Dalam tradisi bangsa Israel, mendirikan rumah adalah perintah Tuhan. Tuhan mau bangsa Israel yang sudah lama mengembara, tinggal menetap dalam satu rumah. Dengan adanya rumah, Tuhan yang tak kelihatan itu hadir bersama-sama umatnya.

Rumah bagi orang Israel, berarti karya pembangunan ilahi. Karena itu, ketika mereka hendak membangun rumah, hal yang paling penting bagi mereka adalah, pemberkatan rumah yang dilakukan oleh seorang penatua jemaat. 

Pemberkatan rumah sebuah upacara di mana bangsa Israel mengundang Allah untuk datang ke dalam rumah mereka. Dengan mengundang Allah, bangsa Israel menyadari diri bahwa hidup mereka bergantung sepenuhnya kepada Allah.

Kita biasa mendengar orang mengatakan “home sweet home”.  Tiga kata ini adalah kata bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonsia kita terjemahkan secara kiasan sebagai rumahku surgaku. Tidak ada tempat yang nyaman selain rumah. 

Dalam konteks ungkapan ini, bentuk fisik rumah tidak terlalu penting, yang terpenting adalah makna surga dari ungkapan itu yang tentunya identik dengan kesan indah, nyaman, dan penuh kebahagian. Dan memang rumah mesti seperti itu, membuat orang selalu rindu dan selalu ingin pulang sejenak menimba nilai surga dari rumah itu untuk bekal kehidupan.

Saat ini, istilah “home sweet home” mulai kurang dirasakan mengingat hari-hari ini rumah kita lebih menjadi rumah secara fisik, ketimbang rumah yang menggambarkan surga. Orang-orang banyak yang menjauh dari rumah, karena rumah lebih menjadi neraka ketimbang surga itu sendiri. 

Rumah-rumah menjadi neraka ketika banyak hal-hal negatif terjadi justru dari dan di dalam rumah, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, orang tua sendiri melakukan kekerasan seksual terhadap anak, keponakan, hingga tetangga mereka. 

Rumah menjadi neraka ketika rumah menjadi tempat sarang energi jahat yang selalu keluar untuk mencari korban yang hendak dimangsa. Rumah menjadi neraka ketika dalam keluarga perceraian, pertengkaran banal terjadi. “Home sweet home” sering kali berubah menjai “home sweet hell”

Beberapa hari terakhir ini, saya bersama pastor paroki Waibalun menjalankan ritual pemberkatan rumah umat. Kegiatan ini dilakukan setiap lima tahun. Tujuannya sebenarya tidak hanya melanjutkan tradisi katolik saja, yakni menjalankan misi pastoral kehadiran, tetapi lebih dari itu, berusaha masuk mendekatkan sakramen keselamatan Allah ke dalam kehidupan dan rumah umat. 

Bagi saya, situasi “home sweet hell” adalah sebuah akibat dari hilangnya banyak nilai-nilai dalam kehidupan yang salah satunya saya yakini karena pengaruh iman yang semakin pudar dalam kehidupan bersama.

Konteks Zaman Modern

Konteks perkembangan zaman banyak sekali memengaruhi gaya hidup, termasuk cara kita menilai segala sesuatu. Di zaman ini, sering kali kita menemukan diri kita sering kali hidup dalam kegelisahan, kecemasan, takut, sedih, serta merasakan ketidakpastian. Situasi seperti ini sering kali membuat kita panik dan kehilangan sensibilitas terhadap nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalam budaya dan agama kita yang begitu kaya.  

Ada banyak sesama kita yang tidak mampu bertahan dalam situasi hidup zaman ini. Ada yang bisa bertahan, tapi tidak kurang pula yang dibuat menderita. Ada yang sudah menderita justru dibuat menderita sekali lagi dengan pengalaman berbagai jenis kekerasan, mulai dari kekerasan, fisik, verbal, psikis, seksual, ekonomi, yang dialaminya dari orang lain, dari keluarga sendiri, tetangga maupun sesamanya. 

Maka tidak jarang, mereka yang tidak tahan kehilangan pegangan dan makna dalam hidup. Mereka menjadi korban kerasnya zaman dan kejamnya sesama manusia. Rumah bagi para korban adalah neraka yang membuat mereka selalu jatuh dalam luka trauma yang mendalam.

Dalam situasi seperti ini, mereka yang tidak bisa menanggung beban dan menjadi kelompok rentan, seperti anak-anak, para ibu, para lansia, tak jarang orang nekad bunuh diri untuk membebaskan diri dari tekanan hidup yang begitu sulit. 

Sekali lagi, para kelompok rentan ini ada di sekitar kita dan banyak kali kita abai terhadap kehadiran mereka, terhadap pengalaman kekerasan yang mereka alami. Hati dan rumah fisik kita banyak kali tertutup untuk mereka masuki dan tinggal.

Dalam bukunya Demokrasi dan Sentimentalitas, Budi Hardiman membahasakan kondisi zaman modern dewasa ini dengan kompleksitas akibat yang dimunculkannya dengan satu istilah kunci, yaitu “sekularisasi”. 

Kalau di dunia Barat, istilah “sekularisasi” diartikan secara luas sebagai pemisahan gereja dan negara, maka dalam konteks kehidupan kita hari ini, istilah ini dipahami sebagai munculnya tendensi ketika kita dengan sadar atau tidak mendepak “yang Kudus” dari kehidupan kita, dari hati, dan mungkin rumah kita.

Ketika yang kudus didepak dari kehidupan, ada tendensi untuk membuat ilah-ilah lain yang merayakan kebebasan dan kenikmatan dunia sebagai leitourgia, yakni sebuah nilai yang diusahakan dicapai bersama, serentak menuhankan diri sendiri sambil mempersetankan orang lain. 

Agama di zaman modern dijungkirbalikkan jadi salah satu komoditi laku di pasaran. Agama kehilangan daya dan bukan lago menjadi salah satu solusi bagi masalah etika dan moral yang banal terjadi, tapi sebaliknya, agama dalam originalitas perannya sebagai sumber inspirasi etika dan moral justru sering menjadi masalah yang “menggangu” kemapanan hidup manusia

Karena latar belakang situasi serta panggilan konteks seperti ini, saya bersama pastor paroki Gereha Waibalun, Keuskupan Larantuka-NTT bersama tim paroki mulai bergerilya turun ke rumah-rumah, meninggalkan kenyamanan hidup rumah pastoran untuk berdoa, memberkati serta misa bersama umat. 

Kehadiran kami sangat disambut dengan hati yang gembira dan sukacita oleh umat Allah sekalian. Kegembiraan, semangat dan sukacita, mereka, membawa imajinasi saya kepada zaman ketika Yesus dahulu mengunjungi keluarga-keluarga di Palestina. 

Pastoral keluarga yang Yesus lakukan dahulu cukup banyak terekam dalam Injil Suci, Ia mengunjungi Zakeus, Marta dan Maria, Mertua Petrus dan kunjungan lainnya untuk membawa pembebasan, damai sejahtera serta keselamatan kepada umat.

Dan yang perlu diingat bahwa Yesus tidak mengunjungi tokoh ini di pasar, di jalan ataupun di tempat lainnya. Tapi ia mengunjungi mereka di rumah mereka. Lantas, apa maknanya?

Bagi saya, kunjungan Yesus bisa dibaca sebagai simbol keluar dari rumah dan hati yang egois, untuk pergi menjumpai sesama dan masuk dalam realitas terdalam mereka, yakni rumah dan hati mereka. Kunjungan Yesus ke dalam rumah mereka adalah bukan sebuah perjumpaan yang biasa, tapi sebuah perjumpaan yang menyelamatkan, perjumpaan yang membawa sukacita kasih serentak inspirasi nilai-nilai kebaikan sebagai referensi dalam menjalan hidup sebagai manusia yang ber-Tuhan.

Pastoral keluarga yang Yesus jalankan selama hidupnya mengingatkan saya akan pentingnya keluarga, sebagai penopang dan penjamin berjalanya sebuah Gereja, masyarakat, pun dalam kala yang lebih besar Negara.  Dari keluarga yang membiasakan diri dekat dengan Tuhan lahir keluarga yang mampu memfilter segala hal dengan kemampuan penilaian moral yang baik. 

Santa Theresia dari Kalkuta menegaskan pentingnya keluarga sebagai kelompok kecil utama untuk mempromosikan damai: ”Jika kita ingin mengubah dunia, pulanglah ke rumah dan mulailah dengan mencintai keluargamu.” Keluarga elemen utama Gereja pun masyarakat. Dari keluarga yang baik akan hidup Gereja dan masyarakat yang baik pula.

Karena menyadari peran mendasar keluarga, bagi Gereja dan negara, maka sangat perlu untuk membawa Tuhan “yang Kudus” kembali masuk dalam hati, pikiran rumah, dan dalam keluarga. Kehadiran yang kudus membantu kita untuk sadar bahwa Allah adalah penguasa hidup kita. 

Allah sangat mencintai  kita dan senantiasa membantu kita yang terbuka hatinya menerima Tuhan, untuk membarui dan kembali menata hidup kita yang terpenjara dibalik ideal-ideal zaman modern yang membuat kita terasing dari kehidupan nilai-nilai karifan lokal yang selama ini kita miliki .

Pemberkatan Rumah: Rumah sebagai Ecclesia Domestica

Selain membawa berkat tuhan masuk dalam hati dan rumah umat adalah momen mengingatkan kita akan kerapuhan dan ketergantungan kita pada Allah sebagai satu-satunya pelindung kita. kita mengakui bahwa tanpa Allah, hidup kita tidak nyaman, rentan dipengaruhi bahkan dibinasakan pengaruh iblis yang selalu mengintai kita dalam berbagai wujud dan cara. 

Kita terbuka membiarkan Allah mengisi rumah kita, mengisi hati kita. Agar kita menyadari ketergantungan kita pada Allah sebagai satu-satunya penjamin dalam hidup kita

Tuhan masuk dalam rumah, berarti rumah kita menjadi rumah Tuhan. Tuhan berdiam dalam rumah kita konsekuensinya, ketika rumah kita menjadi rumah Tuhan, maka rumah kita tidak hanya menjadi tempat tinggal saja, tetapi tempat ibadah yang pertama. 

Sebagai tempat ibadah pertama, rumah karenanya mesti kembali menjadi surga yang memberikan kenyamanan, penghiburan di kalah sesama mengalami penderitaan. Sebagai tempat ibadah yang pertama, rumah menurut Lumen Gentium no 11 adalah tempat tingggal keluarga sebagai ecclesia domestica (Gereja rumah tangga), yakni tempat kudus yang mengantar dan membawa anggotanya kepada kekudusan. 

Rumah adalah pusat penyemaian iman, tempat pertama iman akan kristus diwartakan dan sekolah pertama tentang doa, kebajikan-kebajkan dan cinta kasih kristen.