Sebagai makhluk sosial, seorang perempuan mempunyai peran penting dalam masyarakat. Namun, dalam hal ini, peran seorang perempuan dibatasi oleh adanya subordinasi laki-laki. Karena itu, permasalahan kepemimpinan seorang perempuan masih menjadi perdebatan sampai saat ini. 

Di antara riwayat hadis yang sering dijadikan dasar larangan seorang perempuan menjadi pemimpin politik, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah: Rasulullah bersabda: tidak akan beruntung suatu bangsa yang menjadikan wanita menjadi penguasa mereka.

Begitu juga dengan QS. an-Nisa [4]: 34 yang selalu dijadikan alat legitimasi teologis atas pelarangan seorang perempuan menjadi pemimpin. Teks-teks agama ini sering sekali dijadikan dasar ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin. Hal ini bertentangan dengan nilai Islam yang sangat memuliakan perempuan dan mengangkat derajatnya.

Maka kemudian, apakah benar Islam melarang seorang perempuan hadir di depan publik atau menjadi pemimpin?

Perdebatan kepemimpinan perempuan di Indonesia terjadi bermula pada masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri pasca turunnya Gus Dur dari kursi presiden. Ulama konservatif tetap menggunakan dasar hadis larangan kepemimpinan perempuan yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah (seperti yang telah dijelaskan di atas).

Menurut Qardawi, keberadaan perempuan dalam masyarakat sama seperti laki-laki. Ia mendapatkan tugas dari agama sebagaimana laki-laki. Seorang perempuan juga diberikan kebebasan untuk beriman, beribadah kepada Allah, menegakkan agama, melaksanakan kewajiban-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Namun ulama al-Azhar dalam komisi fatwa tetap melarang seorang perempuan menjadi pemimpin tertinggi. Menurut mereka, kepemimpinan Aisyah dalam perang Jamal (unta) melawan Ali bin Abi Thalib tidak dapat dijadikan dalil.

Mengenal Sosok Fatima Mernissi

Seorang feminis Arab-Islam yang terkenal dan merupakan generasi pertama perempuan Maroko, Fatima Mernissi, menggugat hadis larangan seorang perempuan menjadi pemimpin dengan metode barunya.

Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan.

Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik dan kekerasan. Menurutnya, adanya campur aduk antara yang profan dan sakral, antara Alquran dan fantasi iman haruslah didekonstruksi.

Tidak seperti ulama-ulama hadis sebelumnya yang memberikan pengertian hadis secara idealis, yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan dan yang lainnya.

Mernissi lebih menganggap hadis sebagai sebuah realitas sebagaimana yang dilihatnya. Dia mendefinisikan hadis sebagai catatan tertulis mengenai segala sesuatu yang pernah diucapkan atau dilakukan oleh Rasulullah dalam segala hal.

Catatan ini kemudian menjadi rujukan umat Islam dalam segala hal, mulai dari urusan politik, rumah tangga, pribadi, dan yang lainnya.

Pengertian semacam ini membuat Mernissi berkesimpulan bahwa hadis-hadis adalah ungkapan fakta kehidupan sehari-hari pada abad ke-7, yang ditampilkan secara beragam. 

Sedangkan untuk periwayatan pertama, Mernissi menyatakan bahwa hadis itu lahir sebagai akibat dari perpecahan umat Islam, tepatnya pada akhir kepemimpinan Ali bin Abi Tholib.

Masing-masing kelompok berusaha meyakinkan bahwa kelompok mereka itu yang paling benar, dan salah satu cara yang ampuh dalam hal ini adalah membawa nama Rasulullah dalam setiap dalil yang diucapkannya.

Mernissi percaya dan mengakui bahwa semua hadis itu berasal dari Rasulullah. Oleh karena itu, menurutnya, tidak mungkin Rasulullah berbuat diskriminasi terhadap umatnya, khususnya perempuan. Karena ia juga sangat yakin bahwa Rasulullah adalah teladan bagi umatnya.

Dengan begitu, jika ada hadis yang bernuansa misoginis, maka harus ditelaah ulang jangan diterima begitu saja (taken for granted). 

Pendekatan Hadis Fatima Mernissi

Pengujian hadis yang dilakukan oleh Mernissi dengan dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan historis untuk meneliti kapan hadis itu diriwayatkan oleh Rasulullah, siapa dan kapan hadis itu diriwayatkan kembali oleh perawi pertama.

Mernissi menyoroti perawi pertama dari hadis, baik dalam hal kredibilitas maupun intelektualitasnya. Inilah yang menjadi hal baru dari pembelajaran hadis karena sebelumnya kebanyakan ulama hadis selalu melewatkan perawi pertama yang notabene adalah sahabat karena merasa cukup dengan slogan “setiap sahabat itu adil”.

Lebih penting lagi, pendekatan historis dilakukan Mernissi untuk mendapatkan gambaran sosiologis sebuah hadis, sehingga akan dengan mudah melanjutkan kajiannya pada pendekatan selanjutnya.

Proses selanjutnya, yaitu verifikasi dengan menerapkan kaidah metodologis yang telah didefinisikan oleh para ulama, misal syarat-syarat perawi yang telah diajukan oleh Imam Malik.

Menurut Imam Malik, sebagaimana dikutip Mernissi, kualifikasi perawi hadis tidak hanya dilihat dari kapasitas intlektualnya, tetapi yang lebih penting dari itu adalah moralnya.

Setelah memahami hadis ala Mernissi, pemahaman misoginis juga perlu diketahui. Misoginis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Dari kata “misogyny” yang artinya “kebencian terhadap wanita”.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa usaha Mernissi untuk memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan bukan hanya didasarkan atas pengaruh dari feminisme Barat. Akan tetapi, pada dasarnya konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya telah tersurat dalam teks agama.

Maka dari itu, sebenarnya salah jika seseorang yang menggunakan dalil agama untuk memarjinalkan perempuan. Karena dalam hal ini, tidak ada ayat Alquran maupun hadis yang bertindak tidak adil terhadap perempuan.