Sebagai identitas, wajah selalu mendapatkan perhatian yang istimewa, terlebih jika itu dialamatkan kepada perempuan. Maka sangat wajar jika biaya yang dikeluarkan untuk urusan tersebut membuat kantong menjadi tirus. Tak ada yang salah memang, namun begitulah realitas di lapangan tak terbantahkan.
Soal keindahan wajah, saya masih ingat bagaimana dulu, masa Pilkada Serentak 2018 di Kota Serang, ada cawalkot perempuan, Vera Nurlaela Jaman, yang mengusung jargonnya: Menuju Kota Serang Cantik.
Walau di akhir penghitungan suara resmi KPUD, ia kalah tipis dari pasangan nomor urut tiga. Kota Serang Cantik tak sempat ia wujudkan meski wajah cantiknya telah menghiasi spanduk dan baliho serta media kampanye lainnya di Kota Serang
“Cantik” menurutnya memang mempunyai filosofi tersendiri, namun sekali lagi kata cantik tersebut sangat identik dengan paras perempuan. Wajah cantik perempuan dapat mengundang publik, khususnya kaum laki-laki, untuk mengenal lebih dekat dan akhirnya suka kemudian menjadi cinta.
“Cantik” di sana memang bukan sekadar persoalan wajah. Pasangan cawalkot tersebut bermaksud membuat akronim dari cerdas, aman, nyaman, tertata, indah, dan kreatif.
Momentum Pilpres dan Pileg 2019
Tahun politik 2019 telah menemukan ereksinya walau masih menunggu untuk mencapai klimaks di April 2019 mendatang. Kedua kubu capres-cawapres, baik 01 dan 02, telah dipertemukan dalam satu momentum debat terbuka yang difasilitasi KPU.
Sungguh telah menambah panas suhu politik dalam negeri. Perdebatan tidak selesai di ruang panggung yang formalistis dan normatif, serangan kedua kubu justru berlangsung lebih sengit di luar panggung.
Jejaring media sosial menjadi tempat bertarung yang paling lama secara waktu. Ia sangat “bebas” dari aturan tertulis yang diwanti-wanti KPU saat di ruangan. Kedua kubu pendukung saling menyerang untuk merobohkan argumentasi lawan meski kadang di luar nalar sehat.
Pula momentum Pileg 2019, ia menjadi ajang beradu wajah di ruang publik. Wajah-wajah lama enggan kalah dari rival barunya, yaitu wajah-wajah baru kaum milenial, yang muda dan berani berspekulasi untuk menggeser kaum tua yang sudah lama menduduki kursi panas, baik kursi pusat maupun daerah.
Tengok saja jalan-jalan yang ada di sepanjang jalan protokol di seluruh belahan kota di Indonesia, termasuk jalan di kota-kota yang berada di Provinsi Banten, banyak disesaki spanduk dan baliho yang bergambar wajah-wajah mereka, para calon politisi.
Eksistensi foto-foto mereka di baliho dan spanduk sungguh telah mengurangi estetika kota, di samping problem lainnya. Di Kota Serang, misalnya, hingga kini jalan kota masih banyak yang berlobang, ulah pedagang kaki lima yang menyandera trotoar bagi pejalan kaki, bekas galian kabel bawah tanah yang tak sedap dipandang, trayek angkutan kota yang “disetir” sopir, ia bebas menaik atau menurunkan penumpangnya di tempat mana ia suka, dan sejumlah persoalan keruwetan kota lainnya yang tak tersebutkan.
Wajah-wajah para calon politisi sengaja mereka jajakan ke hadapan publik dengan tujuan memperkenalkan diri serta menarik simpati rakyat, tentunya. Alih-alih bukan pujian dan simpati yang mereka raih, tapi justru sebaliknya, nyinyiran, umpatan, hingga sumpah serapah keluar dari mulut publik, walau masih ada sedikit warga yang berkomentar positif meski mayoritas lainnya abai dan bersikap apatis terhadapnya.
Kini, kondisi rakyat abai dan apatis terhadap para anggota dewan. Data hasil riset lembaga-lembaga survei nasional, salah satunya Centre for Strategic and International Studies (CSIS, 2017), memaparkan rendahnya kepercayaan mereka terhadap wakil rakyat yang dipengaruhi oleh sikap anggota DPR yang dianggap tak mendukung pemberantasan korupsi.
Menurut Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte, DPR sebaiknya menunjukkan sikap pro terhadap pemberantasan korupsi. Sikap ini demi meningkatkan kepercayaan masyarakat yang makin rendah terhadap lembaga perwakilan rakyat tersebut. Masyarakat sangat berkeinginan soal pemberantasan korupsi dilakukan secara maksimal agar ke depan negara ini lebih kuat dan maju.
Apa yang salah dari wajah-wajah calon politisi yang akan mewakili konstituen atau rakyat pilihannya sehingga eksistensi mereka dalam spanduk dan baliho tersebut tak mendapat perhatian positif masyarakat, justru mendapatkan perlakuan sebaliknya?
Sikap apatis merupakan sikap acuh tak acuh terhadap satu hal. Dalam konteks ini adalah para calon politisi. Kondisi demikian sangat dilatarbelakangi oleh dua hal: pertama, soal rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap politik yang sedang berlangsung; kedua, persoalan rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik.
Perlu diingat bahwa apatisme masyarakat bukanlah merupakan tindakan parsial yang tidak terhubung dengan struktur, namun ia merupakan dampak dari struktur yang ada sebagai bentuk protes maupun keputusasaan terhadap politik yang berlangsung.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah sikap apatis mereka terhadap politik dan politisi ini salah? Tentu tak seratus persen salah. Ada beberapa argumentasi kuat yang membuat mereka demikian.
Sangat rasional juga jika mereka kemudian golput karena tak ada politisi ideal yang mereka kenal dengan baik. Tak ada pilihan, tak ada yang bisa dipilih, pula ditambah alasan bahwa mayoritas politisi yang telah duduk di kursi dewan telah mengecewakan mereka.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana mengembalikan kepercayaan rakyat kepala wakilnya agar apatisme politik ini mengecil kemudian hilang? Tentu anggota dewan harus banyak berbenah demi meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif ini.
Selama sistem perekrutan calon anggota legislatif partai politik tidak jujur, penuh intrik, diskriminatif, serta berorientasi pada uang dan kedekatan, maka selama itulah output yang akan ditemukan di parlemen. Dan selama itu pulalah tingkat kepercayaan masyarakat rendah.
Pastikan orang-orang pilihan yang berada di parlemen adalah orang yang jujur, bersih, adil, amanah, berintegritas. Satu hal yang tak kalah penting adalah ahli di bidangnya.
Calon anggota legislatif yang memajang foto serta mencantumkan nama lengkap dengan gelar akademis itu tak ada gunanya, tak berfaedah, bahkan akan makin menambah keapatisan masyarakat terhadap politik jika para calon legislator ini hanya berhenti di sana.
Mereka mengira, setelah dipajang fotonya di pinggir-pinggir jalan raya dan dipaku di batang-batang pohon besar itu, bisa menumbuhkan simpati kemudian akan menyoblos mereka dalam pemilu. Jauh panggang dari api jika mereka tidak berusaha untuk mendekati konstituen, mengetuk satu pintu ke pintu berikutnya dalam rangka meyakinkan konstituen bahwa mereka adalah pilihan ideal mereka di parlemen nanti.
Di samping itu, mereka juga harus melakukan kerja-kerja konkret yang membantu problem konstituen yang dihadapi, tentunya.
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa pilpres dan pileg bukan momentum untuk berjualan wajah atau muka di hadapan rakyat. Para calon anggota legislatif harus sadar bahwa rakyat tak butuh pajangan wajah beserta gelar akademis di spanduk dan baliho. Ia hanya akan menjadi sampah kota dan menambah muram wajah kota karenanya.
Yang dibutuhkan rakyat adalah sapaan hangat di rumahnya sambil membawa harapan konkret bagi mereka. Bantulah rakyat dengan mengeluarkan mereka dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Berikan cahaya kepada mereka agar mereka bisa berjalan di tengah kegelapan.
Dengarkan keluhan rakyat, serap aspirasinya, niscaya Anda akan menjadi calon legislatif yang dicari, dicintai, dan didambakan rakyat.