hasil survei elektabilitas masing-masing pasangan calon yang akan berlaga di Pilgub DKI 2017. Hari Senin lalu (16/1), untuk pertama kalinya, PT. Grup Riset Potensial (GRP) melakukan publikasi hasil riset yang diselenggarakan.

Melalui metodologi stratified systematic sampling, dan pemodelan statistik regresi multinomial logit, survei yang dilaksanakan pada 2-7 Januari 2017 silam ini, mencatatkan nama pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni berada di peringkat pertama prediksi kemenangan, dengan perolehan suara 46,4%.

Sedangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, unggul tipis dengan jumlah presentase 20,9%, dibanding pasangan petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, yang hanya mampu mendapatkan 20,4% dukungan.

Sehari berselang, tepatnya pada hari Selasa (17/1), giliran Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, yang mengumumkan hasil risetnya. Survei yang dilakukan menggunakan metode multistage random sampling ini, menunjukkan perolehan suara AHY-Sylvi unggul di posisi pertama dengan angka elektabilitas menyentuh 36,7%. Disusul oleh perolehan presentase pasangan Basuki-Djarot sebesar 32,6%, dan pasangan Anies-Sandi 21,4%.

Sedangkan dua hari kemudian, pada Kamis (19/1), secara bersamaan lembaga survei Poltracking dan PolMark Indonesia, juga meluncurkan rilis survei terbarunya. Kedua survei yang juga menggunakan metode multistage random sampling ini, menghasilkan prediksi elektabilitas yang berbeda.

Pada survei yang dirilis Poltracking, pasangan AHY-Sylvi terlihat unggul dengan 30,81%. Sementara pasangan Basuki-Djarot hanya unggul 0,13% saja dari pasangan Anies-Sandi, dengan perolehan suara 26,85% berbanding 26,72%.

Sementara menurut hasil survei PolMark Indonesia, elektabilitas pasangan Anies-Sandi, menembus angka 31,7%. Disusul dengan presentase 29,9% dari pasangan AHY-Sylvi, yang meninggalkan pasangan petahana Basuki-Djarot di posisi buncit dengan angka 24,6%.

Penggunaan Metodologi Survei

Di sini saya tidak akan membahas hasil survei dari masing-masing lembaga yang berbeda. Namun kali ini saya akan coba melakukan elaborasi kritis atas kesamaan pola metodologi yang dibangun.

Dalam kajian survei pemasaran politik, metode multistage random sampling merupakan sebuah metode yang lazim dipakai masing-masing lembaga survei dalam mengukur tingkat elektabilitas pasangan calon yang hendak berkontestasi dalam hajatan Pilkada.

Namun, dari keempat lembaga tersebut, hanya GRP saja yang menggunakan metodologi berbeda. Dalam perkara penggunaan metodologi, GRP lebih memilih untuk memakai stratified systematic sampling. Hal yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan pemodelan statistik regresi multinomial logit.

Dari kedua pola yang dijalankan, sebenarnya manakah yang lebih cocok dan representatif untuk kemudian diterapkan dalam menjalankan sebuah survei elektabilitas?

Multistage Random Sampling

Secara sederhana, penggunaan metode ini terbilang cukup mudah untuk dipahami dan diaplikasikan. Metode multistage random sampling ini, dijalankan dengan beberapa jenjang pemilihan responden penelitian.

Sederhananya begini. Pemilihan responden dalam survei ditentukan dengan penjenjangan variabel tertentu, contohnya, lokus penelitian secara bertahap. Semisal mulai dari tingkat Kecamatan, Kelurahan, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT), hingga menentukan responden dalam satu keluarga.

Dari masing-masing tahapan tersebut, pemilihan lokus dan juga responden dilakukan secara acak (random), sesuai jumlah yang telah ditentukan, dengan asumsi semua daerah (maupun responden) memiliki potensi keterpilihan yang sama. Setelah semua dijalankan, maka proses pengambilan data kepada responden sudah bisa dilaksanakan.

Kata kunci yang perlu dicatat dalam memahami metode ini adalah kondisi sample penelitian. Metode ini, jauh akan lebih efektif dan efisien jika diterapkan pada masyarakat dengan karakteristik yang seragam (homogen). Sebab, pijakan dasar dari pemahaman metode ini, bertumpu pada kesamaan potensi masing-masing daerah untuk terpilih ke dalam sampling.

Dengan demikian, karakteristik sample yang beragam tidak dijadikan acuan dan rujukan utama dalam mengambil responden.

Stratified Systematic Sampling

Jika asumsi dasar pada metode multistage random sampling, mendasarkan diri kepada semua sampling dan responden memiliki potensi keterpilihan yang sama, dan abai pada karakteristik masing-masing sampling, maka dalam stratified systematic sampling, kondisi kemajemukan sampling menjadi perhatian utama.

Masyarakat Jakarta yang heterogen, perlu dikelompokkan terlebih dahulu ke dalam beberapa variabel tertentu. Pengklasifikasian ini penting dilakukan untuk menjamin bahwa survei yang dilaksanakan mencerminkan kondisi yang representatif.

Contohnya begini. Dalam variabel tingkat pendidikan, perlu ada jaminan bahwa wilayah yang hendak dijadikan sample mengakomodasi wilayah-wilayah yang karakteristik tingkat pendidikannya tinggi, hingga ke rendah. Pun begitu misalnya dengan pengklasifikasian variabel lain, seperti kepadatan penduduk, sex ratio, dan sebagainya.

Hal ini yang sejatinya tidak ditemukan pada metode sebelumnya, yakni multistage random sampling. Adapun penentuan ragam variabel tersebut sejatinya, kembali berpulang kepada pilihan masing-masing peneliti sesuai kebutuhan penelitian.

Dalam metode stratified systematic sampling, setelah area sampling ditentukan secara berjenjang sesuai keperluan variabel yang digunakan, maka proses pengambilan data kepada responden dilakukan juga secara sistematis dengan pola-pola yang khas. Tentunya dengan terlebih dahulu dilakukan proses yang berjenjang.

Untuk itulah, GRP menjadikan unit Kelurahan sebagai lokus utama penelitiannya, karena tiap-tiap Kelurahan yang ada di Jakarta, tentunya memiliki karakteristik yang berbeda.

Kemudian dari unit Kelurahan itulah, penentuan unit-unit setelahnya dilaksanakan berdasar jumlah tertentu yang telah ditentukan sebelumnya secara proporsional, seperti RW dan RT, hingga penentuan responden di unit keluarga.

Kata kunci dari penggunaan metode ini yang menjadi perhatian penting, yakni kondisi sample yang diyakini sejak awal beragam/heterogen, sehingga diperlukan pengklasifikasian terlebih dahulu agar menghasilkan data yang lebih akurat dan representatif, karena mewakili kondisi yang riil terjadi.

Selanjutnya, hasil survei pada sampling, dilakukan pemodelan prediksi ke seluruh populasi yang ada. Dalam hal ini, model pendugaan statistik yang digunakan oleh GRP, menerapkan pola regresi multinomial logit.

Cara pemodelan semacam itu memang agak langka ditemukan pada hasil rilis lembaga-lembaga survei politik. Karena lazimnya, lembaga-lembaga yang ada memang tidak bermaksud untuk membuat sebuah model pemetaan elektabilitas, melainkan hanya menjelaskan angka-angka hasil dari penelitian pada sample saja.

Jadi, setelah kita melakukan elaborasi terhadap kedua metode ini, kira-kira metode manakah yang lebih tepat dan representatif?