Agresivitas tertanam di dalam diri manusia sejak dulu, dan bukan tanpa alasan. Ketika manusia masih hidup sebagai pemburu-pengumpul, agresivitas dibutuhkan saat mereka sedang berburu; tanpa itu mereka tak akan mungkin mampu memburu hewan-hewan besar untuk kebutuhan kolektif kawanan. Saat mereka harus menghadapi ancaman predator, agresivitas juga dibutuhkan. Paling tidak si predator akan berpikir ulang jika ia mendapati mangsanya itu terlihat begitu agresif dan berbahaya.
Di sisi lain, di dalam diri manusia juga tertanam rasa kasih sayang—afeksi. Inilah salah satunya yang membuat manusia bisa hidup berkelompok di mana mereka saling menjaga satu-sama lain. Adanya afeksi ini, juga memungkin manusia menjalin hubungan yang relatif baik dengan sejumlah hewan seperti anjing atau kucing, seperti dengan menjadikan mereka hewan peliharaan.
Di dalam budaya patriarki, agresivitas seringkali dihubungkan dengan maskulinitas, bahwa agresif adalah salah satu sifat seseorang yang maskulin. Afeksi, sementara itu, dihubungkan dengan femininitas; bahwa seseorang yang mudah sekali terbawa perasaan adalah seseorang yang feminin. Dan patriarki memosisikan keduanya ini dalam oposisi biner, sebagai dua hal yang berlawanan. Pertanyaannya: apakah benar seperti itu?
Maskulinitas vs Femininitas
Film Alpha (2018) garapan sutradara Albert Hughes, bisa jadi, mencoba menjawab pertanyaan itu. Keda, si tokoh utama, anak dari kepala suku, adalah sosok yang feminin dalam perspektif patriarki. Di malam sebelum ia dan kawanan melakukan perburuan besar tahunan, ibunya, kepada suaminya si kepala suku, mengatakan bahwa Keda, anak mereka itu, adalah tipe orang yang memimpin dengan hati, bukan dengan tombak.
Dan perkataan ibunya ini seperti sepenuhnya benar sebab ketika perburuan besar itu berlangsung, di mana seekor bison berlari buas ke arahnya dan ia semestinya menombaknya, Keda justru ragu-ragu, dan memilih untuk tidak melakukannya; ia malah lari dan si bison berhasil mengejar dan menanduknya dan ia pun terseret seiring si bison berlari ke arah jurang.
Ketika ayahnya berhasil menombak si bison dan hewan besar ini pun ambruk, nasib Keda tidak lebih baik: ia terjatuh ke jurang dan menghantam permukaan batu dan pingsan. Ayahnya, juga anggota kawanan yang lain, mengira ia telah mati.
Femininitas Keda sudah terlihat sebelum perburuan besar itu dilakukan. Ia, kendati diminta ayahnya menyembelih seekor babi hutan yang baru saja berhasil ditangkap kawanan, tak bisa melakukannya; jelas sekali ia kasihan pada si babi hutan. Akhirnya ayahnya yang melakukannya. Dan si kepala suku ini berkata dengan nada marah kepada Keda, bahwa jika mereka tak membunuh hewan-hewan maka kawanan tidak akan bisa bertahan, dan akhirnya punah.
Setidaknya sampai pertengahan film, femininitas Keda dicitrakan sebagai sesuatu yang negatif. Negatif karena ia ada di dalam diri Keda, seorang lelaki, anak kepala suku, seseorang yang kelak akan memimpin kawanan itu. Ia juga negatif karena cenderung membuat Keda kesulitan untuk bertahan hidup. Sebagai manusia, Keda, bagaimanapun butuh makan (baca: asupan daging), dan untuk itu ia harus bisa membunuh hewan-hewan.
Citra femininitas sedikit membaik ketika Keda berhasil membuat jinak seekor serigala yang semula berusaha memangsanya. Serigala ini terluka oleh tusukan Keda. Mendapati si serigala ditinggalkan kawanannya besok paginya, Keda memutuskan untuk membawanya, menghindarkannya dari serangan kawanan hyena, serta merawatnya di sebuah gua. Lambat-laun, tanpa Keda menyadarinya, si serigala merasa terikat padanya dan akhirnya mengikutinya.
Kehadiran si serigala di sisinya membantu Keda dalam banyak hal. Berburu, misalnya. Atau mempertahankan diri dari serangan predator. Atau menembus musim dingin untuk kembali ke kawanan. Atau sekadar menghangatkan diri dari dinginnya malam. Femininitas Keda, dalam hal ini, membuatnya memperoleh teman perjalanan yang berharga.
Di titik ini mulai terasa ada tarik-menarik antara maskulinitas dan femininitas. Dalam upayanya kembali ke kawanan, Keda, meski enggan, membiarkan diri maskulinnya muncul, menjadi yang dominan untuk sementara waktu, setidaknya sampai ia berhasil memperoleh sesuatu untuk dimakan. Akan tetapi, sesungguhnya Keda tak pernah benar-benar maskulin. Yang terlibat aktif dalam perburuan-perburuannya, misalnya, adalah Alpha, si serigala.
Kehadiran Alpha di sisi Keda tentulah turut andil dalam menjaga sisi femininnya tetap kuat. Garang ketika berburu, Alpha seringkali terlihat menggemaskan di waktu-waktu selain itu. Kelak di akhir film ketika Alpha melahirkan dan anak-anaknya itu berkeliaran di sekitar Keda, terasa sekali, femininitas itu masih sesuatu yang sangat kuat di dalam diri Keda.
Diri yang Maskulin Sekaligus Feminin
Di tengah perjalanan menembus musim dingin di mana ia terjebak dalam badai salju, Keda bermimpi tentang percakapan ibunya dan ayahnya di malam sebelum ia dan kawanan melakukan perburuan besar tadi. Di sini, sesuatu yang disembunyikan di awal film terkuak. Rupanya, menanggapi kecemasan istrinya, si kepala suku mengatakan bahwa Keda, anak mereka itu, jauhlah lebih kuat daripada yang dipikirkan istrinya.
Scene ini menjadi titik tolak dari babak baru relasi femininitas-maskulinitas di dalam diri Keda. Jika semula keduanya diperlawankan, di mana tarik-menarik yang ada di antara keduanya cenderung membawa Keda pada kegamangan, kali ini, dua hal tersebut lebih dilihat sebagai rekan kerja, sebagai partner. Dan sebagai partner, keduanya harus ada dan saling melengkapi.
Maka yang terlihat kemudian adalah bahwa femininitas ini tidak dicitrakan berusaha mengenyahkan maskulinitas, dan tidak pula yang sebaliknya. Yang ada adalah pemosisian-ulang. Misalkan Keda sedang lapar atau sedang dalam ancaman predator, secara instingtif, diri maskulinnya yang muncul. Dan ketika Keda sedang merindukan orangtuanya, diri femininnyalah yang muncul. Dan keduanya tidak saling menihilkan.
Di titik ini menarik untuk menyinggung perspektif Allie Stuckey, host program Allie di CRTV, terkait relasi maskulinitas-femininitas. Menurut Allie, maskulinitas sudah sewajarnya ada—dan kuat—di dalam diri laki-laki, dan mestilah dibuat lebih kuat lagi. Alasannya adalah karena, menurutnya, realitas saat ini—di Amerika Serikat, misalnya—sangat keras dan itu menuntut seseorang untuk bisa melindungi diri dari setiap ancaman yang mengintai. Dan bagi Allie, laki-lakilah yang lebih mungkin menjadi pelindung, karena secara fisik mereka lebih unggul daripada perempuan.
Allie juga mengatakan bahwa menguatkan femininitas dalam diri laki-laki adalah langkah buruk, sebab itu berpotensi melemahkan mereka, dan sebagai akibatnya mereka tak lagi bisa melindungi diri mereka, apalagi melindungi pasangannya—perempuan. Jelas sekali bahwa di mata Allie seorang perempuan akan menggantungkan keamanannya kepada seorang laki-laki yang kuat, yang agresif, yang maskulin. Allie dengan demikian melihat femininitas dalam diri laki-laki sebagai sesuatu yang sudah seharusnya dikurangi, atau bahkan dienyahkan.
Alpha, saya kira, membantah itu. Misalkan femininitas itu ditekan dan maskulinitas semakin ditonjolkan, maka, sangat mungkin, Alpha si serigala itu tidak akan menjadi teman seperjalanan Keda, dan itu artinya ia akan sangat kesulitan bertahan hidup dan menembus musim dingin, dan itu buruk baginya. Terikatnya Alpha kepada Keda, sudah pasti, adalah faktor penting dalam berhasil kembalinya Keda ke kawanan. Dan ikatan tersebut bisa terbangun justru karena kuatnya femininitas yang ada di dalam diri Keda.
Maskulinitas, Femininitas, dan Teori Triune Brain
Bisa juga dikatakan bahwa Alpha berusaha mengatakan kepada kita tentang pentingnya kedua hal tersebut—maskulinitas dan femininitas—untuk ada di dalam diri seseorang, terlepas dari ia laki-laki atau perempuan. Dan ini sejalan dengan teori triune brain yang diperkenalkan seorang neuroscientist Amerika Serikat, Paul MacLean, pada 1990 lewat bukunya The Triun Brain in Evolution.
Paul MacLean mengatakan bahwa bagian tertua dari otak manusia adalah otak reptil (reptilian brain), yang diturunkan dari reptil, dan berurusan dengan insting-insting dasar untuk bertahan hidup (survival). Agresivitas, tentu, ada dalam ranah otak reptil ini. Afeksi sendiri, sementara itu, ada dalam ranah sistem limbik (lymbic system), yakni bagian otak kita yang diturunkan dari mammalia, atau sebut saja otak mammal.
Jika kita mengikuti teori triune brain ini maka kita akan mengatakan bahwa adalah wajar belaka di dalam diri seseorang, baik itu laki-laki ataupun perempuan, agresivitas dan afeksi itu ada, maskulinitas dan femininitas itu ada, dan keduanya tidak saling menihilkan, melainkan hanya menunggu waktu dan situasi yang tepat untuk muncul dan menjadi yang dominan.
Ini memungkinkan seorang laki-laki menjadi pengasuh anak yang baik, atau seorang perempuan menjadi ahli bela diri atau bahkan berprofesi sebagai body guard. Dan dua hal tersebut kita temukan di realitas.
Maka kiranya kita bisa bersepakat bahwa perspektif Allie Stuckey tentang relasi maskulinitas-femininitas tadi keliru. Keduanya tidak berada dalam sebuah rivalitas, tidak berlawanan dan saling menihilkan; justru, lebih seperti partner yang saling melengkapi satu sama lain. Dan karena itu keduanya penting untuk ada di dalam diri seseorang, terlepas dari ia laki-laki atau perempuan.
Dan jika kita kembali mencermati apa yang dikatakan si kepala suku tentang Keda di malam sebelum perburuan besar itu tadi, kita pun sampai pada pemahaman bahwa keberadaan dua hal tersebut mampu membuat seseorang menjadi lebih kuat; bahwa seorang laki-laki akan menjadi lebih kuat jika maskulinitas dan femininitasnya sama-sama kuat.
Anggapan bahwa hanya maskulinitas yang mesti dikuatkan di dalam diri laki-laki, seperti dikemukakan Allie Stuckey tadi, hanya benar dalam perspektif patriarki. Sedangkan patriarki, sedari awal, sudah sangat keliru dalam mendefinisikan relasi ideal antara laki-laki dan perempuan.