Dalam hitungan hari, kita akan memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Menyoal dunia pendidikan memang tidak akan habis dibahas. Borok dunia pendidikan yang sudah lama menjangkit, semakin menganga lebar dengan terjadinya pandemi dalam kurun waktu hampir 2 tahun. Selama ini, pendidikan Indonesia yang  kehilangan rohnya hanya menghasilkan generasi minim kapasitas dan moralitas. 

Degradasi ini mudah terlihat dampaknya di berbagai sektor, mulai dari yang berat sampai hal yang tampak "sepele". Dari korupsi, kekerasan di sekolah, sampai plagiarisme dan maraknya berita hoax. Semua hal tersebut menjadi sebab musabab dalam lingkaran setan pendidikan yg sakit ini.

Fenomena gunung es dalam dunia pendidikan harus segera mendapat penanganan. Masalah demi masalah harus "dipetani", dikembalikan ke jalur yang benar agar pendidikan kembali mengemban tugas mulianya. 

Saya sebagai seorang pendidik telah merasakan keresahan ini bahkan sejak tahun pertama saya mulai mengajar. Hal-hal yang terjadi di sekolah, walaupun bertentangan dengan hati nurani terpaksa dilaksanakan karena saya hanyalah butiran deterjen di tengah lautan hierarki sistem ini.

Pernah suatu ketika saya menuliskan nilai tanpa menghiraukan KKM. Tak segan saya tulis angka 6, 5 bahkan 4. Lha memang nilainya segitu. Apa ndak ada belas kasihan? Mbok ya dikatrol sedikit bu? Begitulah komentar guru lain saat melihat betapa medhitnya saya. 

Nilai yang tertera di raport bukan suatu masalah besar waktu itu, toh saat kelas 12, ada raport bayangan untuk mereka yang terpilih dan bersedia mengikuti jalur PMDK. Seingat saya, pihak sekolah mengubah nilai raport siswa tanpa meminta persetujuan lisan maupun tertulis dari guru mapelnya.

Kejadian berikutnya adalah bermain petak umpet dengan aparat kepolisian ketika UN berlangsung. Entah di daerah saya saja atau di daerah lain juga mengalaminya. Saya baru mengetahui alasan kalau guru mapel UN dilarang menjadi penjaga, sebenarnya adalah untuk diminta membuat kunci jawaban bagi para siswanya. 

Pagi-pagi sekali kami diminta datang ke rumah salah satu guru yang rumahnya berada di sekitar sekolah untuk mengerjakan soal yang hari itu akan diujikan. Selama ini saya sudah susah payah mengajar mereka hanya untuk disuapi jawaban saat ujian seperti ini? Maka tak heran saat ujian berlangsung, banyak siswa jadi tak menyentuh lembar soal yang sudah dibagikan. 

Tak ada corat coret hitungan, pun komat kamit hafalan. Mereka lebih memilih terkantuk-kantuk kemudian tidur pasrah, lha wong ada juru kunci yang akan datang 10 menit sebelum bel berbunyi. Sungguh gemes tapi hanya bisa mengumpat dalam hati, memaki dalam sepi. Kejadian memprihatinkan lain tentu saja masih banyak dan akan sangat panjang jika dibuat daftarnya.

Terjadinya pandemi secara brutal memukul dunia pendidikan, tak terkecuali. Para guru dipaksa untuk bisa memanfaatkan IT guna menjembatani pembelajaran di rumah secara daring. 

Banyak juga orang tua yang akhirnya memutuskan untuk memilih homeschooling. Metode yang mulai banyak diminati karena sekolah tak lagi mampu menampung idealisme pendidikan.

Terlepas dari Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang akan diterapkan, sebagai pendidik sekaligus sebagai orang tua saya menuliskan beberapa poin berdasarkan pengalaman dan sebagian lagi dirujuk dari salah satu metode Charlotte Mason (CM) yang menjadi bahan refleksi saya agar pendidikan membangun pribadi anak secara holistik. 


Menemukan Filosofi Pendidikan yang Tepat

Filosofi akan menjadi jiwanya pendidikan. Tanpa filosofi, maka pendidikan hanya akan berjalan tanpa arah dan tujuan, seperti yang selama ini terjadi. 

Ki Hajar Dewantara sudah menggemakan filosofi pendidikan yang sangat agung. Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan menjadi teladan, di tengah membangun kehendak, di belakang memberikan dukungan. Semboyan yang diperuntukkan bagi guru ini seakan sudah tergilas waktu dan perubahan jaman. Padahal jika diresapi dan menjadi nafas pendidikan, nilainya amatlah luhur. 


Pembaruan dengan Kurikulum Kaya

Kurikulum yang kita pakai selama ini acapkali berubah seiring pergantian tampuk menteri pendidikan. Makin lama makin banyak tuntutan superfisial tanpa menyentuh aspek spiritual peserta didik. Akhirnya, lahirlah output yang meskipun menghabiskan seharian waktu di sekolah, tapi masih belum paham tentang esensi belajar.

Idealnya, kurikulum disusun dengan sederhana tapi sarat makna. Menurut CM, 3 pengetahuan utama bagi anak-anak adalah tentang Tuhan, manusia dan alam semesta.

Guru selama ini disibukkan dengan rencana pembelajaran yang dituntut paripurna. Padahal tugas utama dan pertamanya adalah mendidik. Sebagai atmosfer belajar alamiah peserta didik, guru selayaknya senantiasa belajar sepanjang hayat. Sehingga kehadiran guru akan selalu menginspirasi peserta didiknya, tanpa terlalu banyak mendikte apalagi dengan marah-marah.

Karakter baik pada kurikulum sebelumnya yang dijelaskan panjang lebar dalam rencana pembelajaran, sudah sewajarnya menjadi bagian dari keseharian yang dilakukan dengan disiplin dan ajeg, baik oleh siswa maupun gurunya sendiri.

Seperti halnya aspek badaniah yang kebanyakan menjadi tujuan pembelajaran, aspek rohaniah juga hendaknya dihidupi agar senantiasa hidup. Jiwa dan pikiran kita juga membutuhkan makanan, yaitu berupa ide-ide hidup, yang datang dari pikiran orang-orang berjiwa besar. Ide-ide ini tertulis dalam buku berkelas sastrawi klasik yang saya yakin sudah jarang dikenalkan pada siswa di sekolah. 

Pembelajaran di sekolah, apalagi di jenjang dasar, tidak perlu berlangsung lama. Pelajaran yang singkat namun padat, daging semua. Terlalu lama duduk dalam ruang kelas tertutup juga tidak selaras dengan fitrah anak yang nalurinya bermain bebas. 

Kegiatan belajar mengajar baiknya mempertimbangkan berkegiatan di alam sebanyak mungkin sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Harapannya agar para siswa  mengenal semesta lebih dekat, melindungi dan memeliharanya secara nyata.


Selanjutnya baca part 2