Korupsi merupakan masalah paling krusial yang dihadapi oleh negara atau bangsa Indonesia saat ini. Tindak pidana kasus korupsi di Indonesia yang terjadi terentang mulai dari hal kecil hingga besar.

Hal kecil yang dilakukan dengan memberikan uang pelicin ketika sedang berurusan di dalam ranah kelurahan atau kecamatan, sedangkan untuk korupsi besar dengan menggunakan uang anggaran pendapatan negara uang kebutuhan pribadi. Kejadian tersebut memperlihatkan bahwasanya korupsi yang terjadi sudah membudidaya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia (Yanto et al., 2006).

Berdasarkan jurnal (Rasul, 2009), menjabarkan bahwasanya terdapat masalah-masalah yang timbul terkait kasus korupsi di Indonesia, antara lain minimnya kualitas sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemerintah, semakin melonjaknya beban masyarakat akibat terjadinya tidak efisien dan efektif di dalam pengelolaan badan usaha yang dikelola kebutuhan publik, misalnya telekomunikasi, bahan bakar minyak, listrik, dan lain-lain. 

Selain itu, terjadi peningkatan kesenjangan yang dimana pihak konglomerat serta beberapa penjabat semakin demonstratif untuk memamerkan kekayaannya.

Pengertian korupsi memiliki beragam pendapat, sehingga belum ada satu definisi yang dapat dijadikan acuan terkait pengertian korupsi. Korupsi mempunyai istilah yang berasal dari bahasa Latin “corruption” dari kata kerja “corrumpere” yang memiliki arti busuk, menggoyahkan, menyogok, mencuri, memutarbalik, rusak, maling, dan sebagainya.

Menurut Kamus Oxford bahwasanya pengertian korupsi ialah perilaku tidak jujur atau ilegal yang dilakukan oleh orang yang berwenang. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi didefinisikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan terhadap uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan lain-lain) demi keuntungan pribadi atau orang lain. 

Pengertian korupsi menurut hukum di Indonesia yaitu perbuatan melawan hukum dengan cara memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik secara perorangan ataupun korporasi, sehingga dapat merugikan keuangan negara ataupun perekonomian negara (Abdi, 2021).

Korupsi dikelompokkan sebagai bagian dari kejahatan luar biasa atau yang disebut extra ordinary crime. Korupsi memberikan dampak kerugian pada proses demokrasi serta hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Perkembangan korupsi di Indonesia terjadi secara sistematis dan meluas di banyak tempat, baik di dalam lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan (Swasta).

Korupsi yang disebabkan oleh lembaga pemerintahan membuat rugi keuangan negara serta menyengsarakan rakyat. Sedangkan korupsi yang terjadi di lembaga non pemerintahan (Swasta) menjadikan kehancuran perusahaan tersebut yang pada akhirnya berisiko kepada kesengsaraan rakyat (Sosiawan, 2019).

Kasus korupsi dicirikan berbagai hal antara lain sebagai berikut, pengkhianatan kepercayaan, keserbarahasiaan, mengandung unsur penipuan terhadap publik atau masyarakat, sengaja melupakan kepentingan umum untuk tujuan kepentingan khusus, korupsi dipusatkan pada yang menghendaki keputusan pribadi dan yang dapat mempengaruhi, niat terselubung dalam bentuk pengesahan hukum.

Sedangkan untuk jenis korupsi yaitu korupsi transaksi merupakan korupsi yang berwujud dengan adanya kesepakatan timbul balik kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk keuntungan bersama. Korupsi ekstortif (memeras), suatu bentuk korupsi dimana pihak penerima memaksa pihak pemberi untuk melakukan perbuatan penyuapan untuk mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, dan orang yang penting baginya. Korupsi defensif, dimana korupsi dilakukan oleh pelaku korban dalam korupsi ekstortif (Anwar, 2008).

Merujuk dalam jurnal (Kurniawan, 2009) pada sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, terjadinya kasus tindak pidana korupsi yang diberantas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menujukkan bahwa sebagian besar yaitu berkisar 77% merupakan kasus tindak pidana korupsi yang terkait pada pengadaan barang dan jasa.

Hal tersebut menjadikan bahwa banyak hal korupsi yang marak di Indonesia merupakan korupsi birokrasi atau korupsi di pemerintahan sipil. Korupsi yang seperti itu dalam tingkat pemerintahan, tidak hanya terjadi di pusat namun juga di daerah-daerah. 

Bahkan, sejak diberlakukannya otonomi daerah berlandaskan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 2001 menunjukkan telah terjadi kecenderungan korupsi di Pemerintah Daerah yang semakin melonjak tajam.

Permasalahan kasus korupsi baru-baru ini terjadi di Kota Yogyakarta. Merujuk dari berita Tempo.co pada tanggal Senin, 06 Juni 2022 (Wibowo, 2022) Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pengusutan terkait mantan Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti. Menurut KPK bahwasanya segala informasi serta data yang dimiliki sudah dipastikan kebenarannya dan pihak KPK akan memanggil saksi yang mengetahui kasus tersebut. Haryadi Suyuti di duga menerima suap dalam hal penerbitan Izin Mendirikan Bangunan dari apartemen Royal Kedhaton.

Pihak KPK mengatakan bahwa Walikota Yogyakarta tersebut menerima Rp 50 juta serta US$ 27. 258 oleh pihak pengembang dalam rangka untuk memperlancarkan penerbitan izin. Selain itu, Pihak KPK juga menetapkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Yogyakarta Nurwidhihartana dan sekretaris pribadi, Triyanti Budi Yuwono menjadi tersangka kasus penerima suap.

Kasus korupsi tidak hanya terjadi di ranah pemerintah daerah, namun terjadi juga di pemerintah pusat. Salah satu kasusnya dilansir dari berita kompas.com yaitu Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang jadi tersangka di dalam kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek pada tahun 2020.

Kronologi awal terjadi kasus korupsi karena adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos pada tahun 2020 dengan nilai berkisar Rp. 5,9 Triliun dengan jumlah total 272 kontrak dan dilaksanakan selama 2 periode. 

Juliari Batubara yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial menunjuk Matheus dan Adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara melakukan penunjukan langsung para rekanan yang diduga, disepakati, ditetapkan adanya fee pada setiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos yang melalui Matheus. 

Setiap paket bansos tersebut, fee yang telah disepakati oleh Matheus dan Adi sejumlah Rp. 10.000 per paket sembako dari jumlah Rp. 300.000 per paket bansos (Sahara, 2021).

Prinsip-Prinsip yang harus dilakukan supaya tercipta anti korupsi sebagai berikut; Akuntabilitas, Transparansi, Kewajaran, Kebijakan, Kontrol Kebijakan. Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dengan pelaksanaan kerja, yaitu semua lembaga harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main secara bentuk konvensi (de facto) ataupun konstitusi (de jure), di level budaya antara individu dengan individu ataupun level lembaga.

Transparansi ialah kebijakan yang dilakukan secara terbuka, sehingga dapat mengetahui segala bentuk penyimpangan yang terjadi di publik. Kewajaran yang ditujukkan dengan mencegah terjadinya hal manipulasi dalam penganggaran, dalam bentuk mark-up ataupun ketidakwajaran lainnya. 

Prinsip kebijakan yang dapat dilakukan dengan memahami serta mengetahui kebijakan anti korupsi. Kontrol kebijakan yaitu berpartisipasi dalam penyusunan serta pelaksanaan dalam alternatif kebijakan (Harto, 2014).

Upaya yang dilakukan Negara Republik Indonesia dalam memberantas kasus korupsi yaitu, dengan membentuk lembaga independen yang menangani korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperbaiki kinerja lembaga peradilan di tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan. 

Selain itu, di tingkat departemen kinerja lembaga-lembaga audit perannya harus ditingkatkan, mereformasi birokrasi serta pelayanan publik. Hal yang tidak kalah penting yaitu dengan memantau serta memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah (Rachman, 2018).